Mohon tunggu...
Queen Sarah
Queen Sarah Mohon Tunggu... pelajar -

Leader of Sarah Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kritik (1)

13 Agustus 2013   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:20 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian orang menyatakan bahwa ketika mengkritik harus disertai dengan solusi. Cukup lama aku “menaati” pernyataan tersebut, sehingga aku jarang melontarkan kritikan. Alasannya karena aku sulit memberikan solusi atas kritikan yang ku lontarkan. Hingga akhirnya aku justru banyak dikritik teman-temanku karena aku jarang sekali mengkritik. Sialnya mereka yang mengkritik pun “penganut madzhab” mengkritik harus disertai solusi.

Dengan modal nekat aku akhirnya “murtad” dari penganut keyakinan tersebut. Mungkin ini bukan hal baru bagi orang lain, namun bagiku ini adalah “terobosan” bagi diriku sendiri. Keyakinanku berbalik 900, yakni mengkrtik tidak harus disertai solusi. Alasan aku menganut “madzhab” ini adalah, agar para kritikus tidak malu-malu untuk mengkritik meski tidak bisa memberikan solusi. Bagiku, penganut “madzhab” kritik harus disertai solusi adalah orang yang setengah-setengah. Mau dikritik namun malas mencari solusi sendiri. Padahal bagi orang yang dikritik, menurut keyakinanku, haruslah mau mencari sendiri solusi atas kritikan yang diberikan kepadanya. Adapun solusi yang diberikan kritikus, sifatnya hanya sebagai tawaran saja, bukan satu-satunya solusi. Bisa saja jika kritikus memberikan solusi, yang dikritik menggunakan solusi tersebut, dan boleh saja yang dikritik tidak menggunakan solusi tersebut. Pada intinya, setelah menerima krtikan, yang dikritik harus berusaha agar tidak menerima kritikan yang sama. Pada umumnya, orang sulit menilai diri sendiri dan lebih mudah menilai orang lain. Karena itulah, tak perlu malu-malu memberikan penilaian kita atas orang lain. Percaya atau tidak, biasanya kalau orang dikritik dia akan membalas kritikan tersebut. Yang dikritik pun jangan langsung marah, santai saja. Karena kritikus belum tentu lebih baik daripada yang dikritik. Kritikan adalah salah satu sarana untuk memperbaiki diri sendiri. Berterima kasihlah kepada para kritikus.

Ternyata setelah “pindah keyakinan”, aku justru bisa semakin sering mengkritik yang ingin ku kritik. Pokoknya kalau tidak sesuai dengan harapanku, kritikan selalu mengalir. Kritikan yang ku lontarkan seringkali kepada para aparat pemerintah dan pemuka agama. Pasalnya sebagai bagian dari Warga Negara dan Bangsa Indonesia, aku merasa sedih dengan kondisi Indonesia yang tidak jelas kemerdekaannya. Sebagai “imbalannya” aku pun sering menerima kritikan karena kritikanku sering tanpa solusi. Dengan saling kritik-mengkritik, hidup ini terasa rame. Hehehe...

Colo.Rb.Kl.071034.140813.20:58

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun