Mohon tunggu...
ridwan darmawan
ridwan darmawan Mohon Tunggu... -

Lawyer/ aktifis Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

PENYELESAIAN INTEGRATIF KONFLIK AGRARIA

7 Juni 2011   19:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENYELESAIAN INTEGRATIF KONFLIK AGRARIA

Ridwan Darmawan*

“sejauh ini Presiden SBY memang memberikan respon positif dalam menyelesaikan konflik agraria ini. Bahkan Presiden memerintahkan Menkopolhukam untuk bertemu dengan Komnas HAM guna membicarakan rencana pembentukan Komite Penyelesaian Konflik Agraria. Intinya SBY menanggapi baik rencana ini,” (Ridha Saleh/Komisioner Komnas HAM, 17/05/11)

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Ridha Saleh selaku Komisioner Komnas HAM bidang Sub Komisi Mediasi setelah bertemu Presiden SBY di Istana Negara bersama-sama dengan Pimpinan dan Anggota Komisioner lain Komnas HAM (greenradio.fm,17/05).

Sesaat kita-khususnya para pegiat agraria-mungkin akan kembali memandang pesimis atas pernyataan diatas, pasalnya, berulangkali sejak kurun 2001 hingga 2004 lalu,dan bahkan hingga kini,harapan dan janji-janji kosong atas penyelesaian konflik agraria yang berdimensi masa lalu dan erat dengan berbagai pelanggaran HAM tak kunjung datang.

seperti diketahui, sekitar tahun 2003 lalu, Komnas HAM beserta Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO yang bergerak dibidang agraria dan sumber daya alam, bergelut dengan isu dan advokasi tentang perlunya dibentuk sebuah komisi ad hoc untuk penyelesaian konflik agraria dan perlunya pemerintah segera menjalankan Reforma Agraria Nasional demi mengakhiri ketimpangan penguasaan agraria, diusulkanlah ide kelembagaan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agaria (KNuPKA), sebuah badan ad hoc yang bekerja sementara untuk menyelesaikan konflik agraria berdimensi masa lalu. Usulan itu ditolak secara halus oleh Pemerintah, dalam hal ini Presiden.

Presiden SBY kala itu, hanya merespon usulan tersebut dengan melahirkan Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang intinya memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk kedeputian secara khusus yang bertugas untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, serta meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional(PPAN) yang berniat meredistribusi lahan di tahun yang sama.

Relevansi dan kemendesakan

Namun, hingga enam tahun berjalan, tak ada signifikansi yang utuh dan integral dari lahirnya Perpres No.10/2006 dan peluncuran PPAN tersebut, konflik agraria baik yang manifes maupun yang aktual terus saja terjadi hingga hari ini. Tercatat sejak tahun 2007 hingga 2011 ini saja, menurut catatan SPI dan juga BPN, terdapat setidaknya 1.894 kasus konflik agraria dengan berbagai latar konflik yg mengiringinya, dengan luasan lahan konflik yang mencapai tidak kurang dari 650.691 Ha, sebanyak 668 orang petani dikriminalisasikan, hampir 82.726 KK tergusur dari lahan-lahan garapannya, dan yang lebih mengenaskan lagi tentunya, 34 orang tercacat tewas akibat konflik agraria. Sementara itu, laporan Komnas HAM tahun 2009 menunjukkan dari sekitar 4.000 kasus pelanggaran HAM yang masuk, lebih dari 62 persennya adalah kasus lingkungan hidup dan konflik agraria.

Mencermati data-fakta tersebut, ada beberapa hal yang bisa dijelaskan mengenai mengapa situasi penyelesaian konflik agraria dan reforma agraria yang sangat ditunggu oleh rakyat Indonesia khususnya para petani korban seakan mandeg bahkan cendrung menemui jalan buntu. Pertama,tumpang tindihnya aturan, kewenangan dan peran lintas sektor dalam pengurusan masalah agraria di negeri ini. Kedua, lemahnya peran dan kewenangan kedeputian di BPN dalam menyelesaikan sengketa dan konflik agraria. Ketiga, belum adanya paradigma baru atau terobosan hukum dan politik atas perlunya penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan segera reforma agraria. Keempat, makin menguatnya paradigma pembangunan nasional kita yang memandang bahwa sumber daya alam sebagai modal pembangunan yang diorientasikan kepada pengejaran pertumbuhan ekonomi semata. Terakhir,belum adanya pelibatan yang luas dari multi stakeholder pemangku kepentingan dalam penyelesaian integratif konflik agraria.

Sejatinya, Indonesia memiliki UU “payung” agraria yakni UU NO. 5/1960 yang terkesan tak bergigi sejak Orde Baru, mati tidak, hidup pun enggan. Kondisi itu diperparah dengan lahirnya UU sektoral yang masing-masing mempunyai daya dorong konflik yang luas, sebut saja UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Perumahan dan Permukiman, UU Pertambangan, UU Pesisir dan Kelautan, terakhir yang sedang disiapkan oleh DPR dan Pemerintah yakni RUU Pengambilalihan Tanah untuk Pembangunan, kesemuanya mendelegasikan tidak saja kewenangan, tapi juga pelembagaannya masing-masing, hal ini menunjukkan pemangku kepentingan menjadi sangat banyak dan luas.

Yang menjadi persoalan kemudian, tidak ada satu pun dari sekian banyak lembaga-lembaga tersebut di negeri ini yang mempunyai tugas dan kewenangan khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan akar konflik agraria tersebut kecuali BPN. Padahal kita ketahui bersama, BPN mempunyai kelemahan dalam hal peran dan kewenangannya, termasuk jika dihadapkan pada situasi bahwa lembaga BPN hanyalah lembaga Non-kementrian yang setingkat Menteri, padahal banyak kasus-kasus agraria berada di wilayah kewenangan beberapa Kementrian, tak jarang kemudian timbul conflik of interest.

Disnilah kemudian, kutipan pernyataan diatas menurut hemat penulis, menemui titik relevansinya dengan kondisi carut marutnya penyelesaian konflik agaraia yang telah digambarkan diatas. Jika benar Presiden menaruh respon positif atas kondisi demikian, maka seyogyanya Presiden SBY segeramengeluarkan produk hukum dan politik berupa Perpres untuk membentuk Tim Kajian Pembentukan lembaga Penyelesaian Konflik Agraria dan pelaksanaan Reforma Agraria.

Perpres tersebut dimaksudkan untuk menjembatani kemandekan dan kejumudan sekian tahun penyelesaian konflik agaria dan ketimpangan struktur penguasaan agraria yang justru makin mengarah pada monopoli penguasan pada segelintir orang. Ada beberapa tugas yang harus diemban oleh para pemegang mandat Perpres tersebut: 1). Mengklarifikasi tipologi konflik agraria yang perlu prioritas penyelesaiannya, 2). Menemukan kebenaran dari fakta dan data melalui legal audit dan audit sosial serta verifikasi atas kasus-kasus yang terjadi, 3). Mempasilitasi Mediasi (bagi kasus-kasus yang diprioritaskan penyelesaiannya) 4). Menyusun Model Pertanggungjawaban Korporasi dan Negara serta menyusun model pemenuhan hak-hak korban, 5). Mengkoordinasikan dukungan lintas sektoral disemua bidang pemerintahan, baik kemenetrian, non-kementrian,lembaga-lembaga Independen semisal Komnas HAM, KHN, KON, TNI, POLRI yang terkait tujuan penyelesaian konflik agraria, dan terakhir, Menyusun draft naskah akademik dan bila perlu, RUU penyelesaian konflik agraria dan pelaksaan reforma argaria. Diharapkan, Perpres tersebut menjadi sebuah jalan penyelesaian integratif penyelesaian konflik dan pelaksanaan reforma agraria sekaligus, Semoga.

*Advokat /Direktur Kajian Politik Hukum Indonesian Human Rigahts Committee for Social Justice - IHCS

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun