Isu bakal ada pelantikan sudah berhembus sekitar seminggu yang lalu. Rasa penasaran bercampur dag dig dug mulai berjangkit di tubuh dan jiwaku. Sebenarnya aku yakin akan menduduki posisi tersebut. Tapi tetap saja ada kekuatiran selama undangan pelantikan belum diterima.
Selepas makan siang, aku kaget saat masuk ke ruangan. Seluruh pegawai begitu heboh membahas tentang pimpinan baru nanti. Dengan sedikit tergesa aku langsung menuju meja kerja. Kuperhatikan satu-persatu surat dan dokumen yang masuk.
Terhenyak dan lemas, kududukkan pantatku di singgasana. Kursi yang dulu kukejar dan telah beberapa tahun kududuki. Rasa tidak percaya menggalaukan hari-hariku. Kok bukan aku yang dilantik? Pertanyaan tersebut terus berkubang di kepala mencari jawaban.
Aku: “Heran…napa bukan Gue yang dilantik? Apa kurangnya Gue?”
Saya: “Nah, menurut Lu apa kelebihan yang Lu miliki?”
Aku: “Gue loyal, Bro!”
Saya: “Loyal pada siapa?”
Aku : “Ya sama bos Gue dong.”
Saya: “Disitu letak kekeliruannya, Bro.”
Aku : “Keliru gimana?”
Saya: “Lu kan PNS, harusnya loyal pada yang menggaji Lu tiap bulan, yaitu
negara.”
Aku: “Itu idealnya, kenyataannya jauh panggang dari api.” Tapi Gue tetap ga habis
fikir mengapa bukan Gue yang dipilih? Komunikasi Gue ke para pimpinan
sangat baik, lagipula Gue sangat populer di kantor.”
Saya: “Hahahahahahaa…jabatan ga ada hubungan dengan popularitas, Bro. Emang
Lu sudah berapa lama jadi PNS?”
Aku: “Ya sudah lama. Trus korelasinya apa?”
Saya: “Birokrasi itu tidak mengenal demokrasi, Bro. Jadi meski Lu populer, ya
tetap aja ga ngaruh.” Birokrat itu ga bisa milih siapa yang jadi atasannya,
tapi seorang atasan punya keleluasaan untuk menentukan siapa yang bisa
jadi bawahannya.”
Aku: “Berarti subjektifitas pimpinan dominan dong menentukan siapa yang berhak
menduduki suatu jabatan?”
Saya: “Tepat sekali, itu kenyataan yang ga terbantahkan.”
Aku: “Gue jadi merasa gagal, Bro.”
Saya: “Tergantung bagaimana Lu memaknai kegagalan.”
Aku: “Buat Gue, kegagalan adalah awal dari kegagalan berikutnya.”
Saya: “Bro…, kegagalan memberi kesempatan untuk introspeksi. Kegagalan
adalah waktu buat jujur melihat kekurangan diri dan mengakui kelebihan
orang lain. Kegagalan membawa kesadaran bahwa ada kekuatan lain di luar
diri. Tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan menunjukkan bahwa
TUHAN itu ada.”
Aku: “Astaghfirullah…..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H