Oleh: Richard Tuwoliu Mangangue
Tetiba dan gegara adalah dua kata yang belakangan ini sering dipakai oleh para pengguna bahasa. Dalam ilmu pembentukan bahasa (morfologi) Indonesia, ada proses pembentukan kata yang bernama reduplikasi dwipurwa.Â
Proses ini mengulang bagian depan atau suku kata awal dari sebuah kata dasar. Pengulangan ini biasanya diikuti dengan pelemahan vokal pertama. Contohnya, lelaki dari laki-laki dan beberapa dari berapa-berapa. Atau, contoh dari reduplikasi dwipurwa yang mendapat kombinasi akhiran -an, seperti pepohonan, rerumputan, dan bebatuan.
Menurut Totok Suhardijanto, pengajar Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, "Pemakaian bentuk gegara dan tetiba tidak menyalahi kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia."
Salah satu fungsi pengulangan dwipurwa adalah menciptakan kata baru yang dapat mewakili konsep tertentu. Misalnya, jejaring dari jaring dan tetikus dari tikus. Atau, fungsi lainnya adalah memendekkan bentuk ulang. Misalnya, laki-laki menjadi lelaki atau pohon-pohonan menjadi pepohonan.
"Nah, kelihatannya gegara dan tetiba mengadopsi fungsi kedua (pemendekan) sehingga diperoleh tetiba dari tiba-tiba dan gegara dari gara-gara," tukas Totok.
Jadi, tidak ada salahnya ketika kini mulai muncul bentuk tetiba atau gegara di mana-mana. Bentuk tetiba dan gegara merupakan bentuk yang benar jika dilihat dari kacamata morfologi.
Kesimpulannya, kata gara-gara dipendekkan menjadi gegara. Kata tiba-tiba menjadi tetiba. Namun, saya tidak setuju untuk kata tetikus. Mengapa? Kalau untuk orang Manado, masa' TETIKUS berasal dari TIKUS-TIKUS?
Banyak kata dalam bahasa Melayu Manado yang disebut dua kali atau diulang, misalnya rabu-rabu, bogo-bogo. Bila pengulangan dwipurwa dilakukan, RABU-RABU menjadi RERABU, BOGO-BOGO menjadi BEBOGO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H