Mohon tunggu...
rama wibi
rama wibi Mohon Tunggu... lainnya -

i'am nothing but i want to be something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Moral Diantara JIS dan Dinda

19 April 2014   19:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu belakangan ini kasus yang berkaitan dengan moral rasanya marak terjadi, bergaung melalui social media Path dan juga Twitter gue mendengar banyak hal mengenai dua kasus yang booming banget. Kasus perkasus kalau kita lihat pasti kita menyalahkan si tersangka utama, tapi tidak ada yang melihat dari sisi lain, maksudnya Ram?? iya maksudnya, melalui beberapa media kita selalu “diajarkan” untuk menyalahkan hal-hal yang bersifat moral kepada si tersangka, tetapi tidak kepada resourcenya. Masih gak ngerti?? sama kalo gitu, hahahahahhaha. *dilempar puluhan galon* *terus galon ditangkep buat gue jual lagi*.

Ada yang bisa mendefinisikan soal moral? menurut wikipedia, moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Cukup mengerti dengan istilah tersebut maka kita akan langsung men-judge sesuatu yang dilakukan oleh orang lain apakah itu bermoral atau tidak, salah? gue rasa tidak, semua manusia diciptakan mempunyai akal untuk membedakannya, dan sebagai manusia pula kita mempunyai hak tanya dan jawab untuk mendefinisikannya.

Kasus JIS, yang dimana seorang anak balita mengalami sexual abuse oleh para cleaning service disekolahnya, saat tau berita itu pertama kali gue mangkel bukan main, pertanyaan gue kenapa harus balita? oh jadi kalo bukan balita boleh Ram? that’s not my point. Gue bukannya membolehkan, tapi si tersangka ini apakah tidak mempunyai kerabat yang juga masih balita, seandainya kerabat mereka yang balita mengalami sexual abuse apakah mereka mau terima? saya rasa tidak akan ada yang menerimanya. Maksud gue kenapa harus balita adalah? orientasi sexual yang dialami oleh para tersangka tersebut gue tidak akan menghakimi, tetapi mbok ya yang dipilih bukan balita gue rasa dengan bekerja di JIS taraf salary mereka bisa kok untuk sekedar “jajan” dan melampiaskan orientasi sexualnya yang aneh. Kita juga gak bisa menutup mata, bahwa kegiatan sexual di NKRI ini menjamur bisa dibilang anak SMP juga bisa “menjual” untuk mendapatkan sekedar pulsa, yang gue sayangkan adalah dimana para otak tersangka tersebut hingga tidak mau “bermodal” untuk melampiaskan orientasi sexualnya.

Melalui media gue beberapa kali membaca tanggapan dari ratusan orang yang bilang kalo JISnya disalahkan dan harus ditutup, karena tidak bekerja sama, karena ini dan itu. HEY, kenapa harus JISnya disalahkan, jika JIS menutup diri itu wajar, karena JIS adalah sekolah internasional yang mana akan berakibat kepada nama yang dibawanya, tidak usah memaki-maki untuk menutup JIS dan mengecap pemerintah atau apapun terkait kasus tersebut, masyarakat dewasa kok untuk -sementara- tidak memilih sekolah tersebut kepada anak-anaknya. Dari sekian banyak komentar yang gue baca isinya 100% menyalahkan JIS dan si tersangka, dan itulah masyarakat kita pada umumnya, kalo gue bilang itu nol besar menyalahkan sesuatu kepada objeknya.

Lain hal lagi dengan kasus Dinda, ramai diperbincangkan jika seorang wanita yang entah sudah bekerja atau masih kuliah, atau lebih tepatnya masih remaja atau sudah dewasa. Dinda mempermasalahkan keruwetan yang ada didalam gerbong commuter line milik KAI, dan sebelum Dinda pun sudah ada kasus yang sama. Dinda tidak salah dalam hal nyinyir mengenai capeknya dia yang harus berdesak-desakan dan mencari tempat duduk di CL, salahnya dia adalah menghardik seorang ibu hamil yang notabene nya nanti dia pun akan menjadi seorang ibu hamil. Permasalahannya kita tahu tidak apakah kejadian tersebut ada dikursi prioritas atau bukan? jika dikursi prioritas maka Dinda tidak bisa membela dirinya, namun jika bukan dikursi prioritas maka empatilah yang akan berbicara.

Dan lagi-lagi saat booming di portal berita, komentar-komentar yang langsung men-judge si tersangka menjadi-jadi, dibilang tidak bermoral lah, dibilang tidak tahu diri, masih bocah, dan lain lain. Dan pastinya langsung menyalahkan Dinda 100%. Gue tidak menyalahkannya 100%, siapapun pasti yang naik CL -begitupun gue- pasti akan berebut untuk duduk didalamnya, tidak peduli mendorong ibu hamil, manula atau anak kecil sekalipun. Terjadi kan secara nyata yang gue bilang tadi, tapi maaf gue tidak melakukannya untuk mendorong ibu hamil. Tapi gue menyalahkan Dinda karena menghardik ibu hamilnya, bukan kepada nyinyirnya dia yang mau egosentris didalam CL.

Dari dua kasus diatas pasti kita bisa bilang kalo moral pelaku diatas sangatlah rendah dan langsung memvonis mereka bersalah 100 %? benar bukan. Tapi maaf, pernah baca soal definisi moral yang ditulis oleh Maria. J Wantah seperti ini “Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku.”. Menurut gue secara explisit, kalimat tersebut bilang bahwa kita sebagai manusia diciptakan memang hanya sekedar bilang salah dan benar. Dan itu sudah kita lakukan sejak kita mulai remaja sampai sekarang ini, namun ada teori yang gue suka dari seorang psikologi USA yang berucap bahwa “setiap manusia bergerak karena mendapat rangsangan dari lingkungannya.”. Dan ucapan itulah yang selalu jadi pegangan gue untuk melihat masalah, terlebih dia memberikan space kosong diantara teorinya itu dengan “hubungan antara stimulus (perubahan lingkungan dan sekitar kita) dan respon yang terjadi melalui interaksi akan menimbulkan perubahan tingkah laku.”.

Apakah saat kita mendengar kasus tersebut kita jadi menyalahkan 100% kepada si pelaku? kenapa kita tidak mengambil peran untuk disalahkan?? maksudnya Ram, maksud gue adalah apakah benar kesalahan tersebut ada dipihak mereka semua. Apakah kita tidak pantas juga untuk disalahkan. Seperti :


  1. Peran televisi tidak ikut ambil bagian?
  2. Apakah peran orangtua dan keluarga tidak ambil serta?
  3. Apakah peran saudara dan sepupu juga tidak kena bagian?
  4. Apakah peran teman-teman juga tidak ikut ambil bagian?
  5. Apakah tatanan hidup dimasyarakat yang sudah kacau ini juga tidak ambil peran?
  6. Lalu apakah para tokoh-tokoh agama tidak mengambil peran?
  7. Atau fasilitas dan gaya hidup hedonis tidak mengambil bagian?
  8. Social media dan internet apakah tidak termasuk?
  9. Peran lingkungan?


Dan masih hal-hal yang bisa menjadi andil kesalahan untuk dua kasus diatas, lalu saat kita men-judge 100% kesalahan mereka apakah kita tidak merasa malu bahwa telah sediktinya menciptakan kesalahan tersebut ?!?!?!?!?

~r4,20140419~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun