Mohon tunggu...
Nadia Qorina
Nadia Qorina Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

belum ada yang spesial dari saya. Suatu saat nanti mungkin ada, tunggu saja :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ayra Pulang, Ma...

23 Desember 2013   23:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Untukmu Ibu] Ayra Pulang, Ma...

By : QorinaDia - Peserta No. 299

Sudahlah, Ma... Akhiri saja perang dingin ini. Ayra rindu, ingin bicara dengan Mama. Lelah rasanya menahan dan memaksakan diri untuk tidak peduli pada perempuan hebat yang selalu aku sanjung. Maafkan Ayra, Ma. Keputusan yang kuambil dulu benar-benar hampir membunuhku.

Bertahun-tahun aku menanggung luka karena mengabaikan peringatanmu dan lebih memilih laki-laki yang mendedikasikan separuh hidupnya di meja judi. Ayra menyesal, Ma...

Dulu waktu Mama belum mengizinkanku menikah dengan Bayu, aku merasa Mama seperti tak ingin aku bahagia. Mama menghalangi kebahagiaan yang kurencanakan bersama Bayu. Ya, Ma, aku tahu kalau Bayu memang penjudi sejak dulu. Tapi dia berjanji, setelah menikah nanti akan menghilangkan kebiasaan buruknya itu. Aku percaya, karena dia terlihat sungguh-sungguh ingin berubah. Tapi Mama, malah mengatai Bayu seolah tak ada kebaikan darinya.

Sudah lima tahun sejak kejadian itu. Lama sekali, ya, Ma, kita tidak bertegur sapa? Selama itu pula aku mencoba bahagia bersama suamiku dalam rumah tangga yang telah kau ridhoi meski agak terpaksa.

Memang benar, kalau ridho Tuhan itu bergantung pada ridho orangtua. Sungguh, Ma, Ayra tidak pernah menyangka akan begini jadinya. Bayu yang dulu memperjuangkan cinta kami, yang di awal pernikahan memang menghentikan kebiasaan berjudinya, sekarang entah kemana. Dia pergi, bersama perempuan lain yang lebih kaya, muda, dan cantik.

Ma, sekarang Ayra tahu rasanya menjadi Mama lima tahun lalu. Ditinggalkan seseorang yang benar-benar dikasihi, demi orang lain yang entah bisa memberikan kehidupan lebih baik atau tidak.

Aku sudah mendapatkan karmaku, Ma. Tiga tahun belakangan aku hidup seorang diri. Ingin sekali menangis padamu, seperti ketika aku putus cinta semasa SMA, tapi malu. Aku benar-benar merasa tak pantas hadir di depan Mama lagi. Seharusnya dulu Mama kutuk saja aku menjadi batu, seperti Malin Kundang.

Tapi akhirnya Ayra pulang juga, hari ini. Mama mau kan memaafkanku? Mau kan, Ma?

Atau, Mama baru akan memaafkanku setelah tahu penderitaan yang aku lalui sampai akhirnya  kembali untuk Mama?

Kalau Mama sudi mengetahui kehidupanku selama ini, aku akan sangat bahagia. Tapi bila tidak, anggaplah aku hanya membacakan kisah absurd dalam novel atau buku kumpulan cerpen yang sering Mama baca dulu.

Dua bulan setelah menikah, Bayu mengajakku pindah ke Purwokerto, kota asalnya. Katanya lingkungan disana lebih ramah. Dengan senang hati aku meninggalkan Medan, kota kelahiranku, tempatku tumbuh dan dewasa, tempat menghabiskan waktu bersama Mama. Aku meninggalkan pekerjaan, masa lalu, dan faktor utama yang membuatku bahagia kala itu adalah pergi meninggalkan Mama. Mama yang selalu ingin tahu kehidupan rumah tanggaku, padahal aku merasa kami adalah pasangan  yang paling mesra dan bahagia.

Di Purwokerto aku tidak lagi bekerja kantoran, Ma. Hanya membuka sebuah warung kecil di depan rumah yang merupakan pemberian dari orangtua Bayu. Sama seperti mama, orangtua Bayu sangat menyayangiku. Makanya tak masalah bagiku tidak mengabari Mama.

Bulan keempat aku di kota itu, Tuhan memberi anugerah yang paling indah. Aku hamil, Ma. Bahagia sekali rasanya saat mengetahui ada seseorang bermukim dalam perutku. Entah mengapa, aku tak sedikitpun terpikir untuk memberi tahu Mama. Aku justru beranggapan Mamalah yang harus mencari tahu keadaanku jika Mama benar-benar peduli. Tanpa kusadari, bahwa aku memang sudah menghindari Mama dengan mengganti nomor telepon genggam, begitu juga Bayu suamiku.

Oh iya, sampai berita kehamilanku itu, Bayu benar-benar berhenti berjudi Ma. Dia menjalankan bisnis jual-beli pakaian. Sekali dalam sebulan Bayu mengajakku ke Jakarta, mengambil stock pakaian terbaru untuk toko kami sekaligus jalan-jalan. Mengulang bulan madu, katanya. Manis sekali, kan, Ma?

Berkali-kali aku katakan dalam hati bahwa Mama salah, terlalu sok melindungiku, dan terlalu khawatir. Seandainya Mama bisa melihat perubahan drastis pada Bayu saat itu, Mama akan bangga sekali padanya. Tapi aku benar-benar tak ingin Mama tahu, nanti saja setelah melahirkan aku pulang ke Medan. Membawa anakku melihat kampung halamannya, bertemu neneknya yang kusayangi tapi sangat tak kusukai, dan memamerkan pada Mama bahwa hidupku bahagia. Dengan Bayu. Dan tanpa Mama.

Kita memang hanya bisa berencana, ya, Ma. Mungkin karena rencanaku itu diselubungi dendam pada orangtuaku sendiri, makanya Ia tidak memperkenankannya. Janinku meninggal dalam kandungan saat kehamilan memasuki usia tiga puluh satu minggu. Kiamat rasanya, Ma.

Di saat itu kesadaranku tumbuh. Kehilangan janin yang bahkan belum aku lihat rupanya saja rasanya seperih ini. Bagaimana dengan Mama, yang sudah mengasuh, mendidik, dan membesarkan aku selama ini harus kehilangan anaknya secara tiba-tiba? Aku ingin pulang waktu itu, Ma. Tapi rasa malu dan perasaan bersalahku yang sangat besar pada Mama menghentikan semuanya. Aku tak sanggup bertemu Mama lagi. Aku takut.

Tapi sekarang aku sudah berhasil melawan ketakutanku, Ma. Aku pulang untuk bertemu Mama...

Kupendam perasaan rindu itu bertahun-tahun dengan mencoba menikmati kehidupan di Purwokerto. Warung kecilku berubah menjadi perpustakaan mini dan sederhana, untuk menyewakan buku-buku koleksiku. Buku-buku yang kebanyakan adalah hadiah dari Mama. Ah, bahkan buku-buku tak bergerak itu pun mengingatkanku pada Mama.

Semuanya berjalan seperti bagaimana adanya, kecuali hatiku, Ma. Aku tahu penyebab hati ini tak tenang, tapi aku malu mengakuinya. Keegoisan masih saja merajaiku, padahal rindu semakin menggunung dalam hati.

Masih dalam dukaku kehilangan calon anak, duka lain menghampiri. Lebih dalam dan hampir mematikanku! Bayu, menikah lagi dengan pemilik grosir pakaian langganan kami tanpa meminta izin dariku untuk berpoligami. Hancur. Aku hancur, Ma! Belahan jiwa yang aku banggakan dan selalu kupertahankan selama ini meninggalkanku. Bahkan, aku rela meninggalkan Mama, orangtuaku satu-satunya demi dia.

Lagi-lagi, aku terpikir kampung halamanku. Sedang apa Mama sekarang? Sehatkah? Bahagiakah?

Ah, bahagia. Kenapa aku harus mempertanyakan kebahagiaan Mama? Sudah jelas jawabannya ya, Mama bahagia. Apalagi setelah tahu kehidupan rumah tanggaku berantakan tanpa sebab begini. Mama pasti merasa menang, merasa bahagia.

Segitu bodohnya pikiranku saat itu, Ma. Padahal, hati kecilku tahu kalau Mama akan ikut hancur melihat buah hatinya terluka oleh laki-laki yang dulu sempat tak Mama sukai.

Tak cukup Bayu melukaiku dengan pernikahan diam-diamnya, ternyata rumah yang kami tempati pun sudah dijualnya pada seorang bandar judi. Sebagai bahan taruhan, dan ternyata ia kalah telak! Benar kata Mama, penjudi tidak akan pernah berubah. Tak akan pernah bisa keluar dari lingkaran haram itu.

Oh, Mama... Ingin sekali memelukmu saat itu. Tapi keraguan masih terekat erat. Aku takut Mama mengusirku, takut Mama tak akan menerimaku lagi. Tanpa pernah aku pikirkan usia Mama yang semakin tua dan bisa saja sewaktu-waktu meninggalkanku.

Setelah merelakan rumah kami, aku tinggal di rumah orangtua Bayu, Ma. Tapi aku tak bisa bertahan disana lebih lama, karena saat Bayu pulang bersama istri mudanya, hatiku tersayat lagi. Anehnya, ia tidak mau menjatuhkan talak padaku, katanya masih cinta. Tapi saat aku ingin menyalami tangannya saja, Bayu menolak. Lalu aku putuskan beranngkat dari rumah mertuaku, menata hidup yang lebih baik di Jogjakarta berbekal uang yang selama ini kutabung.

Di sebuah kamar kos yang berada di lingkungan kampus dan selayaknya untuk mahasiswa, aku membuka lagi usaha perpustakaan miniku. Tak ada yang mencariku, Ma. Aku rindu Mama di saat-saat seperti ini, karena tak jarang, pelangganku –yang sebagian besar memang mahasiswa- mendapatkan telepon dari orangtuanya di kampung halaman.

Ma, seorang mahasiswa dari Malaysia akhirnya mengembalikan kesadaranku. Suatu hari, ia mendapatkan kabar dari Serawak kalau orangtuanya meninggal dunia, tepat di hari ulang tahunnya. Sambil tersedu-sedu ia membatalkan peminjaman buku yang akan dilakukannya hari itu. Karena dia adalah salah satu pelanggan tetap yang sudah akrab denganku, tak bisa ku biarkan air matanya terus mengalir. Ada yang bergejolak di hatiku, Ma.

Seandainya aku yang menerima kabar itu. Seandainya Mama yang meninggalkanku. Seandainya tak bisa bertemu senyum Mama lagi. Ah, banyak sekali pengandaian yang muncul di benakku, beriringan dengan sesuatu yang meleleh dari sudut mataku. Takut kehilangan, meski sebenarnya aku yang telah menghilang dari Mama

Mulai hari itulah,  ku bulatkan tekad untuk kembali ke Medan. Ku tahan pengeluaran, kusisihkan uang sebanyak yang aku bisa untuk bertemu, meminta maaf, dan mencium kaki Mama. Walaupun aku tahu semua itu tidaklah cukup menebus dosaku pada Mama. Mulai hari itu pula Mama menjadi prioritasku dalam mengucapkan doa. Bahkan aku tak lagi berdoa untuk diriku sendiri, hanya Mama yang ada dalam pikiran dan hatiku.

Sampai tiba hari ini. Aku pulang. Dengan senyum lebar mengetuk pintu rumah kita yang ternyata masih belum berubah.

Saat pintu dibuka, bukan Mama yang menyambutku melainkan Tante Rossa. Beliau langsung memelukku, Ma. Erat sekali, seperti memeluk seseorang yang baru saja bebas dari penjara.

DEG! Hatiku langsung berdesir hebat ketika Tante Rossa ternyata memelukku sambil menangis.

“Dimana Mama? Ayra mau minta maaf sama Mama, Tante. Ayra banyak salah sama mama. Ayra rindu Mama. Mana Mama?” aku merengek seperti anak kecil minta dibelikan permen karet.

“Mama sudah pindah, Ra. Nanti Tante antar ke rumah barunya.”

“Sekarang Tante!” aku yang tak tahu diri ini membentak Tante Rossa, Ma. Setelah melukai hati Mama, kini aku berbuat dosa pada adikmu. Maafkan Ayra.

Dan sekarang Ayra disini, Ma. Ingin meminta maaf pada Mama. Mama mau kan memaafkan Ayra?

Ma??? Jawablah Ma! Anakmu yang durhaka ini sudah lelah berpura-pura tegar!

Ayolah, Ma... Jawab Ayra. Apa Mama tidak memaafkan Ayra? Mama Ayra itu berhati mulia, bukan pendendam. Bukan orang yang hanya diam setelah melihat seseorang menyesal berderai air mata.

Oh, aku lupa, Ma. Seseorang bisa berubah karena penderitaan yang diterimanya. Mungkin saja Mama sudah berubah sekarang, bukan lagi Mama yang penyayang. Tapi Mama yang berhati batu, sekeras nisan yang meski telah kupukuli berkali-kali tetap tak member jawaban atas pernyataan maafku untuk Mama.

Mama.. Ayra sudah pulang. Anakmu kembali, Ma...

Maafkan Ayra, Ma...

Ayra Rindu Mama...

Ayra menyesal...

Ayra terlambat...

Ayra sayang Mama. Sayaaaaang sekali.

Rabbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shoghiiroo

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun