Mohon tunggu...
Queenie Life
Queenie Life Mohon Tunggu... -

Just human being who learns to love and know her wild world....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kenapa harus Romeo? (2,Tamat)

24 Maret 2011   00:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pertemuan demi pertemuan diselubungi dengan kesunyian dan kedipan mata saja. Berpuluh-puluh sajak terangkai untuk melunasi hutang rindu yang semakin hari semakin menggerogoti layaknya debur menggerus pantai. Dan keputusan final itu tertunaikan jua. Pernikahan khidmat dalam naungan suci bersaksikan para malaikat penebar Cinta. Tuhan menganugerahi keberanian yang tak melompong. Cinta berubah serupa baju zirah yang mampu melindungi kelebatan luka yang siap melumat jiwa keduanya. Sekali lagi, angkuh kenyataan ditantang dua manusia yang sama sekali buta atasnya.

“Apa kau takkan menyesal?” Juliet mendekap Romeo erat. Sumpah setia yang ia ucapkan tadi sempat bergetar hebat namun meluncur dengan gemulai dari bibir merah mungilnya.

Romeo menatap pengantinnya dengan mesra. “Mana mungkin aku menyesal, wahai pemilik hatiku. Betapa duniaku kini tak sekelabu kemarin Senja. Aku telah dimahkotai keanggunan yang tak lekang walau Kala berkejar-kejaran dengannya. Aku hanya akan bersamanya. Selama hayatku belum dipeluk Sang Maut.” Juliet menatap nanar. Rasa takut seketika menjalari tubuhnya. Mendengar kata “maut” adalah duka yang terasingkan selama ini darinya dan ia tahu benar bahwa mencintai bahkan menikah dengan Romeo merupakan khilaf tak termaafkan dalam garis keturunannya.Cinta memang terkadang enggan mengganti rupa sisi lainnya, mengharapkan pengorbanan.

***

“Apa??....Kau menikah dengan bocah dari Montaqiu? Apa ayah tak salah mendengar? Kau tahu kan Juliet…Kita keluarga terhormat dan mereka adalah keluarga yang selama ini telah menjatuhkan martabat kita di Verona ini. Mengapa? Kenapa harus Romeo? Oh………….kini ayah tahu kemana saja kau selama ini, kau mengkhianati keluarga ini. Kau harus dihukum. Kau tak boleh kemanapun. Pernikahanmu atas nama Tuhan kemarin adalah sebuah kepalsuan. Ayah tak pernah merestui hubungan itu. Ayah murka padamu….” Kalimat amarah dan kekecewaan itu bagai buncahan petir yang menggelegar di kaki cakrawala. Kesedihan segera menerpa tubuh Juliet muda. Usianya memang masih 16 tahun tapi adakah yang salah pada keinginannya untuk mencinta dan dicinta? Tuhan saja tanpa lelah menggenapi sayangNya pada siapapun dan mengapa kini, ayahnya, seorang manusia biasa, menghalanginya untuk mencintai seorang pemuda berhati tulus, Romeo.

***

“Kau menikah dengan anak gadis Capulet????...Romeo, sudah gilakah kau? Kau adalah anak yang paling kami harapkan mampu mengangkat martabat kami di Verona. Tapi….. apa yang kami dapat? Kau malah menikah dengan gadis itu. Tak adakah gadis yang bisa membuatmu bahagia selainnya di Verona ini? Atau mungkin kau harus ayah kirim ke ranah lainnya demi menemu pujaan hati?” ayah Romeo terduduk lemas. Wajahnya merah padam. Berita pernikahan anaknya yang tersebar ke seantero kota membuat  kewibaannya melorot. Terlihat begitu terang, ia gelisah bercampur marah atas kelakuan putra bungsunya yang sering ia banggakan.

“Aku mencintainya dengan tulus, ayah. Aku tak pernah mengharapkan ayah ataupun bunda setuju, tapi kuingin biarkanlah kami hidup tanpa embel-embel nama keluarga yang menyiksa Cinta kami. Wahai ayah bunda, aku memohon kesudian ayah bunda melepasku.” Romeo berlutut, menghadapkan tangannya ke hadapan ayah bundanya dan mulai mengiba. Ibunda Romeo tampak gusar. Ia tak pernah melihat putranya seserius ini. Ia tahu Cinta begitu erat memeluk hati anaknya tapi Nyata bukanlah kawan karib mereka. Nyata memperkenankan Romeo untuk lari dari cintanya. Ia menginginkan Romeo bertindak lain, meninggalkan Juliet dan menikah dengan perempuan selainnya. Yang bukan Capulet di akhir namanya.

***

*Kediaman Capulet, bulan ke-7 setelah pernikahan. Bulan nampak seluruh.

Purnama menggantung di Langit.

“Juliet, aku mohon makanlah….kau sering tak makan. Minum pun jarang. Hanya sesekali kau membasuh wajah dan kemudian memandangi rembulan layaknya seorang kekasih. Aku khawatir dengan kesehatanmu. Ayolah makan!” Bibi El terus meletakkan sendok kayu dengan sup hangat lezat itu di muara mulut Juliet. Namun, Juliet tak bergeming. Ia terus menatap kosong ke rembulan. Tiba-tiba ia memecah kesunyian.

“Bi, apakah Romeo akan datang? Mengapa ia tak mengirimkan sajak-sajak lagi lewat merpatinya? Mengapa derap langkah kuda yang biasanya menghantarkan ia kesini tak terdengar lagi? Aku begitu merindukannya. Nafas kerapuhan telah beruntun-runtun menawarkan penyerahan atas perpisahan ini tapi aku menggeleng, walau itu sebuah gelengan ringan, aku ingin tetap bersama Romeoku. Ia yang paling kucinta, Bi. Ia adalah cipta Sang Maha yang mampu membawaku ke ranah bahagia. Surga Cinta.”

Bibi El hanya tercenung. Gurat-gurat tuanya mulai naik turun. Ia paham perkara Cinta. Nonanya memang bukan seorang dewasa tapi jiwanya adalah pendamba Cinta yang sebenarnya. Ia tak lelah menunggu walau itu berarti tubuh dan pikirannya akan penuh dengan kenangan-kenangan yang enggan meluruh bersama hujan pagi. Cinta menjadi sedemikian hebatnya memenuhi ruang hati yang tak berkoridor itu. Cinta telah memerah ujaran menjadi ketetapan tindak yang tak jemu. Cinta memegang kuasa atas Kala yang melingkupi tubuh. Ah, Cinta….

***

Romeo menyelinap keluar dari rumahnya. Berbekal belati rindu yang siap mengamuk-ngamuk meluapkan sabetan ketidakmengertian atas halangan untuk Cinta. Ia mengangkangi Malam dengan peluh di sekujur tubuhnya. Tak ada derap kuda. Hanya dua langkah kecil bergantian yang menemaninya. Kepapaan adalah nikmat atas perjalanan nuju kekasihnya yang kini pasti menghamba pada belas kasih Tuhan untuk sebuah temu. Sebuah temu walau hanya dalam hitungan sekian-sekian.

Dingin tak dihiraukannya. Luka di pelipis dan lututnya karena akar hutan liar yang ia lewati demi menghindari pengawalan adalah sebuah bukti. Bukti bahwa ia mampu menjumpai tanpa harus diketahui. Ia sadar sepenuhnya, kekuatan Cinta bisa mengubah sakit menjadi penabuh genderang semangat yang bertubi-tubi. “Juliet, aku akan membawamu pergi….membawamu pergi.”

***

“Aku tahu, duhai sayangku, Romeo. Aku tahu, maka kan kunanti kau di sini. Aku sudah siap menggapaimu.”

Seperti terhubung dalam sebuah talian batin. Suara-suara hati itu memecah keheningan dini hari. Juliet masih setia melihat ke arah langit. Satu persatu gemintang menyapanya dan meniupkan bayu kelembutan untuk tidurnya. Akan tetapi, Juliet segera terkesiap. Mengucek-ngucek matanya dan kembali tegak duduk di atas kursi mungil seukuran tubuhnya. Juliet ingin menunggui Malam sampai Fajar menyingsing.

***

“Ada penyusup………ada penyusup……..” kalimah itu nyaring terdengar. Membangunkan semua pasang mata di kediaman Capulet. Dan lihatlah, seorang pendosa sedang dikepung sekumpulan pengawal. Siap dihunus pedang berkilat-kilat. Ah Romeo terjebak.

Juliet terhenyak. Ia bangun dan melihatnya…..ia melihatnya. Lelaki kurus dengan sorot mata yang masih sama. Rambutnya telah mencium punggung, penanda bahwa sakit Cinta juga menggerogotinya hingga ia enggan mengurus diri. Bibirnya pucat dan tak lagi mendendangkan nyanyian cinta musim semi seperti dulu waktu mereka sering pergi diam-diam. Wajah itu telah dimakan si rakus rindu. Air mukanya berubah tatkala bertemu pandang dengan Juliet. Wajah itu sumringah, kegirangan, seperti mendapat rembulan dari angkasa raya. Romeo memenangkan impinya, walau baru setengah, menatap wajah pujaan hatinya.

***

Ayah Juliet keluar dari rumahnya. Kini di hadapannya, berlutut sempurna seorang muda yang keceriaannya dibaluri kedukaan. Bajunya lusuh. Rambutnya panjang tak menentu. Wajahnya kelihatan begitu semrawut. Tapi…..tak ada yang menyangsikan bahwa itu Romeo, Romeo Montaqiu, si anak musuh bebuyutannya. Penerus keluarga yang membuatnya tak lena tidur karena takut dibunuh sebelum menjelang Senja. Hening dini hari itu semakin menggelorakan semangat Romeo untuk memberanikan diri, menjemput gadis impiannya.

***

“ Kau tahu, aku murka ketika anak perempuanku yang polo situ mencintaimu. Aku ingin melenyapkanmu saat itu juga. Akan tetapi, aku masih berbelas kasih karena kau anak lelaki semata wayang di keluarga Montaqiu-fiuhhhh bahkan menyebut nama keluargamu saja, bibirku kelu. Sekarang, kembalilah dan jangan pernah menampakkan wajahmu lagi disini atau kau…..” kalimah itu terputus disitu. Ayah Juliet tak ingin meneruskannya karena hanya akan melukai Juliet. Ia masih memikirkan perasaan anaknya itu. Tapi, ia akan….

“Juliet…………………juliet……………..aku datang, sayang…seperti janjiku padamu. Aku akan mem…..arghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”

Ujaran Romeo terhenti dalam cahya mentari yang mengintip dari balik awan usang, tercipta lukisan kehidupan penutup kisah. Hunusan pedang Francis mengakhiri Cinta. Sayap-sayap asa itu terhempas ke dasar yang jauh dari pijakan. Juliet menjerit kesakitan. Ia seperti merasakan hunusan pedang yang menembus jantung itu. Wajah pucatnya yang sempat tersenyum karena hadir Romeo kini berangsur-angsur membiru. Didekapnya erat sang tubuh, ia memanggil Romeo dengan sisa kekuatan yang ada. Pilu, amat pilu raga itu. Tak ada yang bersuara, tidak pula Francis. Ia terkejut karena godaan kesementaraan. Ia jelas kalah di hadapan Romeo yang kini tamat memperjuangkan Cintanya. Ah duka dan sesal selalu memijak di detik terakhir tindak tergesa. Francis berlutut mengakui kesalahan terbesarnya, memisahkan Cinta yang sedianya memang dicipta antara Romeo dan Juliet.

Juliet tergopoh menuruni tangga, terseok mendekati sang pemanah jiwa, Romeo, terkapar tak bernyawa dengan senyum kemenangan yang tak dibesar-besarkan. Ia senang sempat melihat Juliet walau dalam jarak dan waktu yang sekian, ia senang mampu mengobati rakus rindu yang selama ini juga menjaga keletihannya akan hidup bersendirian.

“Akhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh” Juliet berteriak hingga serak. Lalu ia limbung, terjatuh tepat di atas Romeo. Tak ada yang berani mendekat. Semua seperti maklum bahwa inilah bukti keserakahan akan sebuah martabat. Cinta yang begitu murni takkan mampu bersanding dalam gelimang angkuh. Hingga salah satu darinya harus menyingkir dan terbenam. Dan adalah Cinta itu yang harus berkorban. Martabat yang dijunjung begitu kukuh tapi juga rapuh. Tidak dapat menyangkal bahwa kenyataan adalah jawab atas tanya bahagia. Cintalah pemenangnya walau harus dibawa mati. Ah Cinta.

***

Tangis bukan hal yang pantas dalam pemakaman ini. Senyumlah yang seyogianya tersungging. Dua insan pendamba itu telah menyatu raga. Dalam kesunyian, dalam Cinta yang tak lagi terhalang serakah atas nama “Nama”.

“Bahkan, gemintang turut tersenyum di saat kau menyuarakan pisah pada Senja. Aku iri pada mereka, aku ingin bertemu denganmu. Walau itu berarti, aku akan mengkhianati Malam yang menjadi teman sebelum kantuk menyapa.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun