“Tambahan anggaran hanya diberikan pada proposal proyek terbaik yang dapat membuka akses kaum marjinal/miskin terhadap akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan.”
Beberapa tahun belangan ini ada trend dari pemerintah dengan melakukan kebijakan pemotongan anggaran di awal tahun, namun pada tahun anggaran yang sama memberikan tambahan anggaran di akhir tahun (semester kedua). Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar :
1.Jika memang anggaran akan dipotong pada awal tahun anggaran, mengapa tidak dilakukan pada saat penyusunan pagu anggaran/pagu defenitif? Toh, penyusunan pagu anggaran ini melewati tahapan-tahapan, seperti pagu indikatif dan alokasi anggaran/pagu sementara sehingga kebutuhan belanja negara pada APBN harusnya sudah dapat diperhitungkan dengan tepat;
2.Pemotongan anggaran pada tahun berjalan akan mengganggu capaian output yang telah ditargetkan pada setiap program pemerintah, lalu bagaimana pemerintah menjelaskan terhadap kinerjanya jika di awal tahun saja sudah dapat diperkirakan bahwa target pembangunan tidak akan tercapai;
3.Penyusunan anggaran dilakukan dengan 3 pendekatan, yang salah satunya adalah Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Bagaimana pemerintah dapat memproyeksikan kebutuhan anggaran untuk jangka waktu menengah bila untuk satu tahun saja sudah dilakukan revisi besaran alokasi anggaran pada awal tahun;
4.Pertanyaan lain adalah,jika di awal tahun anggaran dipotong mengapa pemerintah kemudian memberikan tambahan anggaran yang biasanya turun pada semester kedua? Memang APBN-P tidak identik dengan penambahan, bisa saja pengurangan anggaran, namun empiris menunjukkan bahwa APBN-P hampir selalu penambahan anggaran;
5.Belajar dari TA. 2011, dimana pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pemotongan anggaran (saat itu disebut penghematan) sebesar 10% dari anggaran setiap Kementerian/Lembaga. Awalnya saya berfikir, secara nasional hasil penghematan ini akan digunakan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan, tapi yang terjadi justru anggaran ini dikembalikan lagi kepada masing-masing K/L di semester kedua. Jadi kebijakan pemerintah ini yang justru memicu inflasi di akhir tahun dan rendahnya penyerapan pada TA. 2011 karena anggaran penghematan yang 10% itu menjadi idle sepanjang tahun lalu menjelang akhir tahun ramai-ramai dibelanjakan. Kebijakan ini juga dinilai sia-sia karena untuk apa dipotong di awal tahun lalu dikembalikan lagi ke K/L tersebut;
6.Terkait kebijakan pemotongan anggaran pada TA. 2012 ini, yang juga terjadi di awal tahun. Pemerintah diharapkan konsisten untuk merealokasi hasil pemotongan tersebut untuk pembangunan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan. Hal lain adalah bagi K/L yang terkena pemotongan tidak selayaknya mendapatkan tambahan anggaran pada APBN-P. Tambahan anggaran hanya diberikan pada proposal proyek terbaik yang dapat membuka akses kaum marjinal/miskin terhadap akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Ini yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika tidak, maka kebodohan pada TA. 2011 akan terulang dan itu berarti pemerintah tidak pernah belajar dari kebodohannya.
Berdasarkan poin-poin yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena lemahnya Pemerintah dan DPR dalam menyusun besaran asumsi makro ekonomi pada APBN. Penyusunan besaran asumsi makro tersebut tidak realistis dengan kondisi riil ekonomi Indonesia dan kelemahan dalam membaca kondisi external yang dapat mempengaruhi ekonomi domestik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H