Pilkada serentak yang sebentar lagi akan digelar perhelatannya pada tanggal 27 November 2024, menyisakan sebersit tanya : Dapatkah pilihan masyarakat digiring ? Seperti layakanya Pilpres yang mampu menggiring pilihan masyarakat dengan tampilan elektoral survei yang tinggi dan masifnya dukungan partai besar yang ada di dalam kekuasaan, tentu Pilkada pun bukan tidak mungkin akan mengalami hal yang sama.
Namun yang menjadi fenomena menarik adalah di Pilkada Jawa Tengah dan Daerah Khusus Jakarta. Kedua daerah ini menarik karena survei awal menunjukkan pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memiliki tingkat elektoral tinggi mulai disusul oleh pesaingnya yang muncul belakangan.
Bukan tidak mungkin hal tersebut tentu mengkhawatirkan posisi Partai-Partai besar yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Sebab harapan mereka di kedua daerah ini ( atau kalau mau mengatakan ) di semua daerah sebisa mungkin Calon Kepala Daerahnya berasal dari koalisi mereka. Apabila dapat terwujud tentu akan memudahkan untuk melaksanakan program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah yang mereka dukung.
Walaupun sebenarnya secara undang - undang tidak akan pernah terjadi seorang Kepala Daerah memboikot program pemerintah pusat, kecuali pada beberapa kasus terdahulu di saat event olahraga diboikot oleh dua orang Kepala Daerah. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan partai koalisi pemerintah untuk berusaha memenangkan Kepala Daerah pilihan mereka.
Mampukah mereka menggiring suara rakyat agar menetapkan pilihannya kepada Kepala Daerah usungan koalisi pemerintah. Sepertinya nama mantan Presiden terdahulu masih hangat untuk dijadikan alat penggiring suara pemilih. Dengan tingkat kepuasan tinggi dan belum lama berhenti, maka memori masyarakat sepertinya belum hilang untuk memberikan apresiasi kepada pilihan beliau. Namun seberapa efektif, sepertinya hasil survei terbaru mulai menunjukkan ketidakefektifan hal tersebut.
Semua tidak tahu kemana arah angin Presiden terdahulu dalam Pilkada Jawa Tengah dan Daerah Khusus Jakarta. Dan untuk Jakarta sepertinya mas Pram dijadikan kuda hitam untuk melawan kaum radikalis yang tidak disangka - sangka merapat ke koalisi yang didukung oleh sang mantan presiden. Bukankah seperti minyak dan air ?
Dan sang surveyor pun sekarang sudah berada di lingkar kekuasaan mampukah menggiring opini pemilih dalam Pilkada agar menetapakan pilihannya pada pasangan yang didukung mereka ?
Di era kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, tentu bagi para ahli di bidangnya akan mempunyai segudang cara untuk mengaduk-aduk psikologi masyarakat dalam menetukan pilihannya. Dan bagi sebagian masyarakat zona nyaman menjadi pilihan mereka dalam menentukan pilihannya. Namun bagi beberapa masyarakat yang lain melihatnya berbeda. Mungkin ada yang mendambakan adanya perubahan yang signifikan, ada yang mengikuti preferensi para tokoh agama, ada juga yang sangat kritis dengan berbagai peristiwa di masa lalu maupun masa kini.
Jadi bukan hal mudah untuk menggiring pilihan rakyat. Prestasi sekecil apapun dari seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan di masyarakat sepertinya lebih dapat untuk menggiring pilihan masyarakat. Saat ini rakyat hanya butuh bukti kinerja dari pemimpinnya, sehingga seolah masa bodoh dengan sepak terjang yang sebenarnya tidak sesuai aturan. Yang penting berprestasi dan membawa banyak perubahan. Kalau berprestasi maka yakinlah lembaga survei lebih mudah menggiring opini masyarakat.
Maka jadilah pemimpin yang berprestasi dan taat kepada aturan konstitusi, maka anda akan dikenang harum sepanjang masa. Jangan sampai prestasi dijadikan tameng untuk mengkhianati konstitusi. Semoga.......
Salam Sehat....!!!