Mohon tunggu...
Rahmatsyah Popon
Rahmatsyah Popon Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis untuk aktualisasi diri...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik di Depan Publik

18 Februari 2014   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

POLITIK DIDEPAN PUBLIK

Hampir mendekati hari pemungutan suara, aktifitas kampanye Calon Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD (DPRA/DPRK) semakin meningkat. Beragam pilihan ide kampanye yang diberikan Undang-undang, dimanfaatkan secara maksimal. Semua berlomba-lomba diri kepada masyarakat pemilih dengan menawarkan janji-janji politik. Promosi diri yang dilakukan para caleg ini, adalah hal yang wajar untuk meningkatkan diri sekaligus elektabilitas. Banyak diantara mereka merupakan pendatang baru dalam dunia politik dan tidak dikenal luas oleh masyarakat pemilih. Mereka hadir dari beragam profesi dan latar belakang pendidikan. Mulai dari akademisi, mantan pejabat, politisi senior, tokoh pemuda, pemuka agama, petani, pedagang, tukang becak, guru, dokter, perawat, aktivis, jurnalis, mantan preman, penyanyi, pelawak, sampai paranormal sekaligus.

Dengan beragam latar belakang tersebut, pemilu diharapkan bisa mengubah nasib ke arah yang lebih “bermartabat”. Desain sistem pemilu yang menempatkan peraih suara terbanyak sebagai pemilik kursi di parlemen secara proporsional daftar terbuka, dijadikan ruang untuk menjual ketokohan, pengaruh, kekayaan, ketampanan dan kecantikan. Karena itu, meski minim pengetahuan politik, bahkan ada yang tidak mengerti apa tugas dan fungsi anggota legislatif, mereka ini ramai-ramai masuk parpol untuk bisa dicalonkan. Dalam situasi seperti ini, parpol tidak berubahnya seperti kenderaan yang siap mengantarkan penumpangnya ke terminal akhir, kursi kekuasaan. Layaknya kenderaan umum, supir dan kernet, tidak mempermasalahkan apakah penumpang yang naik layak diangkut atau tidak. Selama sang penumpang sanggup membayar tiket sesuai dengan harga yang ditentukan, supir dan kernet langsung tancap gas. Akibatnya, kita menyaksikan begitu banyak politisi dadakan yang muncul sebagaimana terlihat dari gambar mereka yang ditempel di pohon, tiang telpon, listrik, halte-halte atau dinding rumah tetangga. Atau spanduk yang dipasang di jalan-jalan, pagar masjid, sekolah, dan terminal. Bahkan, baliho yang dipasang di sudut-sudut jalan strategis dengan senyum manis memikat dan politik yang menghentak.

Parpol tidak peduli dengan kualitas intelektual, integritas moral, dan status jejak caleg yang diusungnya. Sepanjang caleg tersebut memiliki sumber dana yang besar dan/atau mempunyai popularitas yang tinggi, tidak ada persoalan. Masalah pengetahuan politik, pemahaman ketatanegaraan, dan syarat lainnya, bisa diajarkan secara kilat ketika sudah terpilih, atau belajar sambil bekerja. Sistem pemilihan yang ada memang sangat kompetitif dan cenderung liberal. Dunia politik tanah air menjelang pemilu begitu ramai, berisik dan bising. Ruang publik baik darat maupun udara media elektronik disesaki dengan material politik milik parpol dan caleg. Ini diperparah dengan banyaknya gerakan sosial yang beraroma politik. Kelompok pemuda, olahraga, pengajian, gotong royong, bakti sosial, tiba-tiba begitu aktif bergerak. Tentu yang tidak boleh dilupakan dari semua itu, bahwa tidak ada yang gratis. Ada kompensasi politik yang diharapkan para caleg, yakni masyarakat penerima manfaat dari kemurahan hati yang muncul secara dadakan tersebut, mau memilihnya. Jika caleg merasa belum yakin dengan hasil yang diperoleh melalui gerakan tersebut, maka diperkuat dengan transaksi tunai yang diberikan sesaat sebelum atau setelah pemilihan akan tiba nanti pada hari H.

Politik berupa baliho, poster, spanduk, banner, gambar, kartu nama, iklan televisi dan radio, dan beragam atribut kampanye lain yang ditebar, sudah mulai mengganggu kenyamanan. Ia ditebar di sembarang tempat tanpa memperhatikan kepantasan, estetika, dan aturan yang ada. Ketentuan seperti UU No.8/2012, PKPU No.15/2013 tentang perubahan atas PKPU No.1/2012, dan Surat KPU No.664/KPU/IX/2013, diabaikan. Pelakunya bukan hanya parpol dan caleg, tetapi juga media massa. Media massa tidak lagi menjadi alat kontrol sosial, media harus mencerdasan publik. Dalam beberapa kasus media baik cetak maupun elektronik, memerankan diri sebagai agen-agen politik, penyampai pesan politik dengan bayaran yang tinggi. Media tidak lagi steril dari kepentingan politik dan bisnis. Logika dan kepentingan bisnis telah mengalahkan fungsi luhur dari kehadiran media itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Liberalisme demokrasi politik yang melanda bangsa ini, telah meruntuhkan bangunan ideologi parpol dan media, dan pada saat yang sama pragmatisme tumbuh begitu subur. Pendekatan aktualisasi yang bersifat ideologis kalah dan tersingkir oleh pendekatan transaksional pragmatis. Penguasaan ruang publik yang massif, dengan cara apa pun itu, harus dilakukan untuk mempengaruhi opini dan preferensi politik pubik. Pendekatan dialogis, menjual gagasan, ide, strategi dan program, atau membangun basis massa dengan program yang edukatif dan bersifat pemberdayaan, dianggap bukan cara cerdas untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas.

Karena itu cara-cara seperti ini jarang dijumpai. Calon politisi ini lebih memilih cara instan dengan menyebar atribut dan alat peraga kampanye secara massif di sembarang tempat. Mereka yang memiliki finansial banyak, mengiklankan diri melalui media cetak atau elektronik secara berulang-ulang. Sampah politik yang begitu banyak berserakan itu, sebetulnya telah mulai menimbulkan sinisme warga. Pencitraan diri yang demikian dianggap pembodohan yang dilakukan secara sengaja. Jika kita mau mengamati pesan yang ada dalam berbagai atribut kampanye tersebut, terasa menggelikan, menggemaskan, menjengkelkan, sekaligus mengkhawatirkan. Bagi saya pesan itu tidak lebih hanya pesan kosong yang semakin memperlihatkan betapa suramnya masa depan daerah ini lima tahun ke depan. Secara sporadis masyarakatpun mulai mempertanyakan status jejak para caleg, termasuk sumber pendanaan yang digunakan membiayai kampanye yang begitu banyak dilakukan. Masyarakat pemilih, sesungguhnya sudah mulai cerdas menganalisa realitas politik yang ada di sekelilingnya. Sayangnya persoalan yang berkait dengan belanja kampanye, sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang bisa diberlakukan kepada para caleg. Hanya ada ketentuan yang mengatur soal sumber dan besarnya jumlah sumbangan yang diterima parpol dan calon anggota DPD.

Padahal kita sangat ketahui, yang paling banyak melakukan kampanye adalah para caleg, bukan partai. Karena itu, aturan tersebut tidak memberi dampak yang signifikan mendorong bagi adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan dana kampanye parpol dan caleg. Lantas bagaimana menyikapi sampah politik yang bersiliweran begitu bebas di ruang publik kita itu? Tidak banyak pilihan yang tersedia bagi kita, khususnya masyarakat pemilih. Sebagai warga negara yang mengerti dan taat aturan, sepatutnya kita menyampaikan kepada pengawas pemilu untuk segera bersikap tegas. Lembaga yang sudah diberi fasilitas oleh negara ini, diminta untuk tidak hanya pandai mengeluh dan mengeruk atas apa yang sudah diberikan negara, tetapi juga bekerja profesional. Kelompok masyarakat peduli pemilu bisa menginisiasi gerakan sosial untuk membersihkan sampah politik itu dari ruang publik. Gerakan semacam ini perlu sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat luas, khususnya kepada para caleg itu sendiri. Bahwa ada aturan hukum yang harus ditegakkan demi pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Terakhir, harus difahami bahwa janji politik, diucap atau ditulis, merupakan komitmen dan obligasi moral yang mempunyai nilai sangat tinggi. Karena itu, penting untuk mencermati mana di antara para caleg tersebut yang diyakini berpotensi untuk melakukan kebohongan bagi masyarakat banyak. Caleg seperti ini sangat layak untuk kita beri stabilo dari daftar orang yang akan kita pilih di bilik TPS nantinya pada 9 april 2014 mendatang.

Banda Aceh, 18 Februari 2014

RAHMATSYAH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun