Mohon tunggu...
Luzi Dina Lestari
Luzi Dina Lestari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Stikom Bandung

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Perawan

5 Maret 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:03 2267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Happy birthday Onni....Happy birthday Onni....Happy birthday..... Happy birthday.... Happy birthday.... Happy birthday Onni......"
Suara itu entah dari mana datangnya. Rasanya sangat familiar tapi terdengar sayup-sayup di telingaku. Semuanya gelap. Aku tak dapat melihat secercah cahaya pun, hanya merasakan kecupan lembut di leher mulusku.
"Udah jam 12 lebih 5 menit. Bangun dong, ini kan ulang tahun Onni. Katanya mau ngerayain bareng Oppa" ucap lelaki jangkung yang tidur di sampingku itu mesra.
Senyumku merekah saat aku bisa melihatnya dalam kegelapan. Bahagia karena dia orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dialah orang yang sangat ku cintai selama 15 bulan ini. Sms dan telpon dari teman-teman yang ramai menjejali handphone, aku singkirkan supaya tidak mengganggu. Aku hanya ingin berduaan dengan Oppa.
Dengan manja aku memintanya menyanyikan lagu happy birthday sebagai hadiah ulang tahun. Lelaki berdada bidang seperti papan itu mengabulkan permintaanku. Aku bertindak sebagai maestro yang perfeksionis. Berkali-kali aku memintanya mengulang, menyuruhnya bernyanyi lebih keras. Oppa dengan sengaja bernyanyi keras tepat di daun telinga kananku, membuat kupingku tuli. Tiba-tiba dia mencumbu leherku, dan aku menikmatinya.
***
Entah setan apa yang melintas di otaknya, hingga kali ini dia terinfeksi racun nafsu birahi. Aku cukup bisa menguasai diri untuk menolaknya bersenggama denganku. Akibat penolakan, aku dibantingnya ke ranjang. Kepalaku nyut-nyutan seirama dengan per yang menggenjot kasur karena tertimpa olehku. Kami memang tidur seranjang bila menginap di rumahnya. Selama ini tidak terjadi apa-apa. Kami cukup bisa mengendalikan diri. Oppa memegangi keningku yang demamnya belum juga turun. Dia tahu aku sakit. Aku tidur. Aku bisa merasakan dia menyelimuti, kemudian memelukku sampai aku benar-benar menghilang dari alam sadar.
***
Morning erection.
Good Morning Mr P. Waduh semangat amat bangun pagi-pagi? Pagi buta lagi! Ini kesekian kalinya dia mencoba menindihku. "Menindih", itu istilah yang kami pakai yang berarti berhubungan intim. Walau dalam pengaruh parasetamol yang membuat mataku berat akan kantuk yang mendera, aku masih menyadari kejadian sepanjang malam. Semalaman dia jadi pejantan tangguh, pantang menyerah walau berkali-kali aku tolak. Aku menang telak dengan aksi menangis, mengemis, dan minta dikasihani agar dia tidak berbuat nekat. Aku tidur memunggunginya. Ah....Bodohnya. Kenapa aku malah datang ke kandang singa, ini sih namanya sama dengan nyodorin makanan buat singa yang sedang kelaparan. Padahal
aku ke sini untuk merayakan ulang tahun, tidur dan mengerjakan tugas. Bukan bertanding gulat sama dia. Setelah mengumpulkan nyawa, aku bangkit dari tempat tidur meraih tas yang berisi buku. Aku duduk dihadapan monitor, bersiap untuk mengetik tugas kuliah yang menumpuk pasca liburan Lebaran.
"Onni kan tau komputer Oppa ga ada colokan flashdisknya. Trus ntar gimana cara nge-printnya?" ucap Oppa membuat aku urung mengetik.
Aku cemberut, terpaksa menuliskan buah pikiranku ke dalam kertas. Oppa tidur mengacuhkanku. Mungkin lelah dengan perjuangannya semalam yang tidak menghasilkan kepuasan untuknya. Bagiku itu lebih baik dari pada dia menggangguku mengerjakan tugas.
***
Sudah tengah hari, tampaknya. Aku bisa mendengar adzan Dzuhur berkumandang. Siang atau malam tak ada bedanya bila berada di kamar ini. Sama saja gelapnya karena dindingnya berwarna hitam dan biru tua. Tak ada ventilasi, atau sekedar lubang kecil tempat masuknya udara. Makanya terasa agak sesak. Sinar dari pantulan televisi dan monitor komputer-lah yang menerangi remang-remang ruangan ini. Oppa duduk di depan komputernya, seperti main game. Padahal game yang ada di komputer pentium satunya itu hanya spider solitair, yang terus dimainkannya setiap waktu tanpa rasa bosan.
Aku membereskan buku-buku yang bertebaran di kasur lalu menghampiri lelaki yang semalaman ini uring-uringan tidak jelas untuk mencairkan suasana.
"Mmm...Masih marah ya?"
Aku menggoda cowo berambut ikal ini sambil menggelayut di pundaknya. Dia tetap mengacuhkanku. Aku mengelus-elus pundak, dan leher dengan ujung jari-jari mungil yang lembut, mengecup pelan. Ah....memang benar I'm Devil. Sentuhanku itu mungkin nyetrum, padahal aku tidak bermaksud begitu. Oppa berbalik ke arahku, tiba-tiba saja dia ganas. Aku tidak dapat menahannya, tenaganya lebih besar. Usahaku berkelit hanya membuahkan dua benjolan di jidat, kepentok meja, dan sedikit goresan di pipi yang terasa sangat nyeri. Berkali-kali aku dibanting ke kasur, kadang jatuh ke lantai. Aku menjerit kesakitan saat Mr P berhasil meloloskan diri, tapi suaraku tercekat. Aku menggeliat-geliat, berusaha menggerakan kaki untuk menendangnya juga mencakarnya dengan kuku yang tajam. Itu cukup menyulitkan. Tangannya tergores kukuku, tapi dia berhasil mencengkram tangan dan menindihku. Kakiku kram, mati rasa, aku tidak dapat bergerak. Aku memohon, menangis, mengiba dan merintih tapi dia tak peduli. Berkali-kali dia coba lakukan sampai akhirnya sperma itu berceceran di selangkanganku. Aku syok melihat cairan kental berwarna putih itu melumuri tubuhku. Mual membuatku tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
***
Saat terjaga, Oppa sudah membungkus tubuhku dengan selimut. Cairan yang membuatku mual dan cenat-cenut itu sudah bersih. Aku mendorong tubuhnya yang sedang memelukku lalu memunggunginya. Air mataku membanjiri bantal Dia membalikkan tubuhku dengan paksa dan memelukku. Dia tahu kalau aku akan merasa sangat nyaman bila dipeluk. Kali ini aku menolak pelukannya, sayang aku tidak dapat melepaskan diri. Dia terus saja mendesakku bicara. Akhirnya tangisku pecah, kata-kata meluncur dari bibir mungilku dengan terbata-bata.
"Oppa...Op...Op...pa...Ja...hat...Jahat...Ja...Jahat sama On..ni" Aku memukul-mukul dadanya sekuat tenaga melampiaskan kekesalanku, hanya kata itu yang dapat aku ucapkan atas serangan fajar yang dilakukan Oppa.
"Tenang Onni. Oppa bakal tanggung jawab kok. Oppa sayang ama Onni. Ini cara Oppa nunjukin rasa sayang." Oppa memegang pergelangan tanganku menahan serangan.
"Bohong.......Onni benci Oppa..................benci Oppa........Onni benci...benci.....ben...ciii...."
"Trus mau Onni apa sekarang? Kan udah terjadi." Aku malah menangis sejadi-jadinya mendengar pernyataannya. Dia menyumpal mulutku untuk meredam suara tangisanku.
"Onni takut apa? Hamil? Tenang, Oppa ga bakal kabur. Oppa bakal tanggung jawab" dia menatapku, berusaha menunjukkan kesungguhannya.
"Ngerti ga sih? Onni tuh pengen Oppa nikahin Onni sebelum ngelakuin seks. Itu baru tanggung jawab namanya. Kalau kayak gini jaminannya apa? Sama aja Oppa ga berani tanggung jawab. Pengecut!" ucapku kesal menjauhkan tangannnya dari bibirku.
Aku tidak habis pikir Oppa masih berani meminta, setelah dia mengambil keperawananku, melecehkanku sebagai perempuan, bahkan menyebutku bukan perawan, dan menganiayaku. Tahu diri ga sih? Semuanya udah dia ambil dia masih minta lagi? Apalagi yang bisa aku kasih?
Aku tidak melakukan perlawanan. Kali ini aku pasrah dengan berurai air mata. Letih, dan nyeri disekujur badan membuatnya mati rasa. Perih di daerah Miss V aku tahan. Kali ini dia cepat selesai, mungkin tanpa perlawanan dirasakannya tidak menggairahkan.
"Puas?" tanyaku geram
"Aku masih perawan. Teganya kamu nindihin aku, ngelecehin aku, nginjek-injek harga diriku. Puas? Ha..!" ucapku emosi dengan isakan tangis.
"Oppa percaya Onni. Oppa ga mempermasalahkan perawan atau ngga. Lagian kalau Onni ga jadi sama Oppa, Oppa yakin masih ada kok yang mau nerima Onni." Oppa mengucapkan kata-kata itu tanpa beban dan tersenyum puas seolah-olah aku hp second yang bisa dijual dan pindah tangan begitu saja.
"Onni mau Oppa nikahin Onni. Secepatnya !" aku menegaskan.
"Iya Oppa pasti nikahin Onni. Tapi ga bisa secepatnya. Onni kan masih kuliah. Nanti kalau Onni udah lulus cari kerja Oppa juga kerja baru kita bisa nikah." Aku merasa kata-katanya itu hanya sekedar hiburan yang sewaktu-waktu bisa saja dia cuci tangan lalu pergi meninggalkanku.
"Tuh kan Oppa mau lepas tanggung jawab. Kalau Onni hamil gimana?"
"Iya Onni Oppa bakal nikahin Onni secepatnya kalau Onni hamil"
"Ga bisa gitu dong. Oppa ini mau enaknya aja ya. Abis manis sepah dibuang gitu?" Aku tidak terima dengan omongannya, aku terus saja mengejarnya dengan tuntutan untuk menikahiku.
Pertengkaran hebat pun terjadi. Saat mulai tenang, perang dingin berlanjut. Dia bersiap-siap pergi. Katanya keponakannya sakit, dia di suruh kakaknya segera datang. Sebelum pergi aku dipaksa makan. Ibunya sengaja membelikan kami batagor. Dia pikir aku punya selera makan dalam keadaan depresi seperti ini? Makanan yang sudah masuk pun aku muntahkan lagi. Perutku mual, badanku kembali demam, kali ini migren ikut-ikutan nimbrung. Aku tidak dapat bergerak dengan normal. Jalanku oleng, juga karena Miss V ku terasa amat perih saat paha harus begesekkan. Aku berusaha jalan senormal mungkin biar tidak ada yang curiga. Tapi tampang pucatku sepertinya tidak dapat disembunyikan walaupun menggunakan make up tebal.
***

Oppa mengantarku sampai pemberhentian angkot di pertigaan Contong, Cimahi. Seharusnya dia mengantarku sampai kosan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu di jalan? Mana tanggung jawabnya? Terpikir untuk menjeratnya secara hukum atas tindak pemerkosaan dan penganiayaan. Tapi aku tak tega, lagi pula posisiku lemah. Bisa-bisa aku yang akan dipersalahkan karena TKP di rumahnya artinya aku sendiri yang mencari masalah. Ah...Aku benci sekali kenapa perempuan sangat lemah. Kenapa aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut keadilan?
"Denger, Oppa sayang banget sama Onni. Onni jangan mikir yang macem-macem ya. Oppa bakal nikahin Onni. Percaya sama Oppa." Aku diam saja sampai angkot datang. Oppa mengecup keningku. Saat kakiku menaiki tangga angkot terpeleset kepalaku rasanya berputar-putar, untung Oppa menangkapku.
"Onni jangan lupa makan ama minum obat. Inget Oppa sayang sama Onni" Oppa melempar ciuman jauh. Aku mengacuhkannya. Aku menahan air mata yang hampir penuh dibendung di kantong mata, bersiap terjun seperti water fall. Sementara mual yang kurasakan tak bisa lagi ku tahan. Akhirnya jackpot. Untung sopir itu sangat baik. Membelikan aku tolak angin, dia pula yang membersihkan muntahanku plus mengratiskan ongkos. Aku ini sungguh merepotkan dan sangat berhutang budi padanya. Masih untung aku tidak pingsan.
***
Sang Gadis berduka dalam peraduannya karena mahkota yang jadi simbol kehormatannya telah direngut. Maka tak kan ada lagi mengganggapnya putri. Tanpa mahkota, gadis itu hanyalah rakyat jelata. Mustahil waktu berjalan mundur mengembalikan barang yang sudah pecah belah. Itulah aku. Barang second yang hanya ditemukan di pasar loak. Mana ada orang yang mau sama barang bekas? Umumnya laki-laki menginginkan perempuan yang orisinil, walaupun dirinya belum tentu perjaka. Perempuan mana tahu yang mana lelaki perjaka. Sedangkan perempuan begitu mudah ditebak, apalagi kalau sampai hamil.
Perasaan depresi yang dari kemarin aku tahan lenyap seketika. Aku menangis menjadi-jadi di kamar mandi. Aku tak percaya diperkosa pacarku sendiri. Aku masih bisa merasakan perih di Miss V dan selangkanganku yang ngilu. Seluruh tubuhku terasa pegal dan lemas. Memar, bekas luka, dan bekas gigitannya disekujur tubuhku ini tidak ada artinya, bisa sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Tapi keperawanan dan sakit hati itu mungkin tak bisa kembali. Apa gunanya lagi aku hidup?
Seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Entah kebetulan mau ke kamar mandi atau karena mendengar tangisanku. Aku urung bunuh diri. Ternyata teh Rita yang mengetuk pintu. Dia mandi setelah pulang dinas. Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggigil karena terlalu lama di kamar mandi. Setelah memakai baju aku ke kamar teh Rita. Pikirku tak baik membiarkan pikiranku liar seorang diri, takut setan mengajakku ke jalan yang sesat. Aku langsung meraung-raung dalam dekapan Teh Rita yang tengah bersiap tidur. Semua gundah hati yang ku pendam sendiri dari kemarin tak terbendung lagi. Tangisanku pelan tapi terasa sangat perih dan menyayat hati. Aku sesegukan tak dapat berkata-apa-apa sampai menemukan ketenanganku dalam pelukan hangat teh Rita. Aku menceritakan semuanya. Tampak raut kekesalan di wajahnya.
Aku bisa tenang setelah teh Rita yang kebetulan perawat ini memberikan penjelasan bahwa tidak semua perempuan mengalami pendarahan waktu melakukan seks pertama kali. Selaput dara memang tipis, jadi pasti robek kalau dimasuki penis tapi belum tentu berdarah tergantung bentuk (biasanya berbentuk sabit), ketebalan, dan elastisitas selaput dara perempuan itu sendiri. Selaput dara atau hymen adalah lipatan membran yang menutup sebagian luar vagina yang akan elastis bila memasuki usia pubertas. Untuk memastikan keperawanan tidak bisa diliat dengan kasat mata. Dokter punya alat untuk melihat seberapa besar robekan tersebut. Jadi hanya dokter, perempuan itu sendiri dan Tuhan yang tahu dirinya perawan atau bukan. Katanya cuma 43% laporan yang masuk kalau perempuan itu berdarah saat seks pertama kali. Teh Rita juga memastikan aku tidak akan hamil karena kami melakukannya bukan pada waktu masa suburku.
Depresi.
Aku juga mengalaminya, sama seperti korban perkosaan lainnya. Hanya saja aku cepat pulih. Itu karena A Fei dan Teh Rita selalu mendampingiku.Aku tak pernah lepas dari pengawasan mereka berdua. Mereka menghibur dan mensuportku. Mereka sangat menghormati keputusanku walau sama sekali tidak rela, takut aku terluka lagi.
Oppa....
Onni selalu dihantui rasa takut bila di dekat Oppa
Seks hanyalah bumbunya nafsu yang dapat menyedapkan cinta
Tapi bukan cinta yang hakiki
Bagiku keperawanan sakral hukumnya untuk dipertahankan
Sampai ijab qabul yang menyatukan cinta kita terucap
Mungkin Onni bodoh mau memaafkan Oppa
Meloloskan hubungan kita dari kata pisah
Cinta ini terlalu kuat untuk mempertahankan Oppa
Ingin hidup slamanya bersama Oppa
Onni bahagia bersama Oppa
Jadi penuhi janji Oppa untuk menikahi Onni
Bertanggung jawab dalam kesakralan pernikahan
Maka yakinlah semua akan terasa lebih indah
Onni akan menunggu...menunggu...dan menuggu......
Gadis yang ternoda
Yang terbaik adalah mengunci rapat kebenaran dalam kotak masa lalu
Maka aku bisa mengatakan...
Aku perawan....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun