Mohon tunggu...
Qurrotul Ayun
Qurrotul Ayun Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Where there is a will there is a way

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bulan Ramadhan dengan Segala Kenaikan Bahan-Bahan Pokok 2024, Rakyat Kecil Menjerit

20 Maret 2024   10:07 Diperbarui: 20 Maret 2024   10:20 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ramadhan 2024 siapa sangka bulan puasa tahun ini kita semua merasakan semua harga-harga mengalami kenaikan yang sangat signifikan, terutama terhadap harga barang pokok utama Indonesia yang sehari-hari sudah menjadi makanan untuk bertahan hidup yaitu seperti beras, telur, minyak goreng dan lainnya. Ketiga bahan pokok utama yang disebutkan tersebut di tahun ini mengalami kenaikan yang sangat signifikan.

Bagaimana tidak karena sebagai rakyat kecil dan sedari kecil sudah hidup dan tumbuh besar di desa berawal dari harga beras seharga Rp. 5000 sampai Rp. 10.000 per kilogram hingga saat ini per kilogramnya berkisar antara Rp. 15.000 sampai Rp. 20.000.

Siapa sangka angka-angka tersebut justru membuat masyarakat kecil terutama di desa semakin terasa tercekik di negara sendiri, karena jika kita lihat profesi rata-rata di desa mayoritas adalah petani termasuk padi yang mereka tanami dan setelah panen tiba harga padi yang mereka jual tidak sepadan dengan mahalnya pupuk maupun biaya perawatan selama musim hujan terutama di bulan Maret bulan puasa ini, dan menjadi petani merupakan profesi utama bagi masyarakat pedesaan terutama di daerah pegunungan atau perbukitan.

Dengan demikian mahalnya harga beras justru berbanding terbalik dengan harga jual padi atau gabah yang baru di panen dari sawah, yang justru di hargai dengan harga yang rendah, jika demikian apa mungkin masyarakat pedesaan akan dapat menyeimbangkan biaya hidup mereka dengan masalah tersebut?

Betul, jika ada beberapa diantara masyarakat lain yang mengatakan bahwa mereka masih bisa bertahan hidup dengan beras bantuan dari pemerintah. Tapi apakah orang yang menanyakan hal tersebut termasuk penerima bantuan hingga berani berkata demikian?, sepertinya mereka bukan dari masyarakat penerima beras bantuan dari pemerintah, karena saya pribadi lebih mengetahui bagaimana kondisi beras yang diberikan oleh pemerintah terhadap keluarga saya merupakan jenis beras yang mungkin jika selayaknya manusia yang ingin makan beras dengan nyaman mereka tidak akan memilih ataupun memakn beras bantuan tersebut, karena jika dilihat dari segi kualitas jelas berbeda, walaupun petani di desa menanam jenis bibit padi yang bagus dan baik namun kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menjualnya demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mungkin kata banyak bersyukur dan bersabar lebih pantas kita sebutkan untuk masyarakat desa, karena selain dilema karena kondisi kesejahteraan petani di desa mereka juga dilema dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok terutama beras, minyak dan telur dan begitupun hal lainnya yang berkaitan.

Jangan heran jika masyarakat di desa terutama desa pedalaman mereka lebih memilih untuk bertahan hidup dengan cara-cara lama, seperti halnya hidup tanpa listrik dan mereka ganti dengan lentera, bertahan hidup tanpa beras dan telur tapi mereka ganti dengan singkong, jagung, maupun ubi-ubian seadanya. Dengan demikian mari kita lihat bagaimana keberlanjutan dalam kesejahteraan desa kedepannya jika yang dipertimbangkan oleh pemerintah hanya kesejahteraan rakyat minoritas dan kesejahteraan masyarakat mayoritas justru diabaikan, apakah memungkinkan kesenjangan di Indonesia dapat berkurang atau menyusut jika seiring berjalannya waktu masyarakat kecil justru tidak diutamakan dalam perencanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya. Cukup rumit jika kita kaitkan dengan kondisi perekonomian Indonesia sebenarnya yang tidak hanya melihat dari data yang belum tentu data tersebut sudah didapat dengan cara yang tepat maupun menyeluruh, buktinya saja tidak harus di wilayah Papua yang sering kita dengar terjadi kelaparan akut hingga menyebabkan meninggal dunia, tapi justru di desa-desa di pulau Jawa pun masih ada walaupun tidak separah yang kita ketahui di Papua dan wilayah-wilayah terbelakang lainnya, semua itu terjadi tidak karena kebetulan akantetapi semua itu disebabkan oleh dampak dari pembangunan dan bagaimana perencanaan dalam pembangunan suatu Negara terhadap daerah-daerah terdepan, terbelakang, dan tertinggal yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri.

Oleh karena itu apakah aturan dengan cara menaikkan harga-harga secara signifikan dapat semakin mensejahterahkan rakyat, terutama masyarakat di daerah terbelakang  dan tertinggal? dan apa yang seharusnya diperbaiki terlebih dahulu dalam mengurangi kesenjangan, apakah dengan cara menaikkan harga bahan pokok secara terus menerus namun harga panen dari para petani di hargai dengan harga serendah-rendahnya?

Kita disini hanya membicakan masalah dampak dari kenaikan bahan pokok yang melambung tinggi terhadap masyarakat kecil di desa-desa belum lagi dampak terhadap masyarakat kecil yang ada di kota, begitupun jika kita bahas dampak lainnya yang akan saling berkaitan seperti halnya pendidikan dan banyaknya anak-anak putus sekolah karena untuk biaya bertahan hidup di negara sendiri saja masih pas-pasan bagaimana akan memikirkan biaya pendidikan dan lain sebagainya, mungkin banyak sebab akibat tidak hanya hal-hal tersebut yang menjadi masalah di negara ini tapi siapa sangka gambaran tersebut sudah cukup miris jika kita akan membicarakan masalah-masalah lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun