Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah acara berita ditelevisi yang menayangkan peristiwa tenggelamnya sebuah kapal fery di perairan Kapuas yang merenggut beberapa korban jiwa. Saya begitu miris, ketika diberitakan bahwa ada korban jiwa yaitu seorang bapak dan anaknya yang masih balita. Mereka ditemukan sudah meninggal dalam keadaan berpelukan. Kemudian masih tentang berita tenggelamnya kapal motor di perairan Labuhan Batu, Sumatera Utara yang juga memakan korban jiwa. Setelah peristiwa tersebut, banyak pihak yang mempertanyakan tentang standar keamanan kapal yang seharusnya sudah dipenuhi sedari awal beroperasi.
Berkaca pada peristiwa tenggelamnya kapal di perairan Kapuas dan Labuhan Batu, saya jadi teringat beberapa hari yang lalu saya menghabiskan liburan lebaran di kota Balikpapan. Saya bekerja di sebuah perusahaan perkebunan yang lokasinya ada di Kalimantan Timur. Minimal sekali dalam sebulan, saya menghabiskan akhir pekan di Balikpapan yang memang jaraknya lebih dekat daripada saya harus ke Samarinda yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai ke Balikpapan, saya harus menempuh perjalanan darat 2 – 3 jam menggunakan sepeda motor, setelahnya kami akan tiba di sebuah pelabuhan yakni Pelabuhan Penajam. Selanjutnya kami harus menyebrangi teluk Balikpapan. Ada tiga moda transportasi yang tersedia, yaitu menggunakan speedboat, fery, dan kapal motor yang biasa disebut penduduk lokal dengan istilah “klotok”. Awal mulanya saya lebih sering menggunakan speedboat, karena waktu tempuhnya yang cenderung lebih cepat daripada dua jenis transportasi lainnya. Saya malah tidak pernah menggunakan fery, selain jarak tempuhnya yang lama, antriannya juga sangat panjang, terutama di akhir pekan, karena memang fery lebih banyak digunakan oleh mobil-mobil atau angkutan barang lainnya yang ingin menyebrang. Namun beberapa waktu belakangan, saya lebih sering menggunakan klotok apabila ingin menyebrang ke Balikpapan. Terutama bila sedang tidak terburu-buru, saya malah lebih menikmati sensasi menyebrangi teluk Balikpapan menggunakan klotok, ditambah lagi ongkosnya yang tidak begitu mahal.
Tetapi beberapa hari yang lalu, saya membuat sebuah keputusan untuk tidak lagi memakai jasa klotok. Sabtu sore dalam masa libur lebaran, saya dengan beberapa rekan kerja memutuskan untuk menghabiskan beberapa hari libur lebaran di Balikpapan. Seperti biasa, kami menggunakan sepeda motor untuk sampai ke Pelabuhan Penajam. Setelah itu kami memutuskan untuk menggunakan klotok untuk sampai ke Balikpapan. Toh kami juga sedang terburu-buru. Berangkat dari Pelabuhan semuanya masih aman terkendali, namun di tengah perjalanan kapal yang saya tumpangi terombang-ambing oleh ombak yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Beberapa kali kapal benar-benar oleng dan moment itu benar-benar membuat saya takut dan hampir menangis. Jujur, saat itu saya pasrah. Pikiran saya sudah tertuju pada hal-hal buruk yang akan terjadi berikutnya. Saya tidak bisa berenang, saya ketakutan, hanya satu yang saya ingat yaitu Tuhan. Disaat-saat genting biasanya memang disitulah kita begitu ingat Tuhan, setidaknya hal itulah yang saya sadari. Saya berdoa sepanjang sisa perjalanan. Karena saya seorang kristiani, saya menyatukan kedua telapak tangan saya begitu erat, saya memandang ke ombak sambil berdoa. Saya pandangi penumpang kapal yang lain, mereka begitu tenang, akh andai saja saya bisa setenang mereka. Bersyukur kapal sampai di seberang dengan selamat. Ternyata rekan-rekan saya yang lain juga merasakan hal yang sama, mereka juga pasrah. Sebagian berkesimpulan mungkin karena ketika kami menyebrang hari sudah sore, laut akan pasang dan mungkin itulah yang menyebabkan ombak tidak tenang seperti biasanya.
Setelah menghabiskan libur lebaran selama 3 hari di Balikpapan, saya dan rekan-rekan kembali pulang. Seperti biasa sesampainya di Pelabuhan kami harus kembali menyebrang. Saat itu kami memutuskan untuk kembali menggunakan klotok. Kami berani karena kami berpikir hari itu masih siang, jadi mungkin ombak masih tenang. Namun ternyata kami salah. Di tengah perjalanan, kapal motor kembali diombang-ambingkan ombak. Kali ini malah lebih menegangkan karena beberapa kali mesin kapal motor hampir saja mati. Si nahkoda juga tampak kesulitan mengendalikan kapal. Saya ingat ada tiga kali si nahkoda membelokkan kapal untuk menghindari ombak. Beberapa penumpang juga sempat melirik si nahkoda dengan raut muka yang cemas, sama cemasnya dengan saya saat itu yang kembali hanya bisa berserah pada Yang Maha Kuasa. Saya melihat di sekeliling kapan yang ukurannya tak terlalu besar, hanya ada 1 pelampung yang tersedia. Padahal kapal ini dipenuhi beberapa orang penumpang dewasa dan anak-anak. Kapal ini juga mengangkut enam sepeda motor. Namun sekali lagi, berkat kemurahan Yang Kuasa kapal sampai di seberang dengan selamat. Setibanya di rumah saya menceritakan kejadian yang kami alami pada seorang karyawan yang merupakanpenduduk asli. Beliau mengatakan, di bulan Agustus ombak memang sedang tinggi tidak seperti biasanya. Namun tetap saja, saya ampun dan mungkin beberapa bulan ke depan tidak akan mengunjungi Balikpapan untuk sementara waktu. Hehehe.
Belajar dari peristiwa yang saya alami sendiri, saya pikir sudah waktunya pemerintah daerah setempat menegaskan kembali mengenai standar keselamatan yang harus diperhatikan oleh para pengelola transportasi, khususnya klotok yang banyak sekali penggunanya. Setidaknya pengelola klotok memberlakukan jumlah penumpang maksimal dalam batas aman manusia juga barang lainnya yang boleh menumpangi satu klotok, sehingga tidak terjadi overload. Selain itu pengelola juga sudah seharusnya menyediakan pelampung, guna mengantisipasi hal-hal terburuk yang mungkin bisa saja terjadi. Jangan sampai kejadian kapal tenggelam di Kapuas dan Labuhan Batu terjadi di teluk Balikpapan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H