Tahapan transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi konstitusional telah berjalan selama 18 (delapan belas) tahun. Meskipun demikian, hal itu belum juga mengalami akselerasi ke tahapan selanjutnya yaitu konsolidasi demokrasi yang menentukan apakah upaya membangun sebuah sistem demokratisasi konstitusional yang menjadi tujuan reformasi dapat diwujudkan atau gagal di tengah jalan. Setelah jatuhnya era Orde Baru pada 1998, Indonesia belum berhasil menata ulang Ipoleksosbudhankam secara menyeluruh sebagai implementasi konsepsi ketahanan nasional (disadur dari Hikam, 2016: 33).
Secara historis, aksi-aksi radikalisme muncul dan meningkat secara drastis pada masa tumbangnya rezim Orde Baru (disadur dari Hikam,2016:29). Pada masa kepemimpinan Soeharto, khususnya dari pertengahan 1970-an sampai menjelang kejatuhan rezim aksi-aksi kelompok radikal bukan dalam bentuk pengeboman. Saat itu, gerakan radikal lebih banyak menggunakan pola propaganda politik, pembajakan, penculikan, pembunuhan, dan pengeroyokan. Serangan menggunakan  bahan peledak muncul dan meningkat sejak Mei 1998 sampai 2001.
 Pada tahapan transisi ini, dinamika kehidupan bermasyarakat Indonesia masih belum menunjukkan suatu kondisi yang stabil (disadur dari Hikam, 2016:31). Faktor internal seperti kondisi heterogenitas etnis, agama, kultur, dan kesenjangan ekonomi serta sosial semakin memperbesar potensi masuknya ideologi-ideologi radikal. Ancaman yang tidak terlihat ini merupakan bahaya besar bagi keberlangsungan hidup rakyat Indonesia, belum lagi tumbuhnya ideologi-ideologi baru yang lebih mudah dibandingkan era Orde Baru.
Radikalisme dalam aliran dan ideologi apapun adalah konstruksi pemikiran yang umumnya berawal dari sikap fanatik dan loyal pada satu pandangan tertentu, dan karena itu cenderung menyalahkan pendapat lain, tidak mengenal kompromi, dan cenderung ingin menang sendiri (disadur dari  Karsono, 2009:15). Ketika radikalisme itu mendapatkan sentuhan tafsir keagamaan, persoalannya menjadi semakin kompleks, sebab, sikap resisten dan perlawanan itu akan diposisikan sebagai tugas suci, dan sikap seperti inilah yang diwakili oleh kelompok Islam Radikal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme memiliki arti sebagai a) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan drastis; b)sikap ekstrem dalam suatu aliran poltik.Â
Sementara dalam kamus politik, defenisi radikalisme adalah ide-ide politik yang mengakar dan mendasar pada doktrin-doktrin yang dikembangkan dalam menentang status quo. Kata radikal menurut KBBI adalah 1. secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip; 2. amat keras keras menuntut perubahan; 3. Maju dalam berpikir atau bertindak. Kata radikal  berasal dari bahasa Latin: Radix, yang berarti berhubungan dengan akar atau berkaitan dengan sesuatu yang mendasar.Â
Sedangkan radikalisme menurut KBBI adalah (1) paham atau aliran radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Karena itu, radikalisasi berarti proses, cara, perbuatan meradikalkan.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo (21/3/2011), Arsyad Mbai menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme. Menurutnya, ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti oleh pemberantasan radikalisme. Secara spesik, Mbai melihat adanya ideologi tersebut dalam tingkah laku dan perbuatan teror di masyarakat sejak tahun 2000-an.
Hasil penelitian yang dilakukan Sarlito Wirawan Sarwono (2012:XVI) mengungkapkan bahwa para pelaku terorisme itu adalah orang-orang biasa bahkan di antaranya tergolong cerdas yang kebetulan mempunyai ideologi yang berbeda dengan kita. Ideologi itu sangat mereka yakini seolah-olah ideologi mereka yang paling benar dan ide-ide lain di luar itu salah dan dianggap bisa merusak ummat manusia, karenanya harus diperangi.
Dalam ruang lingkup paham radikalisme di Indonesia, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menyebutkan, sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal. Data itu berdasarkan hasil survei tentang radikalisme dan intoleransi yang dilakukan lembaganya (disadur dari cnnindonesia.com, diakses pada tanggal 14 Agustus 2017).Â
Berkaitan dengan hal tersebut, melalui survei yang dilakukan pada masyarakat Indonesia, mayoritas kelompok radikal ini terdiri dari kelompok beragama muslim. Lewat survei nasional dengan 1.500 responden, realitas toleransi yang ada pada muslim di Indonesia dicoba dipotret. Hasilnya, potensi intoleransi meningkat ketimbang tahun sebelumnya.Â