Bekerja menjadi suatu kebutuhan di mana seseorang mendapatkan aktualisasi diri, mencapai tujuan profesional dan tentunya mendapatkan nafkah untuk kehidupan.Â
Fenomena hustle culture sebenarnya sudah cukup lama menjadi pembahasan di berbagai media termasuk media sosial.Â
Sebutan hustle culture cukup populer di kalangan milenial karena sejalan dengan kondisi yang dihadapi oleh kaum muda yang saat ini mendominasi di berbagai sektor ini.
Hustle culture merupakan sebutan terhadap orang-orang yang menjalani gaya hidup, yang mana ia terus bekerja keras dan sedikit waktu. Bahkan tidak ada waktu untuk beristirahat dengan harapan akan mencapai kesuksesan, istilah awamnya adalah 'gila kerja'.Â
Mereka percaya bahwa melakukan kerja secara non stop, akan dianggap sebagai orang yang produktif serta bisa mendapat karir yang diinginkan.Â
Seseorang yang terobsesi dengan "kerja lembur bagai kuda" ini memiliki motivasi yang berbeda-beda, beberapa di antaranya adalah keinginan untuk sukses finansial di usia muda, tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan dari atasan, harga diri yang didapatkan saat bisa mengerjakan tugas-tugas yang menantang, hingga alasan passion dalam melakukan pekerjaan idaman.Â
Sayangnya, hustle culture ini bisa menjadi jebakan karena ketika seseorang tahu bahwa dirinya butuh istirahat dan refreshing, tapi di sisi lain hal ini justru membuatnya merasa bersalah. Ia merasa bahwa semakin banyak bekerja, terlihat sibuk dirinya maka semakin dianggap produktif.Â
Ketika meluangkan waktu untuk beristirahat, artinya ia tidak melakukan apapun yang nampak produktif baik di mata dirinya maupun orang lain.
Kondisi ini terjadi di berbagai negara di belahan dunia, contohnya di China di mana ada sistem waktu kerja 996, yaitu bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam, 6 hari per minggu.Â
Artinya dalam seminggu, seseorang bekerja hingga 72 jam. Begitu juga di Jepang, budaya karoushi yang artinya bekerja keras dengan jam frekuensi yang tinggi.