[caption id="attachment_273204" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com/Ronny Adolof Buol)"][/caption] Fenomena BLSM atau yang biasa kita sebut dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat seperti halnya obat bagi penyakit kanker yang jika tidak kita berikan maka penyakit kanker tersebut akan bertambah kronis dan luar biasa parahnya. Ya,itulah fenomena yang kini marak terjadi di Indonesia dimana masyarakat akan diberikan bantuan akibat dampak dari kenaikan BBM dengan uang Rp150.000,00. Sekilas,bagi orang dengan tingkat ekonomi kelas menengah kebawah,uang sebesar tersebut sangatlah besar. Apalagi buat saya yang notabene merupakan anak kos.hehehehe. Namun seiring berjalannya waktu,BLSM kini menuai kontroversi yang luar biasa di masyarakat meskipun ada pula yang memberikan pujian terhadap bantuan BLSM ini. yah meski ga banyak sih. Kalau kita cermati fenomenanya,kontroversi yang ada dalam masyarakat disebabkan adanya kesenjangan sosial dimana masyarakat yang mampu justru dapat menikmati uang BLSM. Begitu pula sebaliknya yang mana orang orang yang seharusnya berhak menerima namun pada kenyataannya justru tidak bisa menikmati uang BLSM. Beragam kontra-persetujuan tentang BLSM ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar tentunya bagi saya,dan ah mungkin juga bagi yang membaca: "Efektifkah dana BLSM membantu mengurangi kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya membantu meringankan kemiskinan bagi si rakyat kelas menengah ke bawah?". Sungguh pertanyaan dasar tapi patut direnungkan. Walau saya kurang ahli dalam bidang kajian ekonomi,(karena saya lebih tertarik mengamati dalam aspek kebudayaan pariwisata dan culinary culture),namun izinkanlah saya untuk memberikan pandangan umum saya terhadap fenomena BLSM dari kajian sosial dan budaya. Kalau kita berbicara tentang kebudayaan sebenarnya bukan hanya sebatas tentang bagaimana kita mengetahui pakaian adat, seni pertunjukan, pergelaran teater,pariwisata, makanan, karya-karya sastra-seni sebagai bentuk yang kasat. Di balik yang kasat mata itu terdapat suatu mind set, pola pikir dan mentalitas. ya,hampir disetiap masyarakat pastinya mempunyai mind set ,pola pikir tersendiri yang pastinya berbeda antara satu dan yang lainnya. kita berikan contoh bahwa kebudayaan di sumatera antara sumatera utara dan sumatera barat tentu berbeda meski berasalk dari sumatera. maaf jika terlalu jauh berbicara,namun dibalik itu semua dari pemikiran pemikiran masyarakat maka terbentuklah sebuah karya yang disetujui oleh banyak masyarakat sehingga pada akhirnya akan membentuk suatu jenis kebudayaan terlepas dari apakah jenis kebudayaan tersebut. Sekarang kita akan melihat bagaimana bentuk kebudayaan yang bernama kemiskinan. Kemiskinan menjadi suatu problematika bagi negara berkembang. Apalagi di indonesia dengan beragam multietnisnya dimana dalam kehidupannya terdapat kesenjangan sosial si miskin dan si kaya. Menurut Oscar Lewis (dalam Parsudi Suparlan: 1995) tentang kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan merupakan budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Lewis menyatakan bahwa kemiskinan adalah salah satu subkultur masyarakat yang memiliki kesamaan ciri antaretnik satu dengan yang lain. Kebudayaan kemiskinan cenderung hadir dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi dimana salah satunya adalah orientasi keuntungan,upah yang sangat tidak memadai atau kurangnya tenaga kerja yang tidak terampil. Dalam tinjauan antropologi, kemiskinan merupakan adaptasi atau penyesuaian reaksi kaum miskin yang termarginalkan dimana mereka kini hidup dalam masyarakat kelas kelas sosial dan kapitalis semata. Mereka hanya punya pilihan yang sedikit dengan cara menentang kapitalis atau menerima kapitalis dengan kedongkolan hati mereka akibat ketidakberdayaan melawan. Karl marx juga mengungkapkan bahwa kemiskinan terjadi akibat kaum kaum borjuis mampu menguasai alat alat vital produksi sehingga masyarakat kecil tidak mampu lepas dari kemiskinannya. lebih tepatnya ini dalam bahasa kasarnya mungkin yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya. Pandangan lainnya dari Herbert J. Gans (dalam Parsudi Suparlan: 1995) dengan pendekatan interaksionalnya menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan kaum miskin merupakan hasil interaksi antarfaktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan faktor situasi yang menekan. Ya,pada dasarnya pendapat mereka hampir sama dengan teori struktural fungsional dimana efek globalisasi yang terus menerus menghimpit negara berkembang mengakibatkan efek terciptanya kerugian dan keuntungan yang diterima. Pada akhirnya dari uraian tersebut masyarakat membentuk solidaritas sosial antar kelas yang sama. Hal ini bertujuan untuk memperkuat patron klien yang sudah ada. Namun efeknya yang jauh lebih besar,justru dapat menciptakan kecurigaan antar kelas,kemalasan,pemasrahan nasib,mengurangnya skill kerja,dll. Lalu apa relevasinya dengan BLSM dan kebudayaan kemiskinan?mari kita lihat perspektif BLSM di masyarakat. Berangkat dari sedikit teori teori yang dijabarkan diatas dan pengalaman saya ke lapangan dalam penelitian antopologi,maka saya melihat bahwasanya pemberian BLSM ini justru akan menambah kuat kebudayaan kemiskinan yang ada di indonesia. Pandangan yang salah dimana pihak pihak pemerintah hanya menggunakan satu sudut pandang yang menurut hemat saya,ekonomi harus dilawan dengan ekonomi(kemiskinan dilawan dengan uang). Seharusnya pemerintah dan kalangan atas menggunakan perspektif pandangan kemasyarakatan sosial budaya dimana tidak melulu harus melalui ekomi jika kita ingin membantu kemiskinan. Sayangnya hal ini kurang dimiliki masyarakat kita yang mana kemiskinan akibat efek dominasi ekonomi. Mengapa kajian sosial budaya tidak pernah diperhatikan?ini sungguh permasalahan yang sangat kritis bagi kita semua. Saya teringat dengan ucapan salah satu dosen saya yang mana kemiskinan memnag diakibatkan oleh turun temurun. relevansinya sebagai gambaran:"Kita ini sudah miskin,ga usah sekolah tinggi tinggi.mending kamu bantu bapak/ibu berladang saja.trus kamu jual dan hasilnya buat makan". Justru hal hal inilah yang membuat kemiskinan makin membudaya karena dari masyarakat kecil sudah dipengaruhi ideologi turun temurun dilakukan sehingga tidak ada niatan dari masyarakat kecil itu sendiri untuk maju.apalagi untuk bersekolah. Tidak aneh bukan?maka dari itu saran saya turunlah kebawah bagi kalangan atas untuk membuktikan apakah ada budaya seperti itu. Saya sangat setuju dengan ucapan salah satu teman saya,Fadhli ilhami beberapa waktu yang lalu dalam obrolan santai dikelas bahwasanya masyarakat miskin tidak membutuhkan uang bantuan. apalagi sampai menggadaikan air matanya untuk dijual kepada media sehingga pemirsa akan terenyuh kasihan untuk membantu. Masyarakat kecil tidak membutuhkan belas kasihan yang ada,namun keinginan mereka hanyalah agar mereka bisa berkembang dengan profesinya dan keahlian mereka. Asumsi contoh saya adalah saat di dieng,Jawa Tengah dan masyarakat nelayan di pangandaran. Kalau saya menyebut secara umum,saya bisa bilang bahwa para petani kentang dan para nelayan itu adalah kalangan miskin. Namun saya tidak akan menggunakan pandangan itu,melainkan menggunakan pandangan dari sudut lain secara sosial. secara sosial mereka kaya sekali meskipun kita tidak boleh menyebut kaya secara sosial dari harta benda saja. Bagi saya mereka adalah kalangan yang kaya dari profesi mereka. hanya saja,kekurangan mereka adalah penggunaan sarana teknologi yang belum memadai sehingga hasil dari pertanian dan nelayan mereka dirasakan sangat kurang. Hal itulah yang terjadi saat saya melakukan wawancara dengan masyarakat petani-nelayan di dieng dan pangandaran. Dengan dana BLSM yang kini sedang digaungkan,apakah dapat melepaskan kemiskinan mereka dan membantu mereka? saya bilang Ya,tapi sementara sekali. Sementara tidak terpikirkan bagaimana jika BLSM itu berhent bantuannya? antara dilematis untuk menjawab dan sangat buram apakah mereka kembali kepada kemiskinan ataupun justru....ah sudahlah. Pada akhirnya hemat saya,bantuan BLSM yang ditujukan kepada masyarakat justru membiarkan kebudayaan kemiskinan makin berkembang sehingga masyarakat tetap ditahan untuk lepas dari belenggu kemiskinan mereka ataupun sebaliknya. alangkah baiknya jika dana BLSM ini dilakukan dengan apa yang saya sebut dengan ekonomi kebudayaan yaitu memberikan bantuan dengan melihat aspek aspek kehidupan masyarakat dan budaya mereka seperti pemberian bantuan kepada paguyuban/perkumpulan masyarakat petani dan nelayan. Entah dengan memberikan mereka bantuan perahu,pembajak sawah modern,pupuk gratis,dsb sehingga mereka tidak perlu menyewa perahu,pembajak,kepada bos bosnya.heheh. Melihat kebudayaan dari masyarakat itu sendiri juga penting dimana tidak mungkin kita menyamakan kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan di pangandaran atau di makassar misalnya. Ataupun petani di jawa dengan sumatera. Karena setiap masyarakat mempunyai historical budaya sosial tersendiri dimana mereka mempunyai hukum untuk melakukan kemajuan bagi masyarakatnya. Ya,mungkin kjasar saya mereka lebih mengerti bagaimana caranya dengan menggunakan pendekatan budaya namun harus tetap dibarengi pemikiran yang modernisme asal tidak merusak tatanan budaya sosial mereka. Bisa bisa budaya setempat hilang lagi.hehehe. efeknya menurut saya senidri,mungkin akan mengurangi ketidakmajuan mereka dan mereka bisa mampu berdiri sendiri pada akhirnya. Efeknya tentu jangan kita lihat dalam jangka pendek,tapi lihatlah dalam jangka panjang. Mungkin itulah sekilas pandanngan saya tentang penggunaan BLSM yang tepat. Hal ini akan sangat mudah dilakukan asalkan ada kerjasama antara pihak pemerintah,kaum pelajar,masyarakat,dan tentu para tetua dan masyarakat adat. Seperti yang terjadi di kawasan Baduy. Sekali lagi saya menyadari bahwa saya sangatlah kurang dalam kajian sosio ekonomi sehingga mungkin sangatlah kurang. Namun saya sangat berterima kasih apabila ada kritikan yang membanguin dalam tulisan ini sehingga tidak hanya kajian sosio development tourism dan culinary culture saja yang menjadi fokus saya,tapi juga memberikan masukan baru buat saya dalam merambah ilmu tentang sosio ekonomi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H