Mohon tunggu...
Gading Cempaka
Gading Cempaka Mohon Tunggu... Guru - Gading Cempaka adalah nama salah satu tokoh atau karakter dalam legenda yang berasal dari daerah Bengkulu.

Menulis📝, adalah seni menuangkan isi hati ke dalam rangkaian kata-kata yang saling terhubung menjadi untaian cerita yang sarat dengan makna💞😍

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Tunarungu

6 Januari 2015   17:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:42 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sumber: www.google.com/gadis tunarungu.

Akupulang setelahtiga tahun tersesat dan menghilang. Entah siapa yang memanduku kala itu. Tiba-tiba aku sudah sampai di gubuk reot kami. Tak ada nada senang atau tangis bahagia dari keluargaku menyambutkepulanganku. Atau barangkali selama ini justru mereka tak pernah peduli atas kehilanganku. Dan bahkan mungkin mereka berharap aku tak pernah kembali lagi, dan bahkan sebaiknya aku hilangsekalian ditelan bumi.

Bukan salah bunda mengandung, siapapun juga pasti tak mau jika jadi seperti aku yang sekarang. Ya, aku terlahirdalamkeadaan tunarungu dan bisu. Sebagai anak pertama, aku dapatmemahami perasaan orangtuaku terutama ibuku.

Keluargaku tinggal di Kota Hujan. Di kampung, dengan situasi keluarga yang serba kekurangan. Bapakku bekerja sebagaisupir di Jakarta. Sedang ibuku aku tak pernah tahu apa pekerjaannya. Sepertinya orang-orangdi sini tak ada yang suka dengan keberadaan ibuku. Aku tak tahu mengapa, atau mungkin karena ibuku bekerja dari sore hari dan pulangnya dinihari.Bahkan berbulan-bulan tak kembali…

Dulu, sebenarnya aku tak punya niatan untukmeninggalkan rumah.Kala ituakudiajak olehibuke Jakarta. Namun, tanpa aku sadari ibu sudahtak lagi bersamaku. Apakah mungkin ibu sengaja meningalkanku di tengah keramaian. Entahlah…Karena mungkin ibu tahu aku tak pernah bisa mendengar dan berbicara. Sehingga aku ditinggalkannya begitu saja. Masih ingat dalam ingatanku, kala itu aku berumur7 tahun.

Aku cukup kaget, ketika aku pulangsaudaraku bertambah dua orang. Tak mengapa sih, Alhamdulillahjugamereka tak sepertiku, sempurna secara lahir dan batin. Aku hanya kasihan saja dengan bapak, karena semuanya diurus olehnya, sedangkan ibu..sampai hari ini aku belum melihat batang hidungnya. Ku coba tanyakan dengan adik lelakiku, namun mereka tak mengerti dengan ucapanku.

Namaku Gita, sekarangkeseharianku menjaga adik-adikku. Mereka sebenarnya sekolah, namun lebih sering membolos karena malas. Jadi, keseharian kami hanya bermain. Sebenarnya aku khawatir dengan keadaan bapak, badannyakuruskering, batuk yang takberkesudahan..malahsemakin parah saja. Bapak terlalu capek, bekerja jauh dari rumah dan pulang sudah larut malam. Namun, inilah nasib..kalau tak begitu kami semuanya tak makan.

Dua minggu sudah, akhirnya ibu pulang. Tak ada pelukan atau sapaan kepadaku. Ibu hanya menatapku aneh, seolah-olah aku hanya menambah beban dalam kehidupannya. Aku mencoba menahan jatuhnya butiran bening yang sudah di ujungmataku. Tuhan, inikah sosok ibuku…mengapa ia tak seperti ibu-ibu yanglain yang akanmenangis sekencang-kencangnya, tak mau makan, tak bisa tidur jika kehilangananaknya. Ku lihat ia semakin gemuk saja, atau jangan-jangan ibu hamil lagi?

Ternyata benar saja, ibuku hamil lagi. setiap hari ia hanya berteriak memarahi kami. Adik-adikku tak ada yang boleh berangkat ke sekolah. Ibu menyuruh kami ini dan itu. Sementara dia hanya berleyeh-leyeh di tempat tidur. Sesak dadaku melihat keadaan seperti ini. Tak jarang makian-makian kasar semua penghuni kebun binatang terucap dari seorangibu yang seharusnya hanya kata-kata lembut , penuh kasih sayang yang ia ucapkan kepada anak-anaknya. Namun tidak dengan ibuku…ya, walaupun begitu ia masih tetaplah ibuku..dan aku masih bersyukur kepada Tuhan, dia masih mau menerimaku kembali…meski aku tahu ada nada tak suka dari sikapnya setiap kali dia memaki ku.

Meski pun aku bisu, namun sebenarnya aku mengerti sedikit-sedikit maksud dari omongan orang. Namun, kadang-kadang orangsedikit kesusahan dalam mengartikan maksud omonganku. Lama-kelamaan saudarakumengerti dengan bahasa isyaratyang aku pakai ketika berbicara dengan mereka.

Akhirnya, adikku yang ke empatlahir juga. Lima bersaudara cukup banyak untuk ukuran keluargaku yang serba kesusahan. Kasihan bapak, sepertinya sikap ibu selalu tak mengenakkan dengan kami semua. Takjarangbapakdi marahin ibu. “Sabar ya, Pak “ ujarku dalam batin.

Hari itu tiba, untuk kesekian kalinya ibu pergi meninggalkan kami. Kali ini ia hanya membawa adikku yangpaling kecil. Entah kemana, kami semua tak ada yang tahu. Meski aku bisu, aku tahu tetangga-tetanggaku semua bertanya denganku tentang keberadaan ibu. Kadang mereka bertanya dengan adikku yang lain. Kami hanya bisa menjawab, “ tak tahu”.

Bapak, sakitnya semakin hari semakin parah. Sudah seminggu ini bapak tak masuk kerja. Kami mencoba menghubungi ibu, namun teleponnya tak pernah aktiv. Hariini aku sudah putuskan untuk menyambangi rumah nenekku di Jakarta, siapa tahu ibu ada di sana.

Nihil, nenekku mengatakan bahwa ibu tak pernah datangke sana. Ya, Tuhanku…di manakah gerangan ibu berada. Bapak kondisinya semakin parah saja. Kata tetanggaku, bapak sakit fikiran. Bapak selalu sabar dengan sikap ibu. Bapak selalu menerima keadaan ibu. Bukan sekali ini saja ibu meninggalkan kami. Sebelum-sebelumnya ibu sering meninggalkan kami berbulan-bulan, ketika datang ibu selalu dalam keadaan yang aku yakin sangat menyakitkan hati bapak. Ibu selalu pulang dalam keadaan hamil, sama seperti saat terakhir kali kala aku kembali ke gubuk reot ini.

Akhirnya, bapak benar-benartak bisa bangun. Dia hanya terbaring di dipan kayu. Banyak sudah tetangga yangdatang ke rumah. Hingga suatu saat ketakutanku semakin besar, bapaksudah tak mau makan. Luka di bagian punggung bapaksemakin besar, karena lecet. Sekali lagi, karena kebaikan hati tetangga lah akhirnya bapak di rawat di rumah sakit. Sementara ibu, sampai hari ini kami tak pernah menerima kabar darinya.

Seminggu bapak dirawat. Karena dokter mengatakan bapak sakitnya sudah parah. Sebaiknya dibawa kembali lagi ke rumah. Kata dokter juga, bapak sakit fikiran. Benar! Bapak selalu memikirkan ibu. Karena santer terdengar dari omongan orang-orang kalau ibu sudah menikah lagi dengan orang Makassar. Sungguh tega ibu kepada kami, terutama kepada bapak.

Itulah yangmenyebabkan keadaan bapak semakin hari semakin terpuruk. Sejak kepulangan bapak dari rumah sakit, perasaanku semakin tak enak saja. Aku takut sekali..takut kehilangan bapak untuk selama-lamanya.

Rinai hujan mengiringi kampung kami sedarisore. Entahlah, suasana sore ini sungguh berbeda. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Sesekali aku masuk ke kamar melihat bapak, Alhamdulillah Tuhan..bapak masih bernafas. Sebenarnya aku sudah mengantuk, namun karena adik-adikku sudah tertidur pulas, aku putuskan untuk menunggui bapak. Habisnya perasaanku malam ini sungguh tak enak.

“Git…Gita….Gitaaaaa”….Sekilas ku lihat tanganbapak menggapai-gapai ke arahku…dan sepertinya dia tersenyum kepadaku. Tak begitu jelas suara bapak memanggilku. Karena saking mengantuknya, akhirnyaaku tertidur. Dan aku terbangun, ketika aku mendengar suara tangisan adikku si Babby…”Bapaak…..bapaaaak…….banguuuuuun” sambil menggoyang-goyangkan tubuh bapakku yang kurus.

Aku bergegas masuk ke kamar. Inna lillahi wa inna ilahi ro’jiun….dini hari bapak pergi meninggalkan kami. Di iringi rinai hujan putih sepanjang malam. Tangis kami pun pecah di keheningan malam. Sontak para tetangga berdatangan.

Masih sesegukan aku di pusaran bapak. terbayang sudah semua kenangan-kenangan saat beliau masih ada. Hanya bapak yang mau memelukku ketika aku pulang setelah sekian lama menghilang. Hanya senyum itu yang membuat aku yakin kalau bapak lah orang yang selalu setia menantikan aku kembali.

Sehari setelah kepergian bapak, ibu datang bersama adikku. Entah dari mana dia tahu kalau bapak sudah tak ada. Ibu datang penuh amarah. Tak nampak kesedihan di wajahnya. Ibu malah marah-marah. Uangsumbangan dari para saudara diambil semua. Bahkan barang-barangelektronik di rumah di jual semua.

Teganya kau ibu, setelah barang-barang terjual..ibu menitipkan kami dengan tetangga. Sedangkan ia pergi lagi kembali ke Makassar. Hal ini kami ketahui dari adikku yang bungsu..

“Nova, mau ikut ibu ke rumah Ayah” itu lah kata-kata yang di ucapkan oleh adikku yang kecil. Benar saja, sepertinya ibu memang sudah menikah lagi.

Kata apa yang pantas untuk aku ucapkan bagi ibuku ini….sungguh tak punya perasaankah ia dengan kami. Akhirnya kami masih tinggal di gubuk reot ini, keseharian kami makan dari uangyang di sumbangkan oleh keikhlasan para dermawan karena kami anak yatim.

Enam bulan sudah, akhirnya ibu kembali…aku sebenarnya tak senangdengan kepulangannya. Namun apalah daya, seburuk-buruknya ia tetaplah ibuku, orang telah melahirkanku ke dunia ini. Entahlah, kami semua tak ada yangtahu, apakah hubungan ibu dengan orang tersebutsudah berakhir. Sehingga ibu kembali lagi ke gubuk reot kami.

Keseharian ibu bekerja tak jelas. Berangkat sore hari, pulang dini hari di antar ojek. Kami juga tak pernah tahu apa yang dilakukan ibu di luar sana. Akhirnya suatu hari, ibu membawa seorang laki-laki ke rumah..terkadangsampai malam hari dia di rumah kami, setelah itu ibuku pergi. Ibu pergi dengan dandanan yang menor, rambut di cat merah menyala, dan bergaya seperti oranggedongan.

Akhirnya, aku pun tahu…ternyata ibu selama ini bekerja sebagai kupu-kupu malam. Hal ini ramai dipergunjingkan para tetangga yang risih dengan keadaan ini…sampai suatu ketika, banyakorang yang datangke rumah…menggrebek ibu yangsedang bersama dengan teman lelakinya. Lagi-lagi, hal ini para tetangga ketahui dari info adikku yang lugu..bercerita seadanya tentang apa yang dilakukan olehibuku di rumah.

Sontak saja ibuku marah-marah. Membanting dan memecahkan semua gelas dan piring di rumah. Entahlah, mungkin ibu kesal. Kesal karena semua orangtahu.

“Bu, untuk apa ibu kesal? Seharusnya ibu malu..malu, Bu..buka malah justru mengamuktakjelas seperti itu”. Ujarku dalam hati.

Aku hanya terdiam. Tak tahu harus bagaimana lagi. mungkin sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Namun, aku tak tega dengan adik-adikku. Bagaimanalah mereka jika aku benar-benar menghilang. Tapi, aku sudah tak tahan. Tak tahan dengan keadaan ini.

Seandainya saja ibuku tidak gengsian. Tak mengapalah bu, aku mau membantu ibu berjualan jajanan dari rumah ke rumah. Tak apalah bu, yangpenting halal. Namun sayang, ibuku lebih memilih jalan yang mudah ditempuh untuk mendapatkan uang.

Dan, di antara remang-remang cahanya pagi ini, aku berangkat setelah singgah sebentarberpamitan dengan bapak..Kala sang surya bersiap-siap menyinariseluruh semesta…di sini, aku sudah duduk di dalam kereta…entah ke mana arah yang akan ku tuju…keputusanku sudah bulat. Ku tinggalkan gubuk reot kami, saudara-saudaraku yang aku sayangi dan ibu…ibu yang selalu di hatiku…

Aku kembali lagi…kembali ke rumah penampungan. Rumah dulu di mana aku dititipkan oleh para petugas, karena mereka tak tahu siapa orangtuaku. Biarlah aku di sini, belajar merajut mimpi..membuangjauh semua angan-anganku tentangtuk selalu merasakan hangatnya dekapan ibu.

Inilah aku, Gita si gadis tuna rungu yang punya sejuta mimpi meraih kebahagian sejati.

Dusun Kreteg….20150601

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun