Mohon tunggu...
Qori'atul Fajrin
Qori'atul Fajrin Mohon Tunggu... -

PENULIS PEMULA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Memetik Pelajaran Berharga

3 Mei 2011   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:08 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpeluh hatiku, melihat mereka berlalu lalang dengan tanpa alas kaki di bawah terik matahari yang semakin lama semakin membakar kepalanya. Aku sempat melihat mereka tertawa bersama-sama, tapi entahlah, bisa jadi itu hanya tipuan semu belaka agar aku mengira mereka bahagia dengan keadaannya sekarang. Senyum itu, hanya senyum untuk menabahkan hati.

Salah satu dari mereka menghampiriku dengan langkah malu-malu dan tak pasti. Ia menoleh kesana-kemari dengan pandangan yang tampak hati-hati sebelum akhirnya ia menengadahkan tangannya kepadaku dengan raut muka dan pandangan yang sayu. Mungkinkah itu trik yang diajarkan orang tua mereka agar mereka dikasihani? Bisa jadi memang seperti itu.

Tanpa ucapan terima kasih atau sekedar memberiku satu senyuman manis, ia meninggalkanku dengan membawa selembar uang seribu rupiah yang tadi kusodorkan padanya. Aku sempat berfikir, apakah orang tuanya tidak pernah mengajarkannya mengucapkan terima kasih?

Lalu aku beranikan langkahku untuk mendekati sekelompok anak-anak itu dengan perasaan antara ragu dan yakin. Mula-mula, aku berhenti cukup di arah pukul sembilan dari tempat mereka menggerombol. Dari sana, tampak di sepasang mataku bahwa ada salah satu dari kelompok anak-anak itu yang mengenakan seragam sekolah, meskipun aku tahu itu lusuh.

Kini tanpa ragu lagi aku masuk dilingkaran mereka. “Adik, sekolah kah?” tanyaku kepada salah satu anak yang menggunakan seragam putih merah, khas SD. Kebetulan tadi ia memerhatikanku ketika aku datang. Mula-mula anak itu memandangi temannya satu persatu, “Iya, Kak.” Jawabnya lalu ikut menunduk seperti yang dilakukan temannya.

Lalu pandanganku beralih kepada anak-anak lain yang tidak memakai seragam sekolah. Mereka tampak sangat murung ketika aku bertanya kepada anak berseragam di antara mereka. “Lalu kalian?” tanyaku. Mereka mengangkat kepalanya dan saling memandang satu sama lain. Hanya salah satu yang menjawab pertanyaanku. “Kau lihat sendiri ‘kan dari pagi kami harus sudah bekerja seperti ini?” jawab salah satu anak yang duduk tepat di depan mataku. Sepertinya ia tersinggung. Bicaranya tidak sopan sekali.

Untuk masalah ini, lalu siapa yang patut disalahkan jika masih ada banyak anak yang tidak bisa menikmati bangku pendidikan? Apakah anak itu sendiri? Toh anak itu pasti sangat ingin sekolah. Pemerintah? Sudah ada BOS, sudah ada beasiswa. Orang tua? Sepertinya merekalah yang perlu ditanyai mengapa anak-anak mereka tidak sekolah. Mengapa ia membiarkan anak mereka bodoh dan tidak tahu apa-apa?

Ketika aku mengetik naskah ini, aku menghela nafas panjang-panjang tidak kurang dari lima kali. Aku amat sangat berfikir, apa yang harus aku lakukan untuk anak-anak itu kelak? Agar mereka bisa menikmati salah satu hak mereka untuk memperoleh pendidikan, agar mereka bisa mengenal dunia yang mereka tinggali, agar mereka bisa mendapat kegiatan yang lebih layak daripada mengais-ngais di jalanan.

Aku masih terpaku di tengah-tengah gerombolan anak-anak itu dan memandanginya satu persatu, namun pandangan ini tidak sama seperti pandanganku ketika aku melihatbayangan wajahku di cermin. “Kalau ada yang menyekolahkan kalian, apa kalian mau?” tanyaku hati-hati. Lagi-lagi mereka berpandangan, lalu bergantian memandangku. “Apa orang tua kami akan mengijinkan?” yang menjawab lagi-lagi anak yang berada di depanku. Baju putihnya terlihat compeng sekali.

Ternyata dugaanku tidak meleset. Meskipun anak-anak ini sangat ingin sekolah, mereka akan tetap tergantung pada orang tua mereka. Mereka takut, bagaimana jika tidak diijinkan? Bagaimana jika orang tuanya akan marah jika mereka sekolah? Mereka akan tetap memilih bekerja untuk orang tuanya daripada mereka harus dimarahi orang tuanya. Di fikiran mereka saat ini hanyalah, yang penting orang tua mereka memberi mereka makan untuk menghapus kelaparan.

Aku keluar dari lingkaran kelompok anak itu dengan senyum kecut. Ternyata masih banyak orang tua yang tega menerlantarkan hak anaknya untuk memperoleh pendidikan di sekolah. Hanya orang tua yang paling bodoh saja yang membiarkan anaknya menjadi orang yang bodoh.

Semenjak itu aku berjanji, aku akan menjadi seorang yang pantang menyerah untuk mengejar pendidikanku. Bukan untuk pangkat, bukan untuk derajat, dan bukan pula untuk mendapat pekerjaan tinggi maupun terpandang. Yang penting bagiku hanyalah, suatu saat ilmu yang aku dapatkan ini bisa aku bagi-bagikan kepada mereka dan akan aku apresiasikan seperi apa yang dikatakan hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun