Baru-baru ini kita semua dikejutkan dengan kasus investasi bodong ala KSP Pandawa Mandiri Group yang berhasil menipu kurang lebih 700 investornya dengan nilai diperkirakan berkisar Rp.3 T. Kejadian investasi bodong ini bukan yang pertama kalinya dan sepertinya bukan juga yang terakhir kalinya. Sudah banyak kasus serupa terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Di Banjarmasin sendiri pernah terjadi kasus H. Lihan yang ceritanya serupa tapi tak sama aktornya. Entah siapa yang harus bertanggung jawab, entah instansi apa yang harus disalahkan atas kejadian ini. Sepertinya kita ini memang tak lebih pintar dari seekor keledai, yang tidak mau terperosok ke lubang yang sama dua kali. Semoga kasus investasi bodong ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap orang yang ingin kaya dengan jalan pintas. Tapi melihat para korbannya yang menyetorkan modal sampai milyaran rupiah per-orang tentu ini bukan masalah ingin cepat kaya lagi karena memang mereka sudah sangat kaya untuk ukuran orang normal, ini mungkin masalah kebodohan dan keserakahan. INGAT, tidak ada jalan mudah untuk mendapatkan uang tanpa kerja keras yang cerdas. Jika ada investasi yang menawarkan keuntungan 10% perbulan dengan hanya menyetorkan modal, dijamin itu 90% penipuan dan hanya 10% keberuntungan. Investasi dengan skema Ponzi bukan hanya memakan korban di Indonesia bahkan di mancanegara juga sudah sering terjadi, diantaranya yang terkenal kasus Bernard Madoff. Skema yang diambil dari nama Charles Ponzi (1920) selalu terulang lagi di Indonesia.
Kasus investasi bodong KSP Pandawa Mandiri Group terjadi karena pemerintah tidak berhasil melakukan fungsi pencegahan (preventif) karena lemahnya sistem pengawasan itu sendiri. Hal ini terjadi karena adanya kesimpangsiuran dalam melakukan pengawasan terhadap koperasi-koperasi yang ada, pemerintah seperti binggung menghadapi semua ini. Apakah berada dibawah pengawasan Kemenkop & UKM atau Otoritas Jasa Keuangan, walau sekarang OJK sudah mewajibkan koperasi-koperasi yang menghimpun dana masyarakat untuk segera melapor ke OJK. Habitat koperasi-koperasi itu sendiri sudah mengakar ke Kemenkop & UKM jadi sangat sulit bagi mereka merubah habit atau memang "malas" merubahnya.
Tak kalah serunya dengan masalah investasi bodong kini juga ada kasus-kasus dosen bodong di berbagai PTS di Indonesia. Dosen bodong itu merupakan dosen yang namanya tercatat di Pangkalan Data Penrguruan Tinggi (PDPT), tetapi sebenarnya tidak pernah mengajar bahkan tidak tahu namanya ada disitu. PTS mengunakan nama dosen untuk melengkapi pembukaan jurusan baru atau tetap menggunakan nama dosen yang sudah keluar. Tidak jarang pula dosen yang akan pindah homebase mendapatkan kesulitan dari kampusnya yang lama karena namanya masih dipakai walau tidak mengajar lagi di PTS yang lama. Ada cerita menarik dari beberapa teman dosen yang pindah homebase, disebutkan oleh PTS yang lama bahwa dosen tersebut sudah mendapat gaji yang layak sampai belasan juta rupiah perbulan. Namun ketika dikonfrontir langsung kepada dosennya diketahui bahwa gaji yang diterimanya hanya tiga ratus ribu rupiah perbulan. Bisa dibayangkan jika gaji dosen dengan latar belakang pendidikan Master (S2) hanya mendapat gaji lebih rendah dibandingkan buruh dengan standar UMP. Bayangan tentang kehidupan dosen PTS perlu mendapat perhatian pemerintah. Jika kaum terdidik saja tidak dihargai secara LAYAK apalagi orang-orang yang terpinggirkan. Kemenristekdikti perlu melakukan terobosan agar dunia pendidikan tinggi Indonesia benar-benar mencerminkan "ketinggiannya" dalam segi mutu dosen, akreditasi kampus, kuruikulm yang link and match dengan dunia kerja dan tentunya kualitas standar gaji dosen.
Dunia pendidikan tinggi yang mencetak para sarjana setiap tahunnya tidak tertampung oleh ketersediaan lapangan pekerjaan, baik itu di pemerintahan maupun sektor swasta. Maka tak heran jika saat ini diperkirakan ada 650000 sarjana yang menganggur. Persoalan ini akan menimbulkan banyak masalah karena pengangguran terdidik merupakan cerminan gagalnya sistem pendidikan nasional. Saat ini kampus berlomba-lomba meluluskan mahasiswanya sesuai tuntutan pasar dan mereka berlomba-lomba juga untuk menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya sesuai tuntutan operasional. Pembatasan penerimaan jumlah mahasiswa harus secara tegas diawasi sesuai rasio kecukupan dosen. Dan hal inilah yang menyebabkan adanya dosen bodong di PTS karena nafsu menerima mahasiswa yang besar tidak dibarengi dengan ketersediaan jumlah dosen dan akhirnya mencatut, memakai dan memaksakan nama orang lain atau dosen agar tetap berada di PDPT PTS. Seharusnya Kemenristekdikti dapat memberikan jaminan perpindahan homebase dosen secara cepat untuk kebaikan karier dosen dan memberikan sangsi yang tegas terhadap PTS yang mempersulit kepindahannya karena itu merupakan hak dosen.
Keteraturan suatu bangsa dapat dinilai dari kualitas pendidikannya dan tentunya dari manajemen kependidikan itu sendiri.
Penulis,
Dosen PTS di Banjarmasin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H