Dri penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat yang sering digunakan oleh masyarakat umum adalah definisi informal, seperti yang terlihat pada pernyataan pebisnis, tentara, dan politisi. Pernyataan ketiga tergolong dalam falsafah tidak resmi yaitu kepercayaan menerima tanpa pemikiran yang serius
Kalimat pada poin ke (3) merupakan ungkapan falsafat yang mencerminkan arti menyeluruh. Ini dikarenakan klaim bahwa "Pancasila adalah landasan filosofis bangsa yang memengaruhi semua regulasi aturan yang aktif" menunjukkan sifat comprehensive, yakni semua peraturan di Indonesia harus berlandaskan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila menjadi komponen yang bersandar dan utama karena menjadi dasar dari semua prosedur dalam pelaksanaan bangsa. Pada saat satu prosedur memiliki sifat bersandar dan utama, oleh karena itu prosedur disebut dengan sistem filosofis.
Definisi falsafah pada poin ke (2) yang menyebutkan peristiwa evaluasi kritis pada keyakinan dan perilaku yang dihormati, arahnya lebih condong terhadap makna reflektif. Ini mencakup sikap terbuka, toleran, dan kesediaan mengetahui hal yang salah dari semua titik perspektif tanpa prediksi (Titus, Smith dan Nolan, 1984:11-12). Pada konteks falsafah bisa membentuk alat untuk mempertimbangkan lebih luas dibandingkan hanya mengacu pada opini umum yang tersebar di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, keyakinan masyarakat zaman dulu bahwa "Nyi Roro Kidul yang menenggelamkan seseorang di pantai Parangtritis sebagai tumbal dan menjadikannya sebagai prajurit, dalam falsafah disebut dengan angan-angan atau hanya cerita fiktif belaka. Padahal, lahirnya filsafat dari zaman Yunani kuno lebih memberi respon pada angan-angan atau cerita fiktif belaka tersebut. Seorang filsuf Pramcis pada abad ke-18 mengemukakan Adagium "Tahayyul (angan-angan cerita fiktif belaka) membakar dunia, falsafah mematikannya, (Magee, 2008:i).
Arti falsafah pada poin ke (4) yang menjelaskan tentang analisis logis bahasa dengan pengertian makna serta konsep, merujuk pada usaha pengelompokan, yaitu menjelaskan maksud istilah dan penggunaan bahasa di seluruh aspek kehidupan (Titus, Smith dan Nolan, 1984:13). Pada hal ini, falsafah dijadikan alat untuk berpikir yang lurus dalam mengetahui arti suatu pernyataan.
Contohnya, ungkapan Voltaire yang mengatakan, "Manusia menghabiskan setengah kehidupnya dengan mencari uang, sementara setengah kehidupannya digunakan untuk menukarkan uang demi mendapatkan ulang kesehatannya"(Hardiman, 2000:110). Pernyataan atas ungkapan Voltaire ini merujuk pada tindakan sebagain besar masyarakat modern sebenarnya tidak berguna. Ini terjadi karena tujuan mereka mengumpulkan uang demi memaksakan usaha dan ide, yang mana beresiko terhadap daya tahan tubuh. Ironisnya, tarif kesehatan yang tinggi akhirnya menghabiskan ulang penghasilan yang telah di dapat.
Definisi falsafah pada poin ke (5) menyebutkan kesimpulan masalah terus terang menjadi pandangan manusia dan banyak dicari jawabannya oleh para filsuf, yang mana lebih mengarah pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas tentang perpanjangan manusia (Titus, Smith dan Nolan, 1984:13). Contohnya, apa itu ketepatan? Apa itu kesetaraan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah menguras beberapa durasi para filsuf, tergolong para filsuf di Indonesia.
Pancasila dianggap sebagai cara praktik falsafah dengan beberapa argumen. Pertama, dalam pertemuan BPUPKI pada 1 Juni 1945, Ir.Soekarno memberikan pidato yang berjudul "Philosofische Grondslag dari Indonesia Merdeka".
Menurut Noor Bakry, Pancasila sebagai metode falsafah adalah hasil kontemplasi secara luas para pemimpin Indonesia. Awalnya, kontemplasi ini bertujuan untuk merancang dan menyusun fondasi bangsa yang akan merdeka. Hasil pertimbangan ini diperoleh dari menyelesaikan kriteria pemikiran alsafah, antara lain:
1. Koheren: Bagian-bagian Pancasila saling melengkapi dan tidak bertentangan.
2. Komprehensif: Pancasila mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
3. Fundamental: Pancasila menyentuh inti terdalam hubungan manusia dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.