Demokrasi yang sudah dibangun selama 26 tahun sepertinya mulai menjenuhkan bagi para penikmat zona nyaman. 32 tahun menikmati zona nyaman tanpa gejolak dan aman walaupun sebenarnya menyimpan bara dikatakan sebagai kondisi yang terbaik. Semua sudah diatur terpusat dan tidak ada secuil pun partisipasi rakyat.
Uang yang berputar hanya dinikmati oleh elite penguasa. Baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Legislatif tetap saja menuntut bayaran akan pilihan politiknya sebab tidak ada makan siang gratis dalam politik. Sementara eksekutif bertugas main mata dengan legislatif untuk menggolkan calon pilihannya. Main mata berarti juga butuh biaya.
Jangan beranggapan kalau pilihan kepala daerah tidak langsung tidak menghabiskan biaya yang besar. Kata siapa? Justru dengan pilkada tidak langsung biaya yang dikeluarkan tidak pernah dinikmati oleh masyarakat. Karena uang berputar pada kisaran legislatif dan eksekutif, rakyat hanya dapat melongo menyaksikan permainan mereka.Â
Aksi suap menyuap dapat dipastikan terjadi di lembaga legislatif dan antar partai dalam pertarungan tersebut. Biaya untuk maju sebagai calon kepala daerah bisa jadi lebih besar karena partai juga membutuhkan biaya untuk menjalankan organisasinya. Belum lagi kepentingan pribadi pasti akan muncul dalam sistem pilkada tidak langsung. Siapa yang menguntungkan dirinya pasti akan didukungnya tanpa melihat kapabilitas sang calon.
Bisa juga terjadi partai pemenang pemilu legislatif akan ditelikung seperti saat awal masa reformasi. Tentu akan menimbulkan gejolak yang tidak boleh diremehkan di masyarakat. Logika bahwa partai pemenang akan menjadi pimpinan tidak mungkin terjadi, walaupun secara kursi menguasai suara di legislatif. Berbeda dengan pada pilihan secara langsung partai pemenang belum tentu dapat memenangkan pilihan kepala daerah. Karena pilihan legislatif bisa jadi berbeda dengan pilihan kepala daerah. Dan itu fair karena rakyat yang menentukan.
Kenyataannya negara sebagai user Komisi Pemilihan Umum hanya mengeluarkan biaya untuk logistik pilkada dan beberapa akomodasi penyelenggara pemilu. Yang besar adalaha modal para calon kepala daerah. Dan itu wajar untuk menarik simpati masyarakat. Namun uang tersebut berputar di tengah masyarakat dalam berbagai bentuk termasuk ikut menggerakan ekonomi masyarakat. Jadi uang tidak terbuang tetapi berputar di tengah masyarakat.
Jangan menyederhanakan masalah dengan alasan efisiensi. Tapi kiranya perlu mempertimbangkan efek ekonomi di tengah masyarakat dengan adanya gelaran pilkada langsung. Coba dipikirkan kalau pilkada tidak langsung alias pilihan diserahkan ke lembaga legislatif, tentu uang yang mereka terima akan dibuang ke luar negeri untuk bertamasya. Berbeda kalau uang tersebut beredar di masyarakat maka justru akan menggerakan ekonomi masyarakat.
Jadi tidak ada yang salah dengan gelaran pilkada langsung. Kenyataannya masyarakat sudah mulai dewasa dalam berpolitik. Kadang elite politik yang justru terlalu merisaukan kebisingan di masyarakat. Atau jangan-jangan justru keinginan untuk mendapat hasil yang besar bagi kepentingan pribadi dari gelaran pilkada tidak langsung yang mereka inginkan.Â
Demokrasi itu bising tetapi setidaknya penghormatan terhadap suara rakyat terakomodasi. Jangan pernah lelah memperjuangkan demokrasi karena sejatinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Yakinlah negara tidak pernah rugi menggelar pilkada langsung karena tidak ada uang yang lari ke luar negeri hanya berputar di tengah masyarakat.
Salam Sehat.....!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H