Mohon tunggu...
Rahmat Kurnia  Lubis
Rahmat Kurnia Lubis Mohon Tunggu... Penjahit - Penggiat Filsafat

Santri Desa, Kaum Sarungan, Suka Membaca, Suka Menulis, Suka Berjalan, Suka Makan dan Semuanya Dilakukan Dengan Suka-Suka. Alumni UIN Sunan Kalijaga (Suka), Suka Filsafat dan Suka Indonesia Berbudaya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kualitas Membaca Implikasinya Terhadap Media Sosial

20 Desember 2016   17:47 Diperbarui: 21 Desember 2016   15:07 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2008 seorang guru besar yang lumayan kaya literasi pernah menyampaikan sebuah statement yang cukup mengejutkan, beliau mengatakan bahwa di Jepang rata-rata setiap orang mampu membaca sembilan surat kabar setiap hari berbanding terbalik dengan Indonesia, bahwa di negeri ini, sembilan orang baru bisa menyelesaikan satu media untuk dibaca perharinya, tentu perbandingan satu dengan sembilan menegaskan kepada kita bahwa ini suatu kelemahan dalam hal pegetahuan dan wawasan ujar Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara ketika itu.

Tentang arti pentingnya membaca tentu menjadi pertanyaan kritis yang harus di tujukan bagi pengguna sosial media akhir-akhir ini? Tentu bukan sesuatu hal yang kebetulan jika dalam Al Quran sebagai pedoman bagi umat Islam ayat yang pertama adalah “iqra” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5) yaitu seruan untuk membaca, secara filosofis sesungguhnya Allah SWT menginginkan manusia untuk menjadi hamba yang cerdas, mampu membaca sesuatu yang bersifat faktual dan hendaklah melakukan research terhadap fenomena atau tanda-tanda kebesaran-Nya. Dengan demikian manusia akan hidup lebih bijaksana dan tidak egois dalam kehidupan nyata atau pun kehidupan maya.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini tentu membuat kita sangat berduka, disamping kemajuan dalam melakukan akses terhadap internet semakin meningkat, namun kemampuan untuk mengakses segala macam informasi justeru tidak diimbangi dengan kecerdasan dalam memaknai setiap kalimat. Bayangkan saja survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap sepanjang 2016 bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet.

Akibat dari pengaruh informasi yang keliru dan salah, tidak sedikit diantara anak bangsa ini yang bersitegang terhadap sesama, yaitu dalam hubungannya dengan internal beragama, antar agama maupun antara satu suku dengan suku lainnya. Belakangan ini kita ketahui bahwa pengaruh sosial media yang terus direkayasa dan di provokasi membuat pemeluk agama yang dulunya inklusif dan toleran menjadi tidak lagi bertegur sapa, pengaruh informasi yang tidak lagi objektif bahkan melakukan edit video atau kalimat terhadap isi pembicaraan seseorang membuat suasana menjadi panas.

Makhluk seperti apakah kita sebenarnya ungkap Musthofa Bisri, Sapaan akrab Gus Mus. Apakah ketika kita merasa telah didukung oleh banyak orang dan mampu memberikan pengaruh terhadap kebijakan tertentu, maka kitalah sesungguhnya sabda kebenaran itu? Bagi seorang Islam, atau bagi setiap pemeluk agama apapun telah diajarkan menghargai dan menghormati pandangan yang berbeda. Lantas kenapa kemudian muncul ijtihad dan fatwa yang justeru memperkeruh susasana? Apakah kita tidak pernah membayangkan bahwa founding fathers bangsa ini adalah dari kelompok dan faksi yang berbeda tetapi mereka mampu menemukan titik temu agar tetap rukun sebagai khalifah pengelola NKRI.

Seolah tidak ada lagi satu titik kebaikan yang bisa dipertahankan untuk menata kembali harmonisasi bangsa ini, faksi “A” mengatakan bahwa hasil revolusi telah mengakibatkan cacat dan tergurasnya mental, nah pertanyaan kemudian adalah siapa yang paling layak untuk memimpin bangsa besar ini, tentu kita bukanlah paling baik dalam segala hal, paling mampu dalam segala bidang, bukankah ada mekanisme dan tata cara yang lebih elegan, santun dan berbudaya? Kenapa justru yang kita lakukan adalah merampas haknya aparat untuk melakukan sweeping terhadap tempat-tempat tertentu misalnya?

Bangsa ini terlihat sudah mulai letih dengan segala fenomena yang terjadi, ibarat mesin suatu saat ia akan panas dengan sendirinya dan memuntahkan segala macam beban berat yang terjadi, maka disitu akan keluar aroma-aroma kemunafikan yang berjubah kesopanan, elit-elit politik yang haus kekuasaan, para aktivis berbau busuk disokong elit yang meminta dukungan. Sehingga sayap garuda tidak akan lagi sempurna, pijakan bhineka tunggal ika akan rapuh hingga Indonesia hanya mengubur sejarah saja.

Indonesia yang serba salah, bangsamu yang sok gagah, bila kita lihat postingan-postingan di media sosial maka terkadang kita harus mengelus dada, karena bahasa santun yang diucapkan terkadang menyimpan dendam kesumat yang siap menghancurkan dan memporak-porandakan perbedaan serta dinamika dialog. Kalimat yang tidak apple to apple atau tidak sebanding kerap di ucapkan hanya untuk membungkam lawan, tentu tidak semua orang mampu memahami kalimat yang sebanding ini karena dibutuhkan disiflin filsafat ilmu untuk memahaminya, inilah yang teramat jarang dipelajari atau bahkan sama sekali kita tidak ingin repot dengan kebenaran ilmu dan informasi.

Harus kita akui dalam rangka menegakkan civil society di negara demokrasi sangat dibutuhkan semacam parlemen jalanan atau ormas dan lembaga swadaya masyarakat yang siap mengontrol setiap kebijakan-kebijakan yang tidak pro dengan masyarakat. Karena suara mayoritas di negara demokrasi sebagai suara representatif untuk didengar oleh pemangku kebijakan, seperti halnya mantan menteri perhubungan, Ignasius Jonan yang telah mencabut keputusannya untuk melarang layanan angkutan umum berbasis online setelah banyaknya protes masyarakat terkait urgensi aplikasi online ini, atau dalam kasus lain misalnya bahwa aksi bela Islam, 411 dan 212 sebagai langkah untuk mengawal proses hukum yang akan berlangsung terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias ahok atas kasus penistaan agama.

Akhirnya butuh waktu untuk memahami kalimat dan informasi yang benar, perlu pengecekan ulang atas informasi yang beredar, karena sangat disayangkan kemampuan kita dalam mengakses berita hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kebencian, bukan berarti kita menerima segala-galanya dan bukan berarti kita akan menolak semuanya, bila dalam peluncuran uang baru oleh Bank Indonesia (BI) 19/1/2016 kemarin kita mempertanyakan tokoh dan pahlawan yang ada maka hal itu sangat wajar menimbang masih banyak tokoh yang lebih relevan untuk dikenang. Bacalah yang anda pahami dan pahamilah yang anda baca, jadikan hasil bacaan anda lebih berkualitas.

[1] Penulis adalah penikmat kajian sosial, politik dan keagamaan melalui sisi-sisi empiris dan spiritual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun