Menjadi generasi yang pintar tentu menjadi keinginan setiap anak pada umumnya serta orangtua pada khususnya. Lumayan lah buat dibanggakan. Namun sebenarnya, apa sih standarisasi kata “pintar” sampai seseorang bisa dikategorikan masuk ke dalamnya?
Setelah menjalani kehidupan formal yang menurut saya cukup panjang, hingga kini telah menduduki bangku kuliah. Rasanya saya merasakan efek pintar di sekitar. saya masih ingat ketika pertama kali menapaki bangku kelas 1 Sekolah dasar, begitu menyenangkan ketika saya harus belajar membaca, mulai menulis, tanpa mengaharapkan imbalan apapun dari orangtua, dan saya masih ingat ketika ibu saya berkata: “nak, jika kamu ingin lancar membaca, kamu harus belajar mengeja setiap tulisan yang kamu temukan”. Sejak saat itu, ketika sedang bermain bersama teman, ketika saya menemukan potongan kecil kertas koran, saya akan berhenti sejenak, memungutnya lalu membacanya. Tapi saya juga ingat, saat itu saya tak mengejar kata pintar, saya hanya ingin melakukan yang saya mau.
Saya juga ingat ketika penerimaan raport (hasil belajar selama satu caturwulan) untuk pertama kalinya. Saya heran kenapa nama saya dipanggil oleh kepala sekolah, serentak dengan teriakan satu sekolahan yang menyuruh saya untuk maju menerima hadiah. Ternyata saya memperoleh juara III. Tapi saya masih heran, kenapa saya mendapatkanya. Kenapa harus saya? Sampai di rumah pun, ayah dan ibu terlihat bahagia, lalu menanyakan, ingin hadiah apa saya. Dalam pemikiran saya saat itu adalah, penerimaan raport seperti ulang tahun, jadi saya akan mendapatkan permintaan yang saya inginkan, tanpa saya mengerti, bahwa sebenarnya, itu adalah hadiah dari proses yang saya lewati selama empat bulan pertama saya di sekolah.
Tahun-tahun berikutnya, masih dengan peringkat saya yang selalu di tiga besar. Saya menjadi heran, kenapa setelah itu saya dijadikan patokan oleh teman-teman saya, ketika ada PR, teman-teman ke rumah saya dan bertanya kepada saya, atau ketika saya tidak membuat PR karena lupa, teman-teman akan berkata “qori aja belum kok, yaudah aman”. Nah loh, siapa saya?. Mulai menjadi orang yang dipercaya oleh guru. Mendapatkan kesempatan mengikuti lomba-lomba baik akademik maupun non akademik. Begitu menyenangkan ternyata ketika saya mendapat predikat pintar.
Menjajaki dunia pendidikan yang lebih luas, saya merasa bahwa saya bukan siapa-siapa, ada banyak orang pintar disana, mungkin karena sudah terbiasa di doktrin untuk menjadi pimnntar, maka membosankan ketika saya hanya disamakan dengan yang lain. Sejak saat itu saya tak ingin menjadi pintar, karena akan terasa biasa saja. Saya justru mencari bidang lain di luar akademik yang justru bisa membedakan saya dengan yang lain, tanpa mengesampingkan akademik. Saya menyadari, bahwa tak seharusnya orang pintar dinilai dari peringkat berapa ia di kelasnya, atau jurusan apa yang mampu ia ambil saat perkuliahan. Karena menurut saya, ada banyak faktor yang mempengaruhi pintar. Jumlah saingan dalam satu kelas misalnya, perbedaan kualitas guru yang mengajar, pengaruh lingkungan kelas juga bisa.
Berhentilah menjudge seseorang tidak pintar hanya karna tak mendapat peringkat dikelasnya, atau karena seseorang memilih jurusan “A” yang passinggrade nya jauh lebih rendah, atau karna dia tidak diterima di universitas Negeri, meski telah mencoba berkali-kali. Karena setiap orang pasti memiliki kepintaran dalam bidang yang berbeda-beda. Terlepas dari itu, sebenarnya tak ada ruginya kita mengejar kata pintar. Saya ingin belajar dengan masa kecil saya, dimana saya tak mencari kata itu, saya hanya melakukan yang saya suka dan menikmati yang saya lakukan. Maka cobalah untuk menyukai apa yang ada di depan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H