Mohon tunggu...
r. t.  mangangue
r. t. mangangue Mohon Tunggu... Dosen - Peduli terhadap permasalahan yang dialami masyarakat yang dicurangi, , dibully, dibodohi, dll.

Penggemar berat catur, penulis, ghost writer, pengajar, dan pecinta sastra Dapat dihubungi di alamat email: r_mangangue@yahoo.com. Facebook: richard mangangue. Tinggal di Manado.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Untuk Apa Ada Sekolah tetapi yang Mengajar Orangtua Sendiri?

21 Juli 2020   09:00 Diperbarui: 6 Agustus 2020   13:54 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pertama kali berita tentang covid-19 mulai tersiar pada Desember 2019. Dimulai dari Wuhan, China. Sementara itu, kasus positif covid-19 pertama kali terjadi di Indonesia pada 2 maret 2020. Dua orang WNI tertular dari seorang berwarga negara Jepang. 

Namun, berita positif covid-19 Saya menangapinya biasa saja. Saya pikir, itu pasti sama saja dengan flu burung atau Mers. Beberapa tahun silam kedua jenis penyakit itu pernah menghebohkan dunia. Namun, akhirnya kan reda juga berita tentangnya. 

Apakah demikian juga dengan covid-19? Ternyata tidak. Malah yang membuat saya terkejut, tiba-tiba saja di Indonesia sudah ada yang positif covid-19. Jumlahnya pada awalnya memang tidak banyak. 

Tapi kok kian hari, kian bertambah. Besoknya lagi bertambah. Lalu besoknya begitu juga. Eh, kok bertambah, bertambah dan bertambah terus. Wah, gawat dong kalau begini.

Tiba-tiba saja, di kota asal saya, Manado, sudah ada yang positif covid-19. Meski jumlahnya bisa dihitung dengan jari, hal itu membuat saya sangat terkejut. Wah, hal itu tidak bisa dianggap enteng lagi. Kita harus bersiap-siap menghadapi covid-19.

Gugas Penanganan Covid-19

Akhirnya, dibentuklah Gugus Tugas (Gugas) penanganan covid-19. Setiap hari juru bicaranya, baik di pusat maupun di daerah, mempublikasikan perkembangan covid-19 sesuai wilayah kerjanya. 

Pada waktu itu, para juru bicara mengimbau masyarakat untuk rajin mencuci tangan dari air yang mengalir dengan sabun, menjaga jarak. Penggunaan masker belum diwajibkan. Jangankan diwajibkan, diimbau juga belum. Meskipun demikian, orang yang memakai masker sudah banyak.

Tiba-tiba lagi saya dikejutkan dengan adanya  "lockdown" di sejumlah negara. Hal itu dilakukan karena orang-orang yang positif covid-19 telah mencapai angka puluhan ribu. Jadi, hal itu wajar dilakukan. Tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. 

Tak lama kemudian hal yang sama dilakukan juga di Tanah Air. Namanya bukan "lockdown" melainkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Untuk pertama kalinya, PSBB dilaksanakan di kota Jakarta. Penduduk Jakarta diminta untuk  "stay at home" alias tinggal di rumah.  Boleh keluar rumah untuk urusan yang sangat penting. 

Ternyata,  jumlah orang yang positif covid-19 kian bertambah, bertambah, dan bertambah terus. Saat hendak menyampaikan update berita perkembangan covid-19 di Graha BNPB, Jakarta Timur, Minggu (5/4/2020), jubir nasional Gugas pennganan covid-19, Achmad Yurianto, tampil di depan publik dengan mengenakan masker berwarna oranye. Padahal pada hari-hari sebelumnya ia dan nara sumber lainnya tidak mengenakan masker saat berbicara di mimbar. 

Mengenakan Masker adalah Kewajiban

Achmad Yurianto melakukannya supaya menjadi contoh bagi masyarakat sehubungan dengan kebijakkan baru pemerintah yang mewajibkan masyarakat, baik yang sakit maupun yang sehat, untuk mengenakan masker saat berada di tempat umum.

"Mulai hari ini, sesuai rekomendasi dari WHO, kita jalankan 'masker untuk semua'. Semua harus memakai masker ketika berkegiatan di luar," ujar Yurianto.

Semenjak pemunculan covid-19, perekonomian dan dunia usaha menjadi lesu.

Karena itu, untuk menghidupkan kembali roda perekonomian di Tanah Air, 'New Normal" atau kenormalan baru diberlakukan. Masyarakat yang sebelumnya diminta untuk "stay at home", mulai diberi kelonggaran. 

Boleh ke luar rumah melakukan kegiatan rutin dengan tetap patuh pada protokol kesehatan; pakai masker, rajin cuci tangan pada air yang mengalir dengan sabun, jaga jarak, jauhi kerumunan. Mal-mal, kantor-kantor, tempat-tempat keramaian, dsb, juga mulai dibuka.

Masa Sulit Saat Mulai Belajar dari Rumah

Hingga masa 'New Normal' sekarang ini, bahkan hingga anak penulis menerima rapor dan sudah mulai belajar kembali secara daring atau online di tahun ajaran baru di kelas yang baru, penulis teringat kembali masa sulit saat mulai belajar dari rumah. Peristiwa itu terjadi dari pertengahan Maret 2020 hingga ujian akhir semester kelas 4, dari 2 Juni hingga 8 Juni 2020.

Karena Walikota Manado meliburkan sekolah semenjak 16 Maret, hingga beberapa minggu ke depannya, pihak sekolah tentu harus mematuhinya. Hingga berakhirnya masa "liburan" yang sekaligus juga merupakan belajar dari rumah, Walikota Manado tetap memperpanjang masa belajar dari rumah. bahkan ujian akhir semester pun dilaksanakan secara daring.

Semenjak pertengahan Maret itu, penulis harus belajar banyak tentang bagaimana mengikuti pelajaran secara daring. Jadi, bukan cuma tahu menelepon atau mengirim SMS saja. Saya juga harus tahu apa yang disebut WhatsApp, Google meeting, Google Classroom, dan lain-lain.

Akhirnya, saya bisa mengikuti dari HP belajar dari rumah dengan baik. Lalu semua yang saya ketahui itu, saya jelaskan kepada anak saya, Jonathan, sehingga dia pun bisa mengikuti setiap pelajaran dari semua gurunya. 

Setelah saya amati dengan saksama, ternyata anak saya lebih jago daripada saya dalam mengutak-atik HP. Padahal, dia tidak memilikinya. Dia hanya meminjam HP saya. Saat hari Sabtu dan Minggu, saya memberinya waktu satu jam di pagi hari dan di sore hai untuk memakainya. 

Mengapa dia lebih jago? Bisa jadi mata pelajaran komputer yang telah dipelajarinya sejak kelas 1 SD, berpengaruh terhadap kemampuannya mengutak-atik HP itu. 

Tentu saja hal itu masuk akal karena hingga kini dia sudah 4 tahun belajar komputer. Saat ini dia sudah berada di tahun ajaran baru. Jadi, dia sudah duduk di kelas 5C SD1 Eben Haezar Manado.

Karena sering belajar daring, kuota sering cepat habis. Semula saya pikir, ini gara-gara belajar daring itu. Namun, setelah mencoba menganalisisnya, saya berkesimpulan, tidak mungkin karena belajar daring, kuota cepat habis. Mengapa? Karena sebelumnya saya sudah mengisi kuota dua kali lipat lebih banyak.

"Maafkan saya, Ayah."

Saya mencurigai anak saya. Pasti dia yang menghabiskannya karena beberapa kali HP saya sering tidak ada di tempat yang biasa saya gunakan untuk menaruhnya. 

Saya sering memarahinya, mengapa tidak patuh terhadap aturan untuk bermain HP hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja. Akhirnya, seperti biasa yang dilakukannya, dia berucap, "Maafkan saya, Ayah."

Saya pun memaafkannya.

Namun, keesokan harinya, dia mengulangi lagi perbuatannya. Kemudian saya memarahinya lagi. Dia pun meminta maaf lagi. Hari-hari berikutnya, dia mengulangi lagi perbuatannya. Lalu meminta maaf lagi setelah saya memarahinya.

"Kamu cuma bisa minta maaf, tetapi sesudah itu bikin lagi, dan minta maaf lagi," kata saya jengkel karena anak saya tidak bisa lepas dari HP. Diberi kesempatan untuk bermain selama satu jam, dia minta dua jam, lalu tiga jam, dan seterusnya.

Lalu saya pun menginterogasi anak saya. Saya ingin tahu apa yang dilihatnya di HP itu. Ternyata dia menonton dari Youtube kapal-kapal perang yang dimiliki berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. 

Saya merasa heran, dia cepat sekali menghapal hal-hal yang berkaitan dengan kapal-kapal perang itu. Bahkan saat penyerangan ke Pearl Harbour dalam Perang Dunia II oleh pihak Jepang, dia dapat menjelaskannya dengan baik. 

Dari "channel" Youtube serangan tentara Jepang itu dapat disaksikan dengan jelas disertai keterangan-keterangannya. Bahkan dia menjelaskan kepada saya (padahal saya sudah mengetahuinya) bahwa kemenangan tentara Jepang di Pearl Harbour itu karena para pilotnya yang berani mati. Mereka menabrakkan pesawatnya ke kapal-kapal perang Amerika Serikat.

Karena dia anak tunggal, saya hanya memarahinya sambil menasihatinya agar tidak selalu nonton Youtube.

"Kalau kuota selalu cepat habis, Ayah pasti akan sering beli kuota. Beli kuota itu kan pakai uang. Kalau uang habis hanya untuk beli kuota, bagaimana kita bisa beli makanan? Apa kita harus berpuasa? Tidak kan. Kita pasti harus makan setiap hari," ujar saya sambil berusaha untuk tidak terpancing sehingga tekanan darah tidak melonjak tinggi. 

Meskipun demikian, saya tetap beli kuota karena setiap hari selalu ada tugas dari para guru. Kalau tidak membuat tugas yang diberikan, guru mata pelajaran akan menulis nama-nama murid yang belum memasukkannya di WA grup kelas 4C. Malu kan kalau nama anak saya tercantum di pengumuman itu. Nanti guru-guru akan beranggapan bahwa orangtua Jonathan tidak punya perhatian pada anaknya. Ini yang saya jaga.

Terus terang, dengan belajar dari rumah, kuota yang terpakai memang cukup banyak. Belum termasuk kuota yang dipakai anak saya untuk melihat "channel" Youtube. Secara sembunyi-sembunyi, dia suka mengambil HP saya, saat saya tidur siang atau sedang membuat tulisan di laptop.

Yang Sangat Repot adalah Orangtua

Terus terang juga, dengan belajar dari rumah, yang sangat repot adalah orangtua. Dengan belajar dari rumah, guru justru lebih santai. Guru hanya memberikan tugas dan memeriksa tugas. Lalu memberikan nilai. Jadi, orangtua juga merangkap sebagai guru. 

Bersyukurlah orangtua yang punya waktu untuk membantu anak-anaknya. Mereka bisa memberi penjelasan kepada anak-anaknya supaya mereka mengerti. Dapat disebut, dengan belajar dari rumah kegiatan orangtua menjadi berlipat ganda. 

Syukurlah, ada sekolah yang memberikan korting untuk pembayaran SPP murid-muridnya. Mungkin turut diperhitungkan juga jerih lelah orangtua. Mereka kan menjadi sangat repot dan makin banyak hal yang harus dikerjakan sehubungan dengan aktivitas belajar dari rumah.

Semoga Badai Covid-19 Cepat Berlalu.

Harapan para orangtua, termasuk kita semua,  adalah agar badai covid-19 ini cepat berlalu. Dengan demikian, beban orangtua untuk mengajar anak-anaknya dikembalikan ke guru-guru. Buat apa ada sekolah, tapi yang mengajar anak-anak adalah orangtuanya sendiri. 

Logikanya, kalau yang mengajar orangtua, para murid tidak perlu membayar SPP. Seharusnya kan begitu?  Tapi ya sudahlah. Sekali lagi, harapan kita bersama adalah badai covid-19 cepat berlalu. AMIN!  

Oleh: Richard Tuwoliu Mangangue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun