Mohon tunggu...
queendycahya
queendycahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi mengumpulkan informasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Indonesia Bebas Korupsi: Mimpi atau Kenyataan?

10 Desember 2024   17:15 Diperbarui: 10 Desember 2024   17:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

2. Kekuasaan yang Terpusat dan Tidak Terbuka

Korupsi juga sering berkembang di sistem yang memberi terlalu banyak kekuasaan kepada individu atau kelompok tertentu. Ketika kekuasaan sangat terkonsentrasi di tangan beberapa orang atau lembaga, mereka dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok mereka. Kekuasaan yang terpusat ini juga mempersulit kontrol dan pengawasan eksternal, karena pihak yang memegang kekuasaan dapat mengontrol informasi dan proses pengambilan keputusan.

Di Indonesia, contoh dari sistem yang cenderung terpusat adalah pemerintahan di masa Orde Baru, di mana kekuasaan Presiden Soeharto sangat dominan. Pada masa itu, pengawasan terhadap tindakan pejabat pemerintah sangat minim, dan banyak kebijakan yang dibuat berdasarkan keputusan satu orang atau kelompok kecil. Ini membuka peluang besar bagi praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintah yang merasa aman karena tidak ada mekanisme yang efektif untuk menuntut pertanggungjawaban mereka.

Meskipun saat ini Indonesia lebih terbuka dalam sistem pemerintahannya, masih ada banyak kekuasaan yang terpusat di tingkat tertentu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketika sistem pengawasan yang efektif tidak ada, maka individu yang memegang kekuasaan cenderung lebih mudah terjerumus dalam praktik korupsi.

3. Budaya Patronase dan Nepotisme

Budaya patronase dan nepotisme juga berperan besar dalam memfasilitasi korupsi. Dalam banyak kasus, pejabat publik memberikan proyek, jabatan, atau keuntungan kepada orang-orang yang memiliki hubungan pribadi atau politik dengannya, daripada kepada mereka yang memiliki kompetensi terbaik. Hal ini tidak hanya merugikan prinsip keadilan dan meritokrasi, tetapi juga memperbesar peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Di Indonesia, fenomena "kongkalikong" atau hubungan saling menguntungkan antara pejabat dan pengusaha, misalnya, sangat kuat. Pengusaha yang mendukung atau memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah akan mendapatkan kontrak-kontrak yang tidak melalui prosedur yang transparan. Sebaliknya, pejabat yang mendapatkan keuntungan pribadi dari hubungan ini juga merasa tidak ada yang akan mengawasi tindakan mereka karena mereka telah membangun jaringan kekuasaan yang saling mendukung.

Kultur patronase ini memperburuk praktik korupsi karena keputusan-keputusan yang dibuat tidak didasarkan pada kepentingan umum atau transparansi, melainkan pada hubungan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu. Ketika seseorang diangkat karena kedekatannya dengan kekuasaan, alih-alih kompetensinya, maka sistem akan lebih rentan terhadap praktik korupsi.

4. Kelemahan Sistem Pengawasan dan Penegakan Hukum

Sistem yang memungkinkan praktik korupsi tumbuh subur juga dipengaruhi oleh kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Di banyak negara, termasuk Indonesia, meskipun sudah ada lembaga yang berfungsi untuk mengawasi dan menindak praktik korupsi (seperti KPK di Indonesia), namun pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang tidak konsisten sering kali menjadi masalah besar.

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara atau mereka yang memiliki koneksi kuat sering kali sulit untuk diungkap karena adanya hambatan dalam sistem hukum, misalnya proses hukum yang lambat, birokrasi yang rumit, atau bahkan adanya intervensi politik yang menghalangi proses peradilan. Kelemahan dalam aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim yang terkadang terlibat dalam praktik korupsi atau menerima tekanan dari pihak yang berkuasa, membuat tindak pidana korupsi sulit untuk dihukum dengan tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun