Mohon tunggu...
Queenie Life
Queenie Life Mohon Tunggu... -

Just human being who learns to love and know her wild world....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kenapa Harus Romeo? (1)

23 Maret 2011   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kenapa Harus Romeo? (1)

*Kediaman Capulet, malam ke-12, setengah bulan beranjak hampir separuh

Ruangan itu penuh dengan hingar binger. Disana sini hanya ada cahya gemerlapan dan tawa yang membahana. Tuak dituang ke dalam gelas-gelas perak yang saling berdenting layaknya lonceng penanda Kala. Kemeriahan menutupi Sang Indah yang tersudutkan di tepi kamar gelap. Ia mengendap-endap. Sesekali mengambil anggur merah kemudian menelannya bulat-bulat karena tertarik pada warna benderang. Merah. Dan kini merah itu berubah semakin menyala. Hinggap di atas sebuah wajah rupawan yang disembunyikan topeng tanpa corak gemilang seperti topeng lelaki pada umumnya. Ya, Sang Indah itu bernama Juliet. Gadis berparas cantik yang menenggelamkan kesunyiannya pada lagu-lagu hampa. Ia menari saat semua terlelap dan bergurau pada Malam di detik sebelum kantuk menjemputnya. Ia tak pernah mendekati mahluk bernama lelaki kecuali ayah dan saudara-saudaranya. Sampai akhirnya, di depan mata coklatnya, sosok itu menyatu dalam keterdiamannya. Bermandikan kehangatan yang sempat dianugerahi angin ketenangan, lelaki itu berlutut tepat di hadapannya, bagai seorang ksatria raja yang menunggu titah.

***

“Siapa gerangan dirimu?” Tanya itu tercekat di lehernya. Bukankah ia dilarang berbicara dengan seorang asing? Oh mengapa kini titah itu dilanggarnya?

Lelaki itu menatapnya penuh senyum. Rambut hitam sebahunya tergerai ditiup lembut sang bayu dari sudut kanan ruangan. Tampak bulan menyembul dari balik awan malam. Cuaca dingin namun berada di hadapan putri ini, dia tak bisa tak mengatakan bahwa kalor telah memenuhi tubuhnya hingga ke pangkal leher. Ia gugup benar.

“Nama saya Romeo.” Jawaban singkat sesingkat pertanyaannya. Juliet tak bergeming. Ia bingung harus apa. Ia baru saja berkesempatan untuk bersama seorang lelaki tapi hatinya sudah gundah, gelisah. Ia takut ini adalah jebakan. Akan tetapi, sorot mata itu, sorot mata penuh ketulusan yang langsung menggenggam hatinya. Detak jantung dan nafasnya mulai tak beraturan. Kepalanya serasa dikerubungi lontaran-lontaran Istana. Bergemuruh seramai perayaan ulang tahunnya yang baru diadakan malam lalu. Ia berumur dua windu.

***

“Lalu, apakah engkau Juliet?” Tanya Romeo penuh asa. Dia mendekat namun Juliet berkelit. Dia menjatuhkan dirinya jauh dari Romeo. Ia kalut. Perasaannya begitu tak menentu. Romeo, Francis, ah nama-nama itu melingkupi dirinya. Ia menatap Romeo dalam bisu. Ia tahu. Ia telah jatuh cinta pada keanggunan sikap Romeo.

“Iya, dan bukankah Monteqiu dilarang berkeliaran di sekitar kediaman Capulet? Apalagi dalam rumah ini. Kau telah lancang, wahai pemuda!” ujar Juliet sambil menunduk. Ia tak ingin melihat mata itu. Jantungnya berdetak cepat ketika beradu pandang dengannya.

“Aku tahu tapi aku bertemu denganmu.” Kata Romeo sambil berusaha menyejajari sikap duduk Juliet. Ia membuka topengnya. Juliet menoleh dan wajah itu, ia bersumpah, wajah itu adalah wajah yang sering hadir tanpa alpa dalam setiap impinya. Impi yang ia harapkan akan selalu menemaninya setelah lelah bercengkerama dengan Malam.

***

“Aku sering mendengar namamu, entah, aku begitu tertarik tiap kali kawanku menyombongkan dirinya bahwa baru saja bertemu denganmu. Ia berkata bahwa tak ada selainmu yang mampu meneduhkan jiwa dalam sekian sekon. Bahkan, gemintang turut tersenyum di saat kau menyuarakan pisah pada Senja. Aku iri pada mereka, aku ingin bertemu denganmu. Walau itu berarti, aku akan mengkhianati Malam….

“yang menjadi teman sebelum kantuk menyapa.” Penggalan kalimat itu terucap dari kedua bibir muda mudi itu. Terhenyak, merasa jalar kesamaan telah membumbung menerangi sempat resah yang hinggap. Romeo Juliet saling berhadap-hadapan. Jemari itu dingin namun kukuh. Juliet menggenggamnya dengan desiran ketakjuban dan kegelisahan yang membiru. Cinta sudah menggeliat dalam golak ombak api di hati mereka. Pertentangan mulai terbayang nyata. Kasih akan menemu aral. Sayap-sayap asa akan berguguran sebelum dibentangkan sedemikian luas di angkasa kehidupan. Juliet remuk.

Romeo tak ingin banyak bicara. Baginya, sosok Juliet sudah lebih dari cukup untuk menjadi kekuatannya. Tak mampu memeluknya pun bukanlah akhir yang menyedihkan. Lagi, nafsu durjana hanyalah gerbang duka sesungguhnya.

“Aku ingin bertemu lagi denganmu…” Juliet hendak berbicara tapi Romeo meneruskan kalimahnya. “Aku sudah tahu akan seperti apa nantinya…aku tak mau mengalah.” Itu saja yang terkatakan. Setelahnya, Romeo beranjak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun