Beberapa waktu lalu saya mendatangi undangan pernikahan teman saya, seorang perempuan. Rona bahagia terpancar dari wajahnya saat saya datang ke rumahnya, maklum waktu itu saya jadi tamu spesial karena tak bisa datang di hari resepsinya.Â
Ia satu tahun lebih tua daripada saya, ya masih terhitung usia pembuka di awal 20-an. Sejenak berbincang, kita mulai merambah membicarakan pendidikan.Â
Saya tahu dulu ia sempat berkuliah di perguruan tinggi swasta sekitar tempat tinggal saya. Namun ternyata, ia telah berhenti berkuliah.
"Aku sudah capek, Ri. PP (pulang-pergi) rumah (ke) sana jauh, matkulnya berat, apalagi sekarang sudah menikah. Takut ga sempat ngurusin rumah," ujarnya ringan dengan wajah bahagia yang tetap sama, tanpa merasa ada beban.
Saya memaklumi pernyataannya karena lingkungan keluarganya pun begitu, jauh dari kata berpendidikan. Adik perempuannya, yang baru saja tamat sekolah menengah atas, pun tidak berkenan melanjutkan ke sekolah tinggi.Â
Anggapan keluarganya masih sama dengan masyarakat desa kebanyakan, sekolah tinggi hanya akan membuang waktu dan uang.Â
Jadilah genap seluruh anggota keluarganya yang perempuan bukan tamatan pendidikan tinggi. Bahkan adik-kakak perempuan itu, berhasil tamat hingga sekolah menengah atas menjadi pencapaian yang patut dibanggakan.
Stereotip yang "Merakyat"
Dahulu saya bersekolah di sekolah negeri terfavorit yang terletak tepat di tengah Kabupaten Jombang. Menurut pandangan awam, sekolah saya gudangnya calon orang-orang sukses. Bisa dilihat dari nama-nama lulusannya yang selalu masuk dalam jajaran universitas terbaik di Indonesia.Â
Pastinya stereotip pantangan sekolah tinggi bagi perempuan tidaklah menempel pada siswa sekolah saya. Namun nyatanya, tidak. Dari 16 orang perempuan teman saya, 3 di antaranya tidak berkuliah dan memilih bekerja.Â