Bogor (16/2) - Hari ini, duka dan ucapan bela sungkawa mengalir di berbagai lini massa pada artis Dorce Gamalama atau yang memiliki nama asli Dedi Yuliardi Ashadi, tutup usia pada hari ini (58 tahun) setelah mengalami sakit beberapa waktu lalu. Beberapa isu pro kontra juga bermunculan terkait hukum dan tatacara pemakamannya apakah dengan tata cara laki-laki atau perempuan.
Bagaimana sebenarnya terkait hal itu, berikut kutipan pembahasan yang pernah disampaikan K.H. Ahmad Bahauddin (Gus Baha), seperti yang diunggah dalam Kanal Youtube Santreh Kopengan.Â
Gus, ganti kelamin adalah hak setiap individu, mengapa diharamkan?Â
Menurut Gus Baha ia akan menjawab berdasarkan hukum fikih, sesuai dengan keahliannya. Jika ganti kelamin, misalnya dari laki-laki ke perempuan adalah hak asasi, maka apakah Anda dapat menjawab pertanyaan hukum fikih setelahnya?, misalnya;
- Setelah menjadi perempuan (operasi kelamin), nanti tidurnya dengan siapa?, misal dalam sebuah pondok, apakah harus ditempatkan di pondok laki-laki atau perempuan?
- Kemudian shalatnya dengan cara laki-laki atau perempuan?
- Jika menikah dengan siapa?
Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sulit dijawab secara hukum fikih. Menurutnya secara fikih, hal tersebut tidak dapat dilakukan (menolak), dan secara medis pun menurutnya pasti juga sama. "Apakah semua hormon tubuhnya kemudian tersistem sebagai perempuan (setelah operasi ganti kelamin)?" ungkapnya.
Dia yang telah diganti kelamin tetap tidak bisa haid maupun melahirkan dan aktifitas tubuh perempuan lainnya, bahkan mungkin akan tetap tumbuh jenggot (tidak hilang hormon laki-lakinya), karena hormonnya tetap laki-laki. Sehingga menurut Gus Baha, salah satu yang disampaikan dalam Al-Qur'an adalah dilarangnya mengganti asal usul pokok kejadian Alloh SWT, yang hal tersebut juga merupakan salah satu godaan setan.
Menurutnya, permasalahan ini bukanlah permasalahan atau hukum hak asasi manusia, namun hukum adalah ketentuan Alloh SWT dan Rosulnya dan ketentuan medis (kedokteran), jelasnya.Â
Jadi meski telah berganti kelamin (dioperasi dan memiliki alat kelamin perempuan), kemudian dapat dikenakan hukum fikih sebagai perempuan, hal tersebut tidak dapat dilakukan. "Selain ditolak syara' juga ditolak sistem medis," ungkap kyai asal Rembang, Jawa Tengah dalam video tersebut.
Menurutnya sistem medis yang dianalaisa dalam tubuh itu adalah yang paling jujur. Begitu juga misalnya dengan perempuan yang diganti kelamin menjadi laki-laki. Misalnya dijadikan imam dalam shalat, bagaimana ketika ditengah perjalanan tiba-tiba keluar haid, apa dan bagaimana hukum fikihnya? "Ini tidak ada solusinya, repot semua," ungkapnya.
Semua potensi tersebut tentu ada. Menurutnya hal tersebut tetap tidak dapat dilakukan. Sehingga fatwa hak asasi manusia dalam hal membolehkan ganti/ merubah kelamin menurutnya tidak dapat diterima.