Mohon tunggu...
Qurrota Akyun
Qurrota Akyun Mohon Tunggu... -

yakin sesuatu indah pada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teater untuk Kehidupan atau Eksistensi?

16 Desember 2014   17:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:12 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jaman modern seperti ini banyak sekali hal yang berubah. Segalanya semakin praktis dan mudah. Begitu pula dengan pemikiran seseorang terhadap sesuatu. Dahulu teater adalah sebuah pertunjukan yang sangat dinanti-nanti. Jaman sebelum adanya radio maupun televisi. Jaman dimana proses masih dihargai dan ditunggu.

Di indonesia salah satu maestro yang sangat dikenal bahkan hingga ke manca negara yaitu Alm. WS Rendra. Tidak hanya seorang sastrawan, beliau juga seorang aktor yang tidak diragukan lagi kemampuannya. Terbukti dengan berdirinya bengkel teater pada tahun 1967 bertempat di Yogyakarta lalu pada tahun 1977 ia besertaanggota Bengkel Teater hijrah ke Jakarta lalu ke Depok.

Pada tahun 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra. Walaupun kini Bengkel Teater tidak lagi aktif seperti dahulu kala, namun jiwa para pemainnya masih membara layaknya dulu di jaman kejayaannya. Berbeda dengan jaman serba canggih seperti sekarang ini, teater kini hanya menjadi batu loncatan sebuah eksistensi.

Apabila dahulu untuk memainkan sebuah pementasan teater memerlukan perjuangan dan proses yang panjang. Di bengkel Teater sendiri contohnya menurut A. Untung Basuki salah satu murid kesayangan Rendra, dua tahun lamanya sejak ia ikut gabung dengan Bengkel Teater Rendra barulah ia merasakan bermain di panggung itupun belum menjadi aktor utama. Menurut Untung pengajaran Rendra tidaklah main-main. Adakalanya bersenda gurau, namun jika sudah saatnya latihan Rendra akan berubah sangat tegas bahkan galak.

Selama dua tahun anak-anak anggota Bengkel Teater Rendra berlatih improvisasi. Jika hal itu di terapkan di jaman sekarang, tidak akan ada yang mampu mengikuti teater. Karena jaman sekarang teater bukanlah untuk kehidupan melainkan kebutuhan eksistensi.

Padahal jika dipelajari lebih dalam, di dalam teater kita akan mempelajari tentang bagaimana kita menghadapi diri sendiri, menghadapi orang lain dan yang lebih berat dari itu bagaimana kita bisa meyakini diri kita sendiri, khususnya yakin terhadap konsintensi dalam berteater. Bukan kemewahan, ketenaran dan uang yang menjadi obsesi. Melainkan pendekatan kepada alam dan sang pencipta. Akan sangat sulit jika hal itu diterapkan dijaman sekarang. Bahwa menurut kang Kucluk seorang pelatih teater kampus, mental anak muda jaman sekarang tidak akan mampu mengikuti proses panjang. Mirisnya yang menguasai kesenian di indonesia adalah orang danais dan materialis. Sebuah pertunjukan diukur dengan nominal. Bagus tidaknya pertunjukan di ukur dengan berapa banyak dana yang dikeluarkan tanpa mengukur dan menilik kualitas pertunjukan.

Padahal seseorang yang memutuskan terjun untuk berkesenian wajib selalu mengoreksi diri, apakah masih ada yang salah dengan hal yang aku perbuat ? bagaimana kualitas penampilan saya ? dan lain sebagainya. Proses panjang untuk sebuah pementasan menjadi sebuah tes uji coba apakah para pemain bisa bertahan secara fisik dan mental ? hal ini bisa menjadi ukuran kesiapan para pemain dalam pertunjukan. Atau merasa bosan serta jenuh dan memilih untuk pergi karena merasa sia-sia ? hal ini bisa menjadi ukuran mental seseorang yang tidak mampu melanjutkan tantangan. Kesabaran, keyakinan, kepercayaan, kekompakan menjadi nilai plus seseorang yang bersungguh-sungguh dalam tetaer. Nilai-nilai itu sangat lekat dengan kehidupan manusia. Bukankah seharusnya sudah bisa dipastikan berteater adalah salah satu fasilitas kehidupan ? bukan batu loncatan eksistensi yang tidak memandang kekuatan mental dan psikis ? eksistensi akan mengikuti orang yang bersungguh-sungguh. Eksistensi akan datang dengan sendirinya bukan karna uang untuk sebuah pengakuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun