Maaf status saya panjang. Tapi izinkan Saya heran sama orang-orang ini.
Sejak tahun 2014 sampai sekarang mereka terus saja bertengkar karena politik. Pertengkaran mereka sambung-menyambung. Habis Pilpres, lanjut ke Pilkada, lanjut ke Pilkades, lanjut ke Pilpres lagi, sepertinya akan terus begitu.Â
Seperti anak kecil yang sedang berkelahi, kalau saja bejaguran mereka dilakukan fair, duel, ndak pakai ngajak orang, nggak pakai umumin lewat corong masjid supaya pendukung datang, mungkin kondisinya tidak separah ini. Lha ini sampai lihatkan orang tua. Mereka kapan bosannya?
Saya lalu sadar ternyata pertanyaan saya yang salah. Tentu saja mereka tidak akan bisa bosan. Yang bertengkar ternyata bukan manusia, tapi mesin. Yang bertengkar bukan person dengan segala macam rumus kemanusiaannya. Yang bertengkar ternyata adalah pabrik. Yang bertengkar adalah industri lewat produk utamanya yang bernama kebencian. Bagaimana bisa?
Ya. Anda yang baru melek mungkin asing dengan istilah industri kebencian yang ditopang oleh mesin-mesin yang canggih. Mesin inilah yang bekerja secara sistematis memproduksi kata, peristiwa sampai pada pikiran yang mengarah kepada terjadinya benturan. panggung utama produksi ini tentu saja media sosial, perangkat yang tidak bertuan.
Saya beri contoh sederhana. Pernahkah anda punya pengalaman tiba-tiba menerima inbox, atau WA, dari orang yang tidak anda kenal yang lalu seketika bernama kasar menyerang anda? Atau, pernahkah anda tiba-tiba ikut dalam perdebatan membenci si A, si B, tanpa anda tau sedikitpun tentang orang-orang yang diperdebatkan itu? Saya pernah, dan sering. Anda juga demikian.
Bahwa mungkin demikianlah industri kebencian bekerja dengan baik dan rapi. Kebencian diproduksi sedemikian rupa untuk jangka waktu lama. Antara aku, kau dan mereka, terpisah oleh batas kebencian yang tipis namun kuat. Industri kebencian menginginkan tak terjadinya proses saling memasuki. Aku di sini benar selamanya, sementara kau dan mereka di sana salah selamanya.
Saya misalnya, oleh kehendak sistem kebencian, diplot sebagai pecinta Jokowi dan apa saja yang melekat dengan jokowi, entah itu kekuasaannya, keluarganya, jaket modenya, dan lain-lain.Â
Orang tidak peduli latar belakang saya yang memang tidak pernah menjadi oposisi. Siapa pun yang berkuasa, bagi saya, harus didukung sepenuh hati. Soal ini argumentasinya bisa panjang lebar. Kembali ke soal bagaimana industri kebencian bekerja dengan baik dan rapi.Â
Karena saya diplot mencintai tokoh A, maka saya juga diplot membenci tokoh B, tokoh C, yang misalnya punya garis politik berseberangan dengan tokoh A. Atau paling banter saya ditempatkan sebagai pecinta gelap, mencintai dengan diam-diam tokoh yang tidak boleh saya cintai berdasarkan pakem industri itu.
Dalam hukum industri kebencian, mengungkapkan cinta kepada tokoh "luar" adalah aib. Seberapa hebat pun Anies Baswedan dari sisi kegemilangan personal maupun rekam jejaknya, saya tidak tidak boleh mengumbar itu dengan vulgar, apalagi di media sosial.Â