Jalan panjang untuk dapat menghasilkan Pemilu yang berkualitas kadang harus melewati berbagai tantangan dan hambatan. Tidak terkecuali hujatan akan tidak maunya mengakui kekalahan dalam kompetisi Pilpres 2024.
Kalah dan menang dalam sebuah kompetisi sebenarnya merupakan hal yang lumrah terjadi. Menjadi tidak lumrah apabila sebelum kompetisi terjadi upaya -upaya yang tidak wajar yang dilakukan oleh beberapa pihak yang akan berkompetisi. Terlebih apabila yang melakukan adalah penguasa yang gelagat perilakunya tidak netral dan cenderung menganakemaskan salah satu kontestan. Lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin sudah netral. Tetapi upaya untuk menggiring pilihan masyarakat itulah yang oleh beberapa masyarakat dianggap mencederai demokrasi.
Sebenarnya pola penggiringan pemilih dalam hal ini masyarakat menjadi hal yang wajar apabila hal tersebut dilakukan melalui media baik media sosial maupun pers atau dikenal dengan istilah media darling. Namun apabila ada upaya yang lain walaupun tidak dapat dibuktikan tentu akan sangat mencederai rasa keadilan bagi kontestan yang lain.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengadili sengketa Pilpres mungkin juga sulit untuk membuktikan kecurangan diluar kalkulasi angka perolehan suara antar kontestan Pilpres. Membuktikan kecurangan bukan perkara mudah diluar hal tersebut. Mungkin juga pertimbangan lebih menjaga ketenangan pasca Pilpres lebih diutamakan daripada menghasilkan keputusan yang kontroversial yang berakibat fatal bagi kepentingan banyak orang.
Maka bisa dikatakan kalau Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa Pilpres lebih pada lembaga yang mengevaluasi jalannya Pipres tanpa menganulir hasil Pilpres. Evaluasi akan jalannya Pilpres perlu dilakukan oleh lembaga formal seperti Mahkamah Konstitusi agar pilpres di Indonesia menjadi semakin lebih baik. Apabila evaluasi hanya dilakukan di forum debat baik di media sosial maupun televisi maka hanya akan menjadi perdebatan yang tidak berujung.
Jadi gugatan di Mahkamah Konstitusi sebaiknya disikapi sebagai upaya koreksi dari hasil penyelenggaran Pilpres yang dilembagakan. Hasil koreksi dari hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi sebaiknya dapat dijadikan rujukan dalam membuat peraturan Pemilu pada tahap selanjutnya. Jangan sampai hanya dijadikan angin lalu.
Yang lebih penting lagi Hakim di Mahkamah Konstistusi harus berani membuat koreksi atas hasil gugatan pihak yang bersengketa tanpa menganulir hasil penghitungan suara Pilpres. Jangan sampai hakim hanya bersifat mengamankan seluruh hasil Pilpres / Pemilu termasuk hal - hal yang dirasa janggal oleh sebagian masyarakat terutama proses penyelenggaraan baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan Pilpres / Pemilu. Kalau memang ada kejanggalan sebaiknya juga diungkapkan tanpa mempengaruhi hasil Pilpres / Pemilu.
Bagaimanapun bersengketa masalah Pilpres tidak boleh dipandang sebagai upaya tidak mau mengakui kekalahan sehingga membuat kericuhan. Masyarakat harus lebih dewasa dalam berdemokrasi termasuk para pemimpinnya, walaupun bersengketa tetap harus mampu mengedukasi para pemilihnya agar tetap berkepala dingin dalam mensikapi hasil sengketa Pilpres. Setiap proses Pemilu baik Pilpres, Pilkada, maupun Pileg  tentu tetap harus ada koreksi agar kualitas demokrasi tetap terjaga.
Menggugat hasil Pilpres adalah hal yang baik jangan dipandang sebagai orang yang tidak mau mengakui kekalahan. Sepanjang jalannya Pemilu berkualitas tentu MK akan sepi dari gugatan. Mahkamah Konstitusi harus mampu menjadi penengah dalam setiap sengketa agar jalannya demokrasi semakin berkualitas.
Salam Sehat........!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H