Begitu mendengar kata “sosial” orang akan berpikir tentang kegiatan sosial seperti amal,bantuan bagi orang miskin dsb. Namun ketika orang mendengar “bisnis sosial” biasanya akanmengernyitkan dahi dan bertanya “Apa itu?”. Kernyitan dahi itu semata-mata bukan tandaketidak mengertian, tetapi juga tanda keheranan atas bisnis sosial itu sendiri, karena yang umumdipahami bisnis ya bisnis, sosial ya sosial, tak mungkin untuk dipadankan. Kalo dipikir-pikir, memang benarlah keheranan itu, karena selama ini begitulah kondisiyang di paparkan pada kita. Sisi sosial dari sebuah bisnis hanyalah berkisar pada bantuan-bantuan yang sifatnya sementara,itu pula yang kita pahami dari apa yang disebut CSR(Corporate SocialResponsibility). Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan usaha, menyisihkan sebagian dari revenue untuk hal-hal yang bersifat memberi manfaat –terutama pada masyarakat sekitar perusahaan itu berlokasi.
Begitulah ‘wajah’ bisnis yang kita kenal. Dilandasi dengan semangat kapitalisme, bisnis semata-mata untuk mencari untung. Ya, mana ada orang berbisnis yang mau rugi. Namun untung bukan sekedar untung, untung yang dikehendaki adalah keuntungan maksimal. Hal itulah yang selalu didengungkan dalam perumusan target perusahaan. Yang namanya target tentulah yang setinggi-tingginya tak mungkin hanya sekedar saja. Demikian halnya dengan untung tadi, raihlah yang setinggi-tingginya. Semaksimal mungkin. Tidak ada yang salah dengan itu karena kapitalisme memang menggariskan kemajuan untuk individu. Tepatnya individu yang mau maju, maka semangatnya adalah semangat individualisme. Hanya mementingkan diri sendiri. Perpaduan sempurna antara mengejar untung maksimal dan mementingkan diri sendiri inilah yang menghasilkan ekses-ekses negatif dari kapitalisme, diantaranya kesenjangan sosial dan kemiskinan. Sesuatu yang sudah lazim kita temukan dalam masyarakat. Yang miskin tinggallah miskin, yang kaya semakin kaya. Maka pertanyaan yang muncul adalah : Haruskah bisnis selalu bernuanasa kapitalisme?
Jawabnya : Tidak. Adalah Prof. Muhammad Yunus yang membantu menjawab pertanyaan itu. Seorang akademisi dari Universitas Chittagong, Bangladesh yang kini menjadi pebisnis sosial, membuktikan bahwa konsep ‘bisnis sosial” yang dia rumuskan bisa exist dalam dunia (bisnis) yang nyata. Kini bisnis menyodorkan sisi lain dari wajahnya yaitu business dedicated to a social mission. Bisnis untuk mengatasi masalah sosial. Menggeser keuntungan sebagai tujuan utama. Namun bisnis sosial tidak anti keuntungan, bisnis sosial tidak hendak mengkhianati esensi bisnis, yang menjadi pembeda adalah keuntungan yang ingin dicapai adalah keuntungan sewajarnya, agar perusahaan tetap bisa bertahan, jadi tidak ada “keserakahan”pribadi di dalamnya, yang kental adalah semangat maju bersama, semangat memberdayakan mereka-mereka yang miskin dan lemah. Tujuan utamanya adalah menjadi solusi untuk masalah-masalah sosial yang ada. Jika pada umumnya para pelaku bisnis akan mencari opportunity untuk memulai bisnisnya, maka pebisnis sosial akan mencari “masalah sosial” untuk memulai bisnisnya. Jika pengusaha selalu bertanya “Berapa untung yang kita peroleh tahun ini?” maka pebisnis sosial akan bertanya “Berapa masalah sosial yang kita selesaikan tahun ini?”.
Bisnis sosial dikelola dengan metode bisnis pada umumnya yang membedakan adalah niat awal dan tujuannya. Oleh karena itu, ia tidak sama dengan kegiatan amal dan yayasanyayasan yang mengandalkan sumbangan untuk operasionalnya. Perusahaan dengan metode bisnis sosial mensyaratkan kemandirian untuk bertahan. Mengajak serta para kaum miskin dalam perputaran perusahaan, jadi tidak sekedar menyantuni dan membiarkan kaum miskin menjadi pasif dan menerima saja. Beberapa bentuk usaha di berbagai negara yang telah berkembang dengan metode bisnis sosial ini adalah Grameen Group di Bangladesh, The Big Issue Company di Inggris. Untuk Indonesia, usaha-usaha yang dilakukan oleh Bina Swadaya patut mendapat apresiasi.
Jika negara ini masih berkutat untuk mencari cara efektif untuk mengentaskan kemiskinan, bisnis sosial bisa menjadi salah satu solusinya dengan dukungan wajar dari semua pihak.
Salam,
R.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H