Ketakutan yang berlebihan selalu menyelinap dalam bongkahan otakku, seakan-akanjasad inisudah berbau tanah, renunganpun menjadi kabur, kadang memoriku dipenuhi dengan perasaan bersalah dan dholim pada diri sendiri yang tak pandai menjaga, hingga akhirnya diri ini hanyut dalam lautan yang dipenuhi oleh kotoran yang lebih menjijikkan darikotoran hewan.
Dalam keseharianku hanya diisi dengan sampah-sampah, jadi saya tak ubahnya seperti tempat sampah yang menjadi kebutuhan ketika mau membuang kotoran, batinku menjerit, menangis, merintih dalam kesendirian.
Saya sudah tidak kuasa lagi bila harus hidup dalam keadaan yang mengenaskan seperti ini, saya malu, malu kepada yang maha tahu. Haruskah saya hidup dalam keadaan liar, lebih liar dari singa yang menggaung-gaung di tengah hutan belantara.
Saya tidak mampu keluar dari himpitan dunia yang membuat batinku selalu gelisah, gelisah karena selalu merasa bersalah, tpi diri yang kotor ini selalu berusaha untuk berprasangka baik kepada yang maha perkasa, dan meyakini bahwa diri-Nya selalu bersifat welas aseh kepada semua hamba.
Dalam kesendirian, saya hanya bisa berdo’a “Tuhan, bila engkau berkehendak mencabut yawaku, cabutlah dalam keadaan bersujud pada-Mu!”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H