Mohon tunggu...
Rahmatsyah Popon
Rahmatsyah Popon Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis untuk aktualisasi diri...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh

9 Agustus 2014   06:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:00 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

`

PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH

Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, secara bahasa bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air, bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa sumber air, dengan kata lain manusia tidak bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan manusia mendapatkan hidup yang lebih baik. Secara istilah syariat Islam merupakan totalitas ajaran agama Islam yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas).Dalam konteks itu, UU No.44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengamanahkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dari perkara ibadah (hablumminallah), muamalah (hablumminannas), syiar, pendidikan, jinayah sampai kepada perkara dusturiah. Jadi totalitas dari ajaran Alquran dan Hadis mesti diterapkan secara menyeluruh dan konprehensif di Aceh.

Meskipun sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya syari’at islam oleh Pemerintah Aceh dengan segala sumber daya yang ada, baru menerapkan syariat Islam dalam arti yang sempit, dengan membuat dan mengesahkan beberapa qanun terkait syariat Islam seperti Qanun No.10 Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Satu tahun kemudian, lahir lagi Qanun No.12 Tahun 2003 tentang Khamar (Minuman Keras), Qanun No.13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi), dan Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).Saat ini, sebagaimana kita ketahui pemerintah Aceh juga terus menggarap berbagai regulasi seperti qanun jinayah yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Pembahasan ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan beberapa qanun sebelumnya yang meliputi jarimah dan uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhtilath (perbuatan bermesraan pada tempat tertutup atau terbuka), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh zina), liwath (homoseks) dan musahaqah (lesbian). Diharapkan tidak melampaui tahun ini qanun-qanun tersebut akan disahkan.

Pada titik ini, proses totalitas ajaran Alquran dan Hadis akan dapat diterapkan secara baik dan benar dengan kesiapan semua pihak. Karena itu, agar syariat Islam tidak dilematis dalam pelaksanaannya, maka ingin mengutarkan bahwa ada tiga komponen penting dalam penegakan syariat Islam di Aceh, yaitu pemerintah, individu dan masyarakat muslim itu sendiri. Ketiga komponen ini menjadi pilar utama pelaksanaan syariat Islam Aceh.Pada tahun 2001 Pemerintah mendeklarasikan Aceh sebagai wilayah syariat Islam. Pendeklarasian ini memunculkan dua fenomena yaitu menantang dan menarik. Menantang adalah kesiapan pemerintah, individu dan masyarakat muslim Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam dan menarik adalah karena Aceh menjadi satu-satu daerah yang menerapkan hukum yang relatif berbeda dengan sistim hukum nasional, namun semua ini adalah wujud daripada kekhususan dan keistimewaan yang ada di Aceh.

Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam terus menggalakkan seluruh masyarakat Aceh untuk memiliki kesadaran dengan syariat Islam dengan kegiatan-kegiatan sosialisasi karena salah satu misi dari Pemerintah Aceh saat ini adalah mewujudkan masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai Islam. Hakikatnya peran Pemerintah sangat besar dalam memastikan bahwa syariat Islam itu berjalan dengan baik. Namun, mesti diakui bahwa tanpa dukungan individu dan masyarakat, mustahil pelaksanaan syariat islam berjalan dengan benar di tengah-tengah masyarakat kita.Sampai saat ini tidak sedikit orang yang masih merasa ‘alergi’ dengan syariat dan selalu mencari-cari titik lemah dari pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh. Semisal ada pernyataan syariat Islam di Aceh lebih banyak menyudutkan kaum hawa atau pernyataan yang lebih parah lagi bahwa syariat Islam lebih banyak mengurus masalah “kelamin” dengan adanya ketentuan khalwat dan zina. Semua ini tentunya bertujuan untuk membentuk opini bahwa syariat Islam memang selayaknya untuk ditinggalkan.

Pernyataan keliru tersebut berasal dari masyarakat muslim itu sendiri, meskipun beberapa aspek penerapan hukumnya juga disorot dunia luar. Karenanya pemerintah terus melakukan usaha menjawab sesat pikir tersebut, dengan menumbuhkembangkan kesadaran bersyariat Islam untuk seluruh masyarakat Aceh. Demikian pula ketika Dinas Syariat Islam Aceh mengadakan sosialisasi ke berbagai daerah di Aceh, pemerintah selalu mendapat tudingan negatif dari masyarakat (peserta sosialisasi) bahwa pemerintah tidak becus mengurus syariat.Menurut saya, tudingan seperti itu menjadi bumerang bagi kita ketika melihat prilaku individu muslim di Aceh yang belum sepenuhnya mengamalkan syariat Islam, seperti perempuan memakai pakaian ketat, pergaulan bebas muda-mudi, hakikatnya orang tualah yang tidak becus mengurus anak sendiri.

Padahal, di satu sisi pemerintah dengan regulasi yang ada telah mengatur cara berpakaian, pergaulan dan sebagainya. Bahkan, jauh sebelum qanun-qanun itu lahir, 14 abad yang lalu Alquran telah menggariskan perkara tersebut. Di sisi lain peran orang tua sebagai individu muslim yang tidak menanamkan kesadaran bersyariat kepada anak-anaknya. Nah, pada dataran ini terkesan sepertikita meludah ke atas, jatuh mengena muka sendiri.Membicarakan syariat Islam tidak terlepas dengan akidah. Karena penegakan syariat Islam, baru akan berhasil kalau dilandaskan kepada kekokohan akidah individu muslim. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah (menyangkut keimanan) dengan syariat (menyangkut sikap rela dengan pelaksananan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Ketakwaan mengantarkan seseorang kepada sikap mulia, yakni meyakini Allah Swt senantiasa mengawasinya, baik sedang sendiri, berduaan atau berada di tengah-tengah kerumunan manusia lainnya.

Jika semua masyarakat muslim yang ada di Aceh memiliki tingkat ketakwaan seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin proses pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh akan bisa diwujudkan. Namun, kenyataan yang paradoks dengan syariat hampir setiap saat kita saksikan. Sebagian masyarakat kita seakan tak lagi mengindahkan perintah agama. Mereka dengan bangganya melanggar rambu-rambu agama seperti berpakaian ketat, pacaran, perjudian, narkoba, tidak shalat Jumat, pelanggaran ini bukanlah perkara asing di Aceh. Praktik pelanggaran syariat seperti ini tidak hanya terjadi di kota, malah sudah merambah hingga ke pelosok perkampungan yang ada di aceh. Hakikatnya tingkah laku individu dan masyarakat Aceh menjadi indikator berhasil atau tidaknya pelaksanaan syariat Islam.Di samping dua pilar di atas, masyarakat juga menjadi pilar terpenting lainnya dalam konteks penegakan syariat Islam di Aceh. Masyarakat sebagai sebuah komunitas tempat terjadinya interaksi yang memungkinkan untuk melakukan kontrol kepada setiap orang atau sekelompok orang yang melakukan penyimpangan terhadap penerapan masyarakat.

Bisa dibayangkan bagaimana takutnya orang untuk melakukan pelanggaran terhadap syariat islam, jika semua mata masyarakat siap mengawasi mereka. Sikap tidak tinggal diam atas penyimpangan terhadap syariat merupakan cermin dari ketaatan pada sabda Nabi saw: “Siapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu mengubah dengan tangan, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu cukup dengan hati dan itu selemah-lemah iman.”Sebagai orang Aceh sebenarnya kita harus malu, Aceh yang notabenenya sebagai daerah yang kerap dengan nilai-nilai Islamnya, justru praktik-praktik maksiat ada di sekitar kita. Penyimpangan itu disatu pihak merupakan sebuah realitas yang lintas kelas dan status sosial dan di lain pihak tampaknya beban sejarah telah membuat kita hipokrit. Kita masih terus bersiteguh bahwa Aceh sekarang sebagaimana Aceh tempo dulu yang hijau sejati, warna moralitas sosial Aceh tidak pernah diakui telah berubah dan sekarang ini rakyat Aceh bertendensi hipokrit.Oleh karena itu betapapun hebatnya peran pemerintah dalam menyiapkan regulasi, kemudian menyosialisasikan kepada masyarakat dan menyediakan banyak anggaran, kalau individu dan masyarakat muslim Aceh tidak memiliki kesadaran untuk mengamalkan Islam, maka  pelaksanaan syariat Islam di Aceh tetap tidak berjalan secara tertib.

Banda Aceh, 8 Agustus 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun