Mohon tunggu...
Qurotul Hasanah
Qurotul Hasanah Mohon Tunggu... lainnya -

Alumni Pon.Pes Al-Kamal Blitar dan Mahasiswa UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen 5. Aku, Kita dan Mereka

17 Februari 2015   04:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hakikat Kebersamaan

Namaku Salsabila Nawal Fajri. Aku terlahir tidaklah dari keluarga yang terhormat, bukan juga dari keluarga kaya dan terpandang, namun aku lahir dari keluarga yang alhamdulillah beragama dan berpendidikan, keluargaku keluarga sederhana, yang dengan kesederhanaan itu aku tumbuh dengan kasih sayang dan cinta. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga dan juga seorang guru ngaji disebuah TPQ di desa tempatku lahir. Ayahku seorang petani yang kerja tanpa mengenal lelah dan letih demi sebuah kewajiban akan kehidupan keluarga kami.Sejak kecil aku dilatih hidup berbasis agama, hanya karena orangtuaku menginginkan anaknya menjadi insan yang taat beragama.

Hari demi hari ku lalui, hingga akhirnya tiba saat aku harus melanjutkan sekolah kejenjang SMP. Selepas study ku dari Madrasah Ibtidaiyah, orangtuaku memasukkan ku ke sebuah Madrasah Tsanawiyah yang berada dalam lingkungan pesantren. Aku masuk pesantren dan sekolah disana. Jujur, awalnya aku tidak ingin dimasukkan kepesantren, aku menganggap orangtua hanya ingin mengasingkanku dari saudara-saudara. Mengawali kehidupan pesantren begitu sulit, tak ada teman yang ku kenal. Aku seolah-olah hidup dalam kesendirian. Hingga akhirnya aku mengenal semua teman-teman. Kami menjadi teman baik dalam perantauan.

Hari-hari pun berganti, di tahun ke-dua tak tau mengapa aku terpilih menjadi pengurus. Aku pun tak tahu apa yang dijadikan acuan hingga para senior dan asaatidz memilihku untuk ikut serta memegang amanah berat ini, padahal aku bukanlah seorang yang suka organisasi. Tapi, mau tak mau aku pun menyanggupi tugas istimewa ini. Aku berfikir, mungkin dengan jalan ini aku bisa menjadi lebih mandiri, lebih dewasa, dan lebih baik dari pada sebelumnya. Selain dukungan dari orangtua dan teman-teman yang mempercayaiku, para asaatidz pun juga selalu menyemangatiku.

Di tahun ketiga, lagi-lagi aku terpilih menjadi pengurus. Yang kini tambah berat, menjadi pengurus harian, bagian keuangan bukanlah hal yang patut dibanggakan namun tanggungjawab semakin besar. Aku harus berhati-hati dan teliti dalam memegang uang santri, harus menjadi uswah hasanah bagi pengurus bawahan dan anggota. Subhanallah... aku merasa ini adalah ujian terberat, karena sempat ada tentangan dari orangtua, mereka memperbolehkan aku untuk mengikuti organisasi apapun asalkan bukan menjadi bendahara. Namun akhirnya aku bisa melewati masa-masa pengabdian yang begitu indah.

@@@@@@@@@@

Kini aku telah masuk dunia SMA, aku tetap lanjutkan sekolah di Aliyah dekat Pesantrenku dengan tujuan agar aku tetap bisa melanjutkan study di pesantren itu. Aku sadari, ilmu pengetahuan tidak akan sempurna jika tidak diiringi dengan ilmu agama. Dengan dukungan segenap keluarga, ku mantapkan kembali niatku untuk tholabul ilmi. Jika dulu awal masuk aku merasa dipaksa, namun setelah berjalan dan melaluinya dengan ihklas akhirnya aku benar-benar bisa mengambil hikmahnya.

Dan hari-hari pun kulalui dengan ceria. Satu kunciku dalam menjalani kehidupan dipesantren ini, “mematuhi aturan yang berlaku di pesantren ini” sangatlah penting, karna kunci keberhasilah ada pada itu semua.

Tanpa ku incar, di tahun ke-2dan ke-3 aku kembali diberi kepercayaan untuk menjadi pengurus. Sama persis, ditahun ke tiga aku kembali menjadi pengurus harian bagian keuangan. Posisi ini sangatlah bemberiku keuntungan besar, karena dengan posisi ini aku bisa menjadi mengenal lebih dekat keluarga ndalem pengasuh. Walau sering menjadi sasaran utama kemarahan bu nyai dan keluarga besar, karena aku yang lebih di ingat dari pada pengurus yang lain. Aku menjalaninya dengan ihklas. Aku selalu menganggap kemarahan itu adalah bentuk kasih sayang dan pengajaran yang begitu baik bagi diri kita, namun banyak dari teman-teman santri yang menganggap hal itu adalah bentuk kengkangan dan kebencian hingga akhirnya mereka pada takut dan selalu membuat onar. Dan sebagai pengurus, kami harus bekerja dan berfikir ganda untuk ini. Selain mengurus diri kita masing-masing. Kami juga harus mengurus teman-teman.

Bulan berganti bulan, dan akhirnya tiba waktu muwada’ah. Aku dan teman-teman semua harus melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi. Aku sangat bersyukur, akhirnya aku bisa bertahan 6 tahun menuntut ilmu di pondok ini. Aku mendapatkan banyak pengalaman dan teman. Aku memiliki banyak teman. Ada teman selama 6 tahun dan ada teman selama 3 tahun. Sungguh banyak kenangan bersama mereka.

@@@@@@@@@@

Tiga bulan sebelum UAN, aku dan teman-taman sudah pada sibuk memilih ke perguruan tinggi mana kami akan melanjutkan study. Banyak dari kami yang mempunyai target ke perguruan-perguruan tinggi terkenal di indonesia. Ada yang memilih UIN Jogya, UIN Jakarta, ITS, UM, UMM, IAIN Surabaya, UNY, UIN Malang, Trunojoyo, Brawijaya, dll. Semua berkeyakinan akan berhasil mesuk ke PTN pilihan masing-masing. Semua pada antusias menanti saat-saat kelulusan tiba. Dan akhirnya sekolah kami lulus 100%. Alhamdulillah....

Waktu itu aku mempunyai keinginan besar untuk melanjutkan kuliyah di UIN Maliki Malang. Namun aku merasa pesimis untuk hal itu, aku merasa aku tidak mampu. Namun aku pun tetap mencoba untuk mendaftarkan diri melalui jalur SNMPTN. Selain itu aku juga mendaftar di STAIN Tulungagung. Aku berkeyakinan jika aku sudah pasti masuk di PTN itu. Akhirnya setelah melalui beberapa proses aku dan 32 temanku dinyatakan diterima di PTN itu melalui jalur PMDK. Aku pun memantapkan niat untuk melanjutkan di PTN itu, karena aku juga berkeinginan besar untuk tetap tinggal di pesantren. Aku ingin belajar dan membantu di pesantren. Dedikasi dan Loyalitas ingin ku terapkan dalam kehidupanku karena aku terlanjur menghormati dan mencintai pesantren itu.

Hari-hari mengisi waktu senggangku ku gunakan di pesantren. Aku ikut mengurusi pendaftaran santri baru, dari awal hingga akhir. Dan ketika akhirnya aku dinyatakan diterima di kampus UIN Maliki Malang. Kabar ini membuatku sempat bingung. Antara senang, bangga, dan sedih. Orangtua, keluarga, sahabat, teman, ustadz, guru, bahkan keluarga pengasuh aku mintai solusi untuk membantuku memecahkan masalah rumit ini. Antara hidup dan mati aku menentukan mana yang harus aku ambil. Aku sangat bangga bisa masuk seleksi ke UIN Maliki Malang, namun disisi lain akuingin selalu ada di pesantren ini.Aku takut berpisah dengan teman-teman dan keluargaku disini, para keluarga ndalem. Mereka sudah ku anggap seperti orangtua dan keluargaku sendiri, aku tak ingin berpisah dari mereka.

Pada akhirnya pilihan jatuh pada UIN Maliki. Dengan niat yang ihklas aku meyakinkan diri, sahabat, teman-teman, dan keluargaku. Aku sangatlah sedih ketika harus mengambil keputusan ini, karena aku harus berpisah dengan teman-teman dan para pengasuh yang selama ini menemani hidupku. Aku tersenyum dalam tangis, namun tak sedikit dari mereka yang selalu memberiku semangat dan kepercayaan. Para asaatidz dan keluarga pengasuh pun juga memberiku semangat. Mereka selalu katakan agar aku meyakinkan niat untuk tholabul ilmi. Kata mereka, aku akan tetap bisa membantu pesantren walau jarak jauh. Aku akan sukses jika aku bersungguh-sungguh.

Subhanallah. Sungguh senang hati ini, ketika aku dalam posisi sulit, mereka selalu hadir dan menyertaiku. Aku bersyukur pernah menghuni istana suci di pesantren ini. Aku akan mengusahakan untuk benar-benar tetap menjaga ukhuwah islamiyah dengan keluarga besar pesantren. Walau aku terlahir tidak dari keluarga priyayi, namun aku tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pesantren mengajariku banyak hal. Ilmu, organisasi, hakikat kehidupan, dan masih banyak lagi. Aku berjanji suatu saat nanti jika Allah meridhoi, aku akan kembali ke pesantren ini dengan segala ilmu yang telah aku dapatkan, untuk aku terapkan dan aku bagikan kepada adik-adik ku, insyaallah. “Pintu Al-kamal akan tetap terbuka untuk mu”.....itulah ucapan para keluarga besar pesantren yang membuatku terharu dan berbahagia karenanya. Aku mengukir banyak cerita dengan mereka, para teman, sahabat, saudara, kyai beserta keluarganya, asaatidz/ ustadzaat, adik-adik dan kakak kelas ku. Dari pesantren inilah aku memulai kehidupan masa depan, cita-cita dan cinta ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun