`
Sejarah dulu masa endatu akan berulang kembali bagaimana hebatnya para saudagar Aceh tempo dulu merintis dan mengembangkan sayap bisnisnya hingga ke benua Eropa. Kini, zaman telah berubah, akankah para pengusaha Aceh mampu mengukir kembali sejarah keemasan itu? Aceh tujuan utama investasi pertanian, ucap Menteri Pertanian Malaysia, saat berkunjung ke Aceh pada kwartal pertama tahun ini 19/4/2014). Ini, tentunya, bisa jadi semacam isyarat atau signal awal bagi upaya mengepakkan kembali sayap bisnis sebagaimana pernah dilakoni oleh pengusaha Aceh tempo dulu itu lewat pola kerja sama Aceh-Malaysia. Terlebih setelah migas habis, maka ini harus menjadi PR dalam upaya membangkitkan kembali perekonomian rakyat, sebagai momentum mewujudkan kesejahteraan petani yang berbasis pedesaan.Kiranya, untuk menyambut uluran tangan Menteri Pertanian Malaysia ini, Aceh perlu berkiblat ke Thailand dalam pengembangan agribisnis. Karena negara gajah putih itu, memiliki good will pemerintahnya yang dibarengi dengan keunggulan di bidang penelitian untuk pengembangan sektor pertanian dalam menghasilkan bibit unggul melalui rekayasa bioteknologi, bioproses dan kultur jaringan untuk menjamin kualitas ekspor yang berkesinambungan.
Karena Aceh perlu juga memainkan strategis pemasaran yang handal dan efektif untuk menerobos pasar, terutama pasar ekspor. Untuk tujuan tersebut, maka Aceh perlu melakukan market inteligent untuk mengumpulkan informasi pemasaran. Informasi tersebut perlu disebarkan melalui media massa dan lembaga-lembaga terkait, seperti Badan Ketahanan Pangan guna menuju kepada kedaulatan pangan Aceh yang bermartabat.Keunggulan agribisnis Thailand patut dicontohkan oleh Aceh dalam memfungsikan kembali Badan Penyuluhan Pertanian, selain berperan sebagai sarana penyuluhan untuk bimbingan kepada petani dan nelayan, juga sebagai sarana penyedia informasi pasar bagi petani dalam hubungannya dengan jenis komoditas andalan dan unggulan dengan tetap memprioritaskan komoditas yang berkualitas ekspor.Pola agribisnis Thailand tersebut, secara terpadu menciptakan kekuatan sinergik untuk mencapai integritas sistem komoditas agribisnis yang tinggi. Ini patut ditiru oleh Aceh dan diyakini dapat mengulang kembali sejarah keemasannya untuk melahirkan saudagar dalam mengekspor hasil bumi Aceh.
Namun, sebagaimana pemerintah Aceh harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan controller dari pada sebagai regulator sistem pemasaran. Memperpendek rantai pemasaran komoditas, mengaktifkan KUD yang berprestasi, sehingga margin pemasaran relatif rendah. Dengan harapan, perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima petani harga produsen relatif kecil, sehingga integrasi vertikal sistem komoditas beroperasi dengan efisien. Di samping itu, intervensi pemerintah Aceh dalam pengaturan pasar relatif kecil dan memungkinkan mekanisme pasar, agar dapat berjalan serta efisiensi dengan harapan sistem pemasaran dapat tercipta dengan baik.Di sisi lain pemerintah Aceh harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur pertanian di Aceh yang sangat tertinggal kita dapat melihat kondisi sawah tadah hujan masih menganga tanpa irigasi 51%, irigasi teknis cuma 3%, irigasi semi teknis 24%, irigasi sederhana 11% dan irigasi desa 11%. Juga Aceh harus mengejar ketertinggalan teknologi mekanisasi pertanian/mesin-mesin pertanian baik untuk prapanen maupun teknologi pascapanen yang masih kurang, serta tidak didukung oleh adanya workshop yang representatif.
Momentum kerja sama antara Malaysia dan Aceh dalam pemasaran produk pertanian tersebut, maka diharapkan Pemerintah Aceh masih perlu memfasilitasi kredit pangan tanpa agunan dan berbunga rendah kepada petani. Kredit perbankan untuk sektor pertanian tersebut, harus tetap diintervensi oleh pemerintah Aceh dengan berbagai kebijakan dan pihak perbankan terutama Bank Aceh juga harus memiliki komitmen untuk menjalankan kebijakan pemerintah Aceh. Bahkan, untuk memotivasi para petani, maka bimbingan penyuluhan masih perlu diprioritaskan pada saat konflik PPS/PPL hilang perannya.Keberhasilan Malaysia dengan PTP Nafasindo di Aceh Singkil, telah menggugah Malaysia untuk berinvestasi lebih besar di Aceh. Aceh juga masih perlu untuk membuka Perkebunan Kelapa Sawit di kabupaten lainnya, sebagai produk pangan olahan yang berasal dari CPO, seperti minyak goreng akan selalu memberi kontribusi untuk penyediaan sembilan bahan pokok, yaitu untuk ketahanan pangan di dalam negeri kita sendiri.
Karena ketahanan pangan identik dengan komoditas andalan yang harus bermuara kepada kedaulatan pangan, yang identik dalam paket kreasi yang harus dimulai dari awal, yaitu komoditas andalan bagaimana harus menjadi komoditas unggulan sebagai produk unggulan untuk ekspor.Karena, apapun konsep sebagai produk dari hasil suatu kreasi baru yang dilahirkan, maka sangat perlu memprioritaskan pembangunan yang langsung menyangkut dengan harkat dan martabat petani, kemudahan untuk rakyat kecil, terutama kesejahteraan buruh-buruh kebun sawit yang harus tertangani dengan baik. Konon lagi, CPO dapat diproses menjadi bahan bakar minyak biodiesel akan sangat membantu untuk memberi kemudahan kepada Aceh. Banyak kebun kelapa sawit milik rakyat, terutama di Aceh. Perlu invensi baru sebagai strategi ekonomi kerakyatan, di mana pasar bebas tetap memosisikan dirinya kepada perkembangan ekonomi pasar versus pasar bebas?.Katakan misalnya, untuk ekspor minyak sawit CPO karena pengaruh harga yang menarik di luar negeri untuk ekspor, maka sangat diperlukan Kebijakan Pemerintah Aceh, untuk melahirkan Konsep Intervensi, dengan keseimbangan tetap Optimasi Kebijakan untuk keberpihakan kepada kepentingan rakyat.
Bagaimana Menciptakan Trobosan Perdagangan bebas yang dapat menyentuh pengembangan ekonomi rakyat di pedesaan, seperti subsidi pertanian yang masih perlu diberlakukan di Aceh dan menciptakan otoritas pengembangan regional yang besar utk kabupaten-kabupaten, karena kebun sawit berada di daerah-daerah Kabupaten. Karena untuk pertumbuhan dan pendapatan, tidak ada pertentangan antara pertumbuhan dan pemerataan pendapatan hanya selama ini jalannya tidak simultan. Mekanisme Pasar Berjalan Sempurna, maka pertumbuhan Ekonomi Rakyat, hasilnya diharapkan akan tetap menetes ke bawah dan hal ini sebagai kemudahan dalam Kesempatan Kerja yang akan memberi kemudahan pula untuk pemerataan pendapatan distribusi pendapatan untuk rakyat Aceh akan lebih baik.Uluran tangan Malaysia untuk menginvestasi sektor pertanian perlu disambut baik, untuk terus mengemuka, agar Aceh mampu mengekspor secara rutin berbagai produk pertanian andalan ke Malaysia, seperti sayuran kentang, kol, jahe, wartel hingga cabe kering, ikan dan produk peternakan lainnya. Produk-produk tersebut ingin diekspor tiap bulan secara rutin, hingga keluar angka rutinitas ekspor bulanan: Sayuran 450 ton, ikan 45 ton. Tonase ekspor tersebut, selayaknya perlu untuk dijadwalkan secara profesional untuk kapasitas bulanan, triwulan, kwartalan, semesteran maupun tahunan.
Pasalnya, pengalaman Puskud Aceh, pernah mengekspor minyak ikan hiu ke Jepang, kulit pinang ke Hongkong kerja sama dengan PT Comexindo Jakarta, kereupuk muling ke Belanda, kemiri ke Hongkong kerja sama dengan PT Arasy, teripang dan lokan serta sirip ikan hiu ke Jepang. Kemudian, beberapa kali pengiriman buah alpokat ke Singapura kerja sama dengan Pengusaha Tang Kok Peng, hingga rutinitas ekspor kopi kopi beras/biji yaitu kerja sama dengan eksportir kopi di Medan. Walaupun Puskud Aceh juga sebagai ekportir kopi terdaftar, namun harus bermitra dengan eksportir kopi di Medan Puskud Aceh memiliki pabrik kopi di Jamur Ujung Bener Meriah untuk pengolahan basah. Hingga pemasaran kedelai oleh Puskud Aceh ke Medan, Jakarta dan Surabaya.Semua komoditas ekspor tersebut juga memiliki tantangan bisnis, terutama ketidakmampuan Aceh dalam persaingan Teknologi Kemasan Contoh; Alpokat, pengiriman ke dua, terlambat beberapa hari pengambilannya di Cargo Garuda di Singapura, akhirnya membusuk hanya sepuluh kardus untuk uji coba.
Akibatnya, terjadi pemutusan hubungan kerja dan kebutuhan Alpokat untuk Singapura akhirnya didatangkan dari Thailand. Begitu juga halnya ekspor minyak ikan hiu, empat kali dilakukan ekspor ke Jepang oleh Puskud Aceh lantas baru diketahui bahwa, minyak ikan tersebut telah dicampur dengan minyak kernel minyak inti sawit di Medan.Begitu juga saat Aceh melaksanakan Program Intam Intensifikasi Tambak, nenernya terpaksa kita pesan dari PT Duper-U di Serang Banten, syarat yang diminta nener tersebut harus berukuran PL-16 dan kemasannya dibuat memenuhi syarat bisnis misalnya diberikan oksigen untuk kehidupan nener dalam kemasan dan juga kita memesan pellet makanan untuk ikan tambak ke PT Anputraco di Surabaya Jawa Timur dan PT Mabar di Medan Sumatera Utara, disebabkan waktu itu, Aceh belum memiliki pabrik makanan ikan maupun untuk pakan ternak.Pengalaman Puskud Aceh pada kondisi masa lalu tersebut, tentu akan berbeda dalam kiprah di masa sekarang, namun persoalan penguasaan teknologi pengolahan dan teknologi kemasan harus diprioritaskan untuk menjaga kualitas ekspor, agar klaim-klaiman dapat dihindari sekecil mungkin. Tekad para saudagar Aceh tempo dulu dalam mengekspor berbagai komoditas pertanian harus diakui kegigihannya. Padahal, mereka kurang menguasai bahasa Inggris untuk bisnis, tapi ternyata berbagai hasil bumi Aceh lancar diekspor ke Eropa lewat Singapura.
Banda Aceh, 10 Oktober 2014
RAHMATSYAH