Qodarian Pramukanto
Bencana alam yang terkait dengan sistem sungai selalu terjadi secara periodik dengan skala dan intensitas yang berbeda. Berbagai indikasi yang merefleksikan kegagalan dalam pengelolaan sumberdaya ini dapat dilihat melalui debit aliran yang sangat fluktuatif, beban sedimen sungai yang meningkat, serta rusaknya kelestarian sumber-sumber air. Fakta dan penyebab terjadinya bencana ini sangat sering kita dapatkan dalam pemberitaan di media masa, mulai dari banjir langganan di beberapa wilayah perkotaan, akibat besarnya limpasan permukaan (runoff) di hulu yang menyebabkan luapan sungai; timbulnya genangan dimana-mana akibat buruknya sanitasi dan sistem drainase yang menyebabkan reaksi berantai penyebaran vektor penyakit seperti nyamuk Dengue; sedimentasi sungai pada perairan hutan mangrove kawasan pesisir dan pendangkalan waduk akibat erosi di wilayah hulu; sampai berbagai peristiwa polusi air, yang berakibat gatal-gatal, matinya ikan di hilir yang tercemar limbah beracun, serta banyak fakta lain.
Untuk mengatasi bencana tersebut telah dilakukan berbagai upaya, progam serta curahan dana yang tidak sedikit. Namun musibah yang kerap menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa selalu berulang kembali. Mengapa ? Upaya pemecahan masalah selalu dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teknis semata, padahal akar masalahnya lebih pada masalah pemahaman konsep daerah aliran sungai (DAS) sebagai suatu sistem ekologi, kelembagaan, serta pendekatan dalam pengelolaan yang masih bersifat parsial, sektoral dan terbatas dalam lingkup wewenang administratif.
Bila diterlusuri pangkal rangkaian bencana tersebut sebenarnya terletak pada faktor manusia (anthropogenic factors). Akar bencana tersebut bukan pada perubahan penggunaan lahan, berkurangnya fungsi resapan, meningkatnya limpasan permukaan atau tercemarnya perairan namun pada bencana tercemarnya gaya hidup yang menurut Wilson (1995) disebut “life style pollution“. Raibnya kearifan lokal, sirnanya pemahaman dan kesadaran atas hubungan mendasar antara manusia dan alam, serta mengabaikan peran kita sebagai bagian dari belahan bumi dimana kita berpijak, bermuara pada menuai bencana tidak saja di hilir tapi juga di hulu. Sehingga secara sadar atau tidak sebenarnya kita sengaja melakukan bunuh diri ekologis” (ecological suicide).
Konsep dan Struktur Bioregional DAS
Untuk mengendalikan bencana di atas diperlukan cara baru dalam memandang belahan bumi dimana kita berada beserta bentuk hubungan antara kita dengan tapak tersebut. Bila diamati lingkungan dimana kita tinggal, kemudian dirunut akan sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kita berada di satu wilayah fisiografis yang dinamakan daerah aliran sungai (DAS). Wilayah ini merupakan bentang alam yang dibatasi oleh punggung dan puncak bukit yang menangkap, menampung dan mengalirkan air hujan melalui suatu titik aliran tertentu (outlet). Untuk membutikannya, dapat ditelusuri salah satu jaringan drainase, yaitu infrastruktur limbah cair rumah tangga. Mulai dari air bersih yang gunakan rumah tangga, akan menghasilkan limbah cair yang dialirkan melalui saluran drainase dari yang terkecil, tersier, sekunder, primer dan seterusnya akan masuk ke sungai dan bermuara ke laut.
Inilah yang dinamakan batas bioregional suatu DAS, tempat dimana kita dan makhluk hidup lainnya berada. Wilayah tersebut merupakan batas alam yang tidak ditentukan oleh batas buatan manusia (artificial boundaries), namun sering kali melintasi batas administratif, batas hukum (jurisdiction), batas sektoral, batas pelayanan (service), dan batas lainnya. Bioregion yang berasal dari kata bio (=hidup) dan region (=territorial), merupakan tempat hidup (life place) yaitu suatu lingkungan khas dimana batas-batasnya lebih ditentukan oleh tatanan alam yang mampu mendukung keunikan aktivitas komunitas biotik di dalamnya (Thayer, 2003). Karakteristik khas yang dimiliki dalam suatu bioregion ini sangat kuat dan keutuhannya tidak bisa dipisahkan (inescapable).
Berbeda dengan batas yang didefinisikan oleh manusia, tatanan spasial alami yang ada dalam bioregional DAS mempunyai cara tersendiri dalam menentukan dan membangun domainnya. Berbagai faktor, seperti iklim, bentuk lahan, ketinggian (elevation), tanah, vegetasi masing-masing berkontribusi dalam membangun ”rumah” bagi komunitas biotik, termasuk manusia. Beberapa pola spasial yang khas dapat dikenali (recognized) pada tempat-tempat yang menjadi habitat vegetasi asli, habitat satwa termasuk yang menjadi domain suatu komunitas masyarakat tertentu. Sebagai contoh, pohon kelapa hanya tumbuh baik di dataran rendah dekat pantai, sedangkan habitat jenis-jenis cemara konifer hanya tumbuh pada pegunungan dataran tinggi di atas 1500 meter dari permukaan laut. Kekhasan pola spasial pada domain komunitas biotik tersebut merupakan bentuk resonansi dengan lingkungannya.
Resonansi yang muncul atas perilaku manusia terhadap DAS sebagai tempat hidupnya bisa dianalogikan dalam bentuk indikasi sistem aliran darah dalam tubuh manusia. Gangguan yang terjadi pada tubuh manusia sebagai “unit bioregion”, misalnya pada jantung sebagai “daerah hulu” atau bagian lain dari sistem pembuluh darah sebagai “jaringan drainase“ berakibat terganggunya sistem kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sehingga vitalitas suatu bioregion beserta sistem kehidupan di dalamnya merupakan resultan atas kinerja infrastruktur sistem tata air tersebut.
Struktur bioregion suatu DAS dapat dijelaskan melalui konsep watershed conciousness (Parson, 1985), yaitu suatu kesadaran akan kehadiran DAS sebagai miniatur biosfer dimana terdapat kaitan langsung atas peristiwa yang terjadi di daerah hulu dan yang terjadi di daerah hilir. Kesadaran ini mengajarkan kita untuk memposisikan kehadiran kita di suatu tempat sebagai bagian komunitas biotik yang ada. Posisi sebagai warga asli komunitas biotik berarti menyadari peran kita dalam komunitas dan peduli terhadap hubungan ekologis dalam proses-proses yang ada di dalamnya.
Kehadiran manusia dengan aktivitas eksploitatif dalam suatu wilayah bioregion DAS dapat berakibat munculnya fenomena penyimpangan proses-proses alam dan tatanan spasial. Bentuk aksi gangguan di daerah hulu, seperti penurunan kemampuan intersepsi oleh tajuk dan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi) akibat penebangan hutan atau peningkatan limpasan (runoff) oleh pembukaan lahan berakibat terbentuknya proses reaksi di tempat lain. Di hilir, sebagai daerah pengaruh, reaksi tersebut bisa berwujud sedimentasi, banjir, serta rangkaian proses-proses turunan, termasuk pencemaran dan mewabahnya vektor penyakit.
Hal yang perlu difahami dari kekhasan proses-proses yang ada dibalik fenomena tersebut adalah awal dari munculnya sebab sampai timbulnya akibat seringkali sulit diamati langsung, kecuali melalui serangkaian prosedur pengukuran atau pengamatan. Adapun yang terlihat kasat mata hanyalah resultan dari serangkai proses yang menyertai pembentukan pola (pattern) fenomena khas. Kekhasan fenomena inilah yang secara spasial dikenali sebagai daerah perubahan penggunaan lahan, daerah gundul, daerah dataran banjir, daerah endapan atau daerah longsor. Namun sebaliknya suatu fenomena pola spatial yang sama belum tentu dihasilkan oleh proses-proses yang sama. Sehingga bentuk hubungan searah antara proses dan pola spatial yang terbentuk perlu difahami.
Pengelolaan Bioregional DAS
Berdasarkan uraian di atas setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pendekatan pengelolaan DAS. Pertama, batas bioregion yang mencakup domain proses-proses dan pola spasial dalam suatu DAS secara simultan harus menjadi acuan dalam merumuskan program pengelolaan (baca: penanganan masalah). Perencanaan pengelolaan pada tiap-tiap wilayah bioregion harus relevan dengan karakteristik yang ada.
Pendekatan yang besifat partial, sektoral maupun terbatas dalam lingkup wewenang administratif dan politis, hanya bersifat fragmental dan tidak mengatasi masalah yang secara tuntas. Pendekatan parsial, yang hanya mengandalkan delineasi pola spasial, tanpa menyertakan secara simultan domain proses-proses yang ada dibaliknya, tidaklah efektif. Sebab batas alam dari suatu proses dapat merentang jauh dari tempat munculnya suatu fenomena yang ditemukan. Banjir CiTarum di Bandung tidak semata-mata disebabkan oleh proses yang terjadi di tempat yang sama, namun merupakan akumulasi rangkaian proses yang diawali jauh di wilayah hulunya di Gunung Wayang.
Pendekatan yang berorientasi sektoral, sering kali diwarnai “ego sektoral” sehingga tidak dapat berjalan secara efisien dan efektif. Antara kementrian teknis dengan dinas teknis terkait di bawah pemerintah daerah sering tidak sinkron. Orientasi pembangunan sektoral kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya dan biasanya kurang memperhatikan sektor lainnya. Demikian pula halnya dalam penanganan permasalahan DAS yang me-lintasbatas-i kewenangan wilayah administrasif menghendaki adanya kerjasama terpadu antar “penguasa” wilayah administatif terkait.
Untuk kasus DAS CiTarum dapat dibentukan semacam Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan DAS yang menjadi wadah untuk menghimpun dan mempunyai kewenangan mengelola. Pokja ini beranggotakan unsur pemerintah daerah Pemprov, Kota dan Kabupaten, unsur sektoral, masyarakat, perguruan tinggi, serta steakholder terkait dimana masing-masing komponen mempunyai kedudukan yang sama (co-equality) dan berperanan secara sinergis.
Kedua, atribut pengelolaan suatu DAS hendaknya tidak hanya mengacu pada unit analisis spasial (batas-batas wilayah biofisik) semata, sebab domain atribut tersebut seringkali melampaui perspektif nilai atau aktivitas yang dapat dikenali. Oleh karena itu ukuran kualitas pengelolaan dapat disandarkan pada prinsip “kecocokan” (congruence), yaitu konsistensi antara karakteristik biofisik (dimensi spasial) dengan atribut aktivitas (dimensi aktivitas komunitas) pada unit bioregion yang bersangkutan. Prinsip ”kecocokan” ini dapat dilihat pada perspektif pelaku. Perspektif pelaku tersebut hendaknya selalu berada dalam koridor nilai dan aktivitas dalam memandang batas wilayah yang sama.
Ketiga, pentingnya pertimbangan atas adanya bentuk hubungan antara alam dan budaya masyarakat yang ada. Pemahaman terhadap interaksi yang terjadi atas kehadiran komunitas di suatu wilayah bioregion yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi lingkungannya adalah penting. Interaksi tersebut membentuk resonansi yang dibangun oleh keterhimpitan (coincidence) dua wilayah yang menurut Berg dan Dasmann (1977) disebut sebagai bentang alam (terrain) geografis dan “bentang alam” kesadaran (consciousness). Resonansi khas yang terbentuk akan membedakan komunitas tersebut dengan komunitas lainnya. Pada skala bioregional tersebut keterhimpitan dua wilayah “bentang alam” di atas mengekspresikan domain budaya masyarakat yang bersangkutan. Sehingga kebijakan dalam pengelolaan DAS perlu menyertakan domain-domain masyarakat yang ada di dalamnya. Semoga konsep bioregional ini bermanfaat dan dapat menjadi alternatif pendekatan dalam penyusunan program pengelolaan daerah aliran sungai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H