Desa Bojong adalah sebuah desa yang masih asri. Desa ini terletak di Bogor. Kalau pagi hari, udaranya masih segar. Panorama Gunung Salak terpampang nyata. Kadangkala hawa dingin menyelimuti. Di sini, saya kalau menginap selalu selimutan. Tak tahan dinginnya. Tak perlu pakai kipas, apalagi AC. Tak jarang juga mandi sehari sekali, karena dingin airnya. Kalau untuk weekend menghabiskan waktu senggang cocoklah. Masyarakatnya juga masih ramah-ramah. Meski bahasa Sundanya kurang halus. Maklum, di pinggiran.
"Nyai Ading" panggilannya. Wanita berumur, kira-kira 65 tahun. Terlihat masih sehat. Seharusnya, dan selayaknya orang tua..ia pantas menikmati kebahagiaan di masa tuanya. Bukan malah masih bekerja keras.
Nyai Ading, memiliki dua anak perempuan. Sudah tiga tahun ia ditinggal Pak Ading keharibaan-Nya. Sebenarnya, anak-anaknya sudah berkeluarga. Dan cukup lumayan secara materi. Makan sehari-hari cincailah..Sejak ditinggal Pak Ading, Nyai ikut anaknya yang pertama. Namun sayang, anaknya sudah bercerai. Karena suami istri ternyata pekerjaannya gak benar alias tukang tipu. Di kejar-kejar polisi. Dasar nasib...anak dan menantu dua-duanya diinapkan di hotel prodeo. Rumah yang dulu megah untuk ukuran di kampung, sekarang disama ratakan dengan tanah. Karena tak mampu mengembalikan uang-uang yang sudah diembat.
Dari dulu, saat Pak Ading masih hidup, keduanya memang tak akur. Makanya, sekarang Nyai ikut di rumah anaknya yang kedua. Rumah peninggalan Pak Ading sudah dijual. Hartanya sudah ludes. Raib tak jelas juntrungannya.
Pagi-pagi sekali biasanya Nyai sudah nongkrong di warung Ce Mimin. Sambil selimutan kain sarung, Nyai menikmati hawa dingin Kampung Bojong dengan segelas kopi dan beberapa gorengan hangat. Kadang ia sarapan pagi cukup dengan semangkuk bubur. murah meriah cuma tiga ribuan...ahhhey, di Jakarta mana ada lagi bubur harga segitu. Meski terpencil, kampung ini sangat ramai. Bahkan mobil lalu lalang liwat. Konon, banyak orang kampung ini yang sukses bekerja di kota. Jadi, hidupnya ala wong gede..punya mobil donk. Biar keliatan kayanya.
"Mampir Bu Haji" sapa Nyai pada tetangganya yang barusan lewat dari beli sayuran.
Selain tetangga, Bu Haji Ros adalah teman Nyai Ading kalau pengajian.
"Mangga, Nyai. Kunaon masih sarungan, atuh?" tanya Bu Haji, sambil becanda.
"Ti-is, Bu. Saya mah tiap esuk kedinginan wae. Makanya ngararopi, Bu. Biar anget."
Bu Haji Ros hanya tersenyum. Sambil jalan ia berujar, " Nyai mah emang begitu. Tiap pagi nongkrong. Gimana gak kedinginan, wong gak ngapa-ngapain. Coba atuh saya, pagi-pagi sudah mandi keringat. Nyuci, ngepel, masak. Sudah capek kalau pagi. Boro-boro sempat ngupi."
Ibu-ibu di kampung ini kalau beli sayuran jarang di pasar. Mereka biasanya beli di rumah-rumah warga yang jualan sedikit-sedikit. Sekalian ajang ngumpul. Ngarerumpi kituh. Wewew..jangan salah, ibu-ibu meskipun beli sayuran..tapi dandanannya, alamaaaak...meni menor kituh..pake lipstik meni tebel. Enteu nyahok nges mandi apa belum...yang penting kudu dandan.