Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada telah menentukan bahwa pelaksanaan pemungutan suara serentak dilaksanakan pada Desember 2020 mendatang.
Kendati demikian, pasal lainnya akan membuka ruang penundaan kembali jika Covid-19 belum usai seperti disampaikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020 dilanjutkan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status pandemi Covid-19. Menyikapi itu “Mendagri dan KPU RI akan melaksanakan rapat kerja setelah masa tanggap darurat berakhir untuk memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pilkada Serentak tahun 2020”
Sebenarnya bukan tidak ada pemilu yang dilaksanakan dalam masa pandemi seperti sekarang ini, merujuk kepada catatan IDEA Internasional, masih ada 15 negara yang tetap menyelenggarakan pemilu di masa pandemi Covid-19, hal demikian dapat dijadikan sebagai panduan dan pembelajaran bagi Indonesia dalam tata kelola pemilu di masa pandemi.
Tentu penggunaan SOP di TPS dengan physical distancing dan sterilisasi menjadi hal utama untuk dilakukan, hal lain secara tekhnis bisa dilakukan secara online, visual dan penggunaan e-rekap untuk memangkas proses rekapitulasi yang cukup melelahkan di Indonesia. Hal demikian itu tentu membutuhkan persiapan dan kesiapan, yakni SDM, simulasi, dan seperangkat aturan baku yang harus dijalankan. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana persiapan dan kesiapan yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu saat ini ?
Dibalik keputusan penundaaan Pilkada serentak di Indonesia ternyata tidak menuyurutkan langkah Calon Kepala Daerah untuk terus melakukan manuvernya, apalagi tidak sedikit calon kepala daerah tersebut yang dalam posisi incumbent. Menteri Dalam Negeri ( Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, Dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak Tahun 2020, sebanyak 224 incumbent berpotensi kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2020.
Mengukur dan Menakar Kapabilitas
Dalam situasi sulit seperti masa pandemi ini pun masih saja kita mendengar Calon Kepala Daerah yang tidak bijak dalam mengedukasi warga atau calon pemilihnya. Terkadang permainan kata dan pemilihan diksi dianggap lebih penting daripada substansi agar seolah pro rakyat dan pro umat nyatanya mengabaikan kepentingan warga yang real kehilangan penghasilannya.
Belum lagi kita melihat menguatnya politik identitas dan juga asas manfaat dimana bantuan yang bergulir ditengah masyarakat dari Pemerintah Pusat telah diklaim sebagai bantuan dan inisiatif pribadi sampai menempel stiker, spanduk dan baliho seraya berkampanye ria untuk dirinya.
Mestinya untuk mengukur dan menakar kapabilitas seorang calon pemimpin itu dilihat dari hal-hal sederhana dan konkrit, termasuk tentang bagaimana empatinya, pengalaman serta pemikiran genuine tentang ekonomi, birokrasi maupun pendidikan, tak kalah pentingnya adalah apa saja kontribusi yang sudah diperbuatnya?.
Bagaimana jika ia seorang baru dalam dunia politik yang selama ini hidup di perantauan dan hampir tidak pernah terdengar namanya tiba-tiba saja ikut berkontestasi politik didaerah asalnya? atau bagaimana logika kita memahami seorang milenial yang belum teruji kemampuan manajerial, pengalaman birokrasi dan kemampuan dalam pemberdayaan ekonomi di masyarakatnya atau yang terakhir adalah tentang calon pemimpin yang sering blunder baik dalam menyikapi isu nasional dan isu-isu sensitif daerahnya.