Kebanyakan kampung, memang asri. Hijau. Dikelilingi banyak pepohonan, serta sumber air. Bahkan, untuk mencari oksigen pun tidak lah sulit. Saat ini, hijau itu hanya dalam ingatan. Tak sedikit gedung-gedung yang berdiri menjulang di tanah yang 'katanya' subur ini. Dulu, jika dikilas balik, Jakarta hanyalah sebuah kampung. Jakarta dulu belum seriuh ini, oh ya, aku lupa menyebutkan kampung ku adalah kota ini, ralat, lebih tepatnya Jakarta. Dalam ingatan, kota ini dulu hijau. Walaupun memang tidak sehijau kampung teman-teman sekalian.
Dalam ingatan saya pula, kali Ciliwung dulu menjadi salah satu sumber penghidupan. Dan saat ini semua itu hanya ingatan. Kampung selalu identik dengan kerinduan, tapi tidak dengan ku, setiap hari pun aku berada di kampung ku. Unik? Memang. Tapi ini lah kampung ku, beda dengan Ayah serta Ibu.
Lagi-lagi hijau, haruskah ku beri gedung-gedung pencakar langit itu ku warnai dengan hijau? Agar mengingatkan ku pada kampung yang dulu? Identik dengan bio, hijau berasal dari klorofil. Ah, ya. Klorofil itu kini tak banyak, ditemui di tengah-tengah kota seringnya. Kami menyebutnya sebagai paru-paru kota.
Jakarta, kota yang berkemajuan dan berkemunduran. Aku sampai bingung bagaimana bisa menyebutnya 'kampung'. Jika sudah begini, bagiku Jakarta hanyalah sebuah kota, yang setiap orangnya memaknai dengan beda. Hampir sama dengan seorang penulis yang memiliki interpretasi mengenai tulisannya, tapi jangan lupakan juga bahwa pembaca memiliki interpretasi atas apa yang dilihatnya.
Ah, sepertinya hijau itu memang hanya hidup dalam ingatan. Ya, Jakarta hijau hanya hidup diingatanku tidak hidup diingatan orang lain. Semoga, lahan hijau di Ibukota bisa berfungsi kembali. Setidaknya itu bisa menyumbangkan oksigen untuk kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H