Suku Baduy adalah salah satu suku pedalaman yang ada di Indonesia, merupakan sekelompok masyarakat adat Sunda di pedalaman Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Suku baduy terbagi menjadi dua kelompok yaitu Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar (Suku Baduy Luar adalah mereka yang telah keluar dari adat istiadat Baduy Dalam) dikenal juga sebagai "Urang Kanekes" atau "Urang Cibeo" mengacu pada nama kampung tempat mereka tinggal . Suku ini belum terpengaruh modernisasi terutama Suku Baduy Dalam. Masih memegang teguh prinsip-prinsip hidup yang diajarkan oleh para leluhurnya.
Banyak orang berpikir kalau Suku Baduy terbelakang dan menakutkan. Jika belum pernah bertemu dan mengenal mereka, saya pun pastinya akan berpikir seperti itu, apalagi suku pedalaman kerap dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis. Saat ini pemukiman Suku Baduy kerap menjadi tujuan wisata bagi mereka yang ingin tau lebih dalam tentang kehidupan suku ini. Karena penasaran saya memutuskan untuk berkunjung ke Suku Baduy ini untuk lebih mengenal budaya mereka.
Saya berkunjung ke Suku Baduy selama 2 hari 1 malam, selama perjalanan saya ditemani oleh salah seorang Suku Baduy Dalam. Kang Naldi menjadi pemandu saya selama saya menjelajah kawasan ini. Memulai perjalanan dari pintu masuk Desa Ciboleger, melewati kawasan Suku Baduy Luar sampai akhirnya langkah kaki tiba di kawasan Suku Baduy Dalam, Desa Cibeo di tempuh sekitar 5 jam perjalanan dan dalam kondisi hujan, perjalanan yang luar biasa harus saya tempuh.
Sesampainya di perkampungan Baduy Dalam, saya di ijinkan menginap di rumah orang tuanya Kang Naldi, ditempat ini sudah dipastikan tidak ada penerangan dari listrik, hanya mengandalkan cahaya dari lampu minyak ataupun senter yang saya bawa, selain ada larangan mengambil Foto dari mulai memasuki kawasan Baduy Dalam, saya juga di larang mendekati kediaman kepala Suku Baduy (Pu'un). Saya mencoba mengikuti semua aturannya tanpa banyak bertanya.
Sepanjang perjalanan saya banyak mengobrol dengan Kang Naldi, bahkan saya mencoba mengobrol dengan dialek bahasa mereka. Perjalanan panjang pun menjadi tidak begitu terasa. Saya banyak bertanya tentang filosofi hidup yang mereka anut, bagi saya sangat menarik untuk di gali lebih dalam.
Mengawali obrolan, saya bertanya kenapa mereka tidak memakai sandal atau alas kaki, Kang Naldi hanya menjawab kalau itu dilarang tanpa menjelaskan lebih lanjut alasannya. Sayapun mencoba menawarkan sandal yang saya pakai untuk diberikan padanya, apakah itu boleh, katanya kalau memberi boleh saja, paling nanti sandalnya saya gantung di rumah, saya hanya tersenyum saja mendengar jawabannya.
Saya bertanya apakah Kang Naldi sudah menikah, jawabnya sudah menikah punya anak satu.
Saya         : Berapa rata-rata usia menikah Suku Baduy?
Kang Naldi   : Untuk laki-laki 17 tahun, untuk perempuannya 13 tahun