Penorehan abu di dahi sebagai tanda dimulainya awal masa Pra Paskah kini tidak hanya dilakukan oleh satu denominasi Gereja saja. Tetapi hampir sebagian Gereja mainstream melakukan ritual tersebut.
Abu atau debu menjadi tanda pengingat akan keberadaan manusia yang berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Kitab Kejadian pasal yang kedua mengingatkan akan hal tersebut bahwa manusia berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi tanah.
Kalau boleh dikatakan bahwa ritual Rabu Abu adalah proses penyadaran akan jati diri manusia yang sebenarnya sangat lemah ( karena berasal dari debu tanah ) kemudian dihembusi daya hidup oleh roh Tuhan sang pencipta sehingga menjadi sosok yang kuat dan berwujud. Tanpa campur tangan Tuhan mustahil manusia akan hidup dan berakal budi. Kekuatan penopang inilah yang harusnya menjadi penyadaran bahwa hidup kita sangat bergantung pada Tuhan.
Hidup yang merupakan anugerah dari Tuhan dan atas topangan Tuhan sudah selayaknya digunakan untuk mewartakan kebaikan Tuhan sang pencipta. Hidup harus lebih bermakna bagi sesama karena kita semua manusia lebih dahulu dikasihi Tuhan Sang Pencipta lewat hembusan roh hidup pada diri kita.
Tidak elok apabila hidup hanya dijalankan seadanya tanpa makna bagi sesama. Bermakna berarti mampu memberikan daya hidup bagi sesama yang kurang beruntung, miskin, dan papa. Saling topang dan sangkul sinangkul dalam hidup bermasyarakat. Sehingga kebaikan Tuhan atas hidup ini bisa dirasakan oleh sesama.
Tidak mudah melakukannya, tetapi memohon untuk dimampukan kiranya bisa kita lakukan setiap hari. Agar penorehan abu di dahi menjadi bentuk proses penyadaran akan hidup yang harus lebih bermakna. Selamat mengalami Rabu Abu.....Tuhan memberkati !!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI