Mohon tunggu...
Qori'atul Fajrin
Qori'atul Fajrin Mohon Tunggu... -

PENULIS PEMULA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jejak Arya

22 April 2011   01:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu, lihat kaos kakiku tidak?” seorang gadis kecil-ibunya tidak pernah atau lebih tepatnya belum ingin menganggapnya gadis dewasa berumur tujuh belas-sedang terburu-buru membongkari seluruh isi lemari kecilnya. Lihatlah, kamarnya yang semula rapi sekarang menjadi berantakan penuh dengan pakaian. “Aduh, Bu! Ayra bisa telat nanti.”

“Kaos kaki yang mana sih, Ra? Mana Ibu lihat? Bukannya kaos kaki selalu kamu sendiri yang cuci?” seorang ibu paruh baya-ibu Ayra-, menjawab dengan nada yang tidak tenang seperti dikejar-kejar sesuatu.

Akhirnya, sepasang ibu anak itu kini disibukkan dengan lemari kecil yang telah terobrak-abrik isinya. Apa yang mereka cari? Yang mereka cari adalah sepasang kaos kaki lusuh. Kaos kaki yang sudah tak layak pakai karena warnanya yang kusam dan sudah kedodoran.

“Ah, Ibu! Gimana ini?” Ayra mulai mengeluh kekanak-kanakan.

Hampir lima belas menit mereka berdua berkutat di sekitar lemari pakaian milik Ayra-si gadis ‘kecil’ itu. Dan sudah jelaslah, Ayra akan telat masuk sekolah hari ini. Sekarang saja waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB. Suatu keajaiban jika Ayra tidak telat hari ini.

©©©

“Kau tahu tidak, kita akan dibawa ke mana?” aku bertanya pada saudara kembarku. Hari ini ia mendapat jatah di kaki Ayra bagian kiri. Dan aku sebaliknya. Kita seringkali mendapat tempat yang berbeda-beda-mungkin karena Ayra lupa.

“Tidak tahulah. Sepertinya ia sedang sedih karena diusir satpam sekolah tadi.” Jawabnya.

“Sedih? Tidakkah kau lihat wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia sedang bersedih?” aku membantah.

“Entahlah.”

Kaki Ayra terus melangkah tanpa henti hingga sampai di tempat yang sepertinya baru pertama kali ia kunjungi-atau dia belum pernah mengajak kami ke sini. Namun aku benar-benar dapat merasakan bahwa Ayra sudah sangat sering menjejakkan kakinya di sini. Mungkin begitu pula yang dirasakan saudaraku.

“Sepi,” begitulah satu kata yang terlontar dari bibir Ayra.

Aku perhatikan lekat-lekat wajah mungil milik Ayra. Ia tersenyum seolah-olah sengaja memamerkan kedua lesung pipitnya yang manis jika dipandang mata. Apakah gerangan yang membuatnya melarikan diri kemari? Adakah sesuatu yang ia tunggu di sini?

Rok abu-abu miliknya berkibar di atas kami. Menandakan kehadiran sayup-sayup angin yang datang menyapu sekujur tubuhnya.

“Kira-kira, apa yang ia tunggu di sini, Saudaraku?” saudara kembarku sungguh memiliki pertanyaan yang sama seperti apa yang ingin aku tanyakan kepadanya.

Aku memintanya tetap diam dan mengikuti saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebentar-sebentar, kuperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di depan Ayra-dan tentu saja kami. Barangkali di antara mereka ada yang akan mendekati Ayra dan mengajaknya berbicara. Namun kebanyakan dari mereka hanya sekedar lewat dan berlalu.

“Hei, sudah lama ya?” seorang laki-laki dari sekian banyak orang yang melewati kami akhirnya mendekat dan menyapa Ayra. Aku tak suka sekali cara laki-laki itu menyapa dengan kata ‘hei’. Benar-benar tak suka.

Parasnya amburadul. Walaupun begitu, ia tetap terlihat memesona dengan segala keindahan yang ia miliki. Bahkan, celananya yang compang-camping saja tak dapat menutupi keanggunannya saat ia berjalan menghampiri Ayra. Kemeja hitam lusuh yang ia kenakanpun sepertinya tak mampu membuang seluruh karisma yang ada di dalam dirinya.

Ayra yang semula duduk di rerumputan dengan pandangan mata menunggu dan gelisah kini berdiri dengan menunjukkan pandangan mata lega dan gembira. Aku baru sadar, ternyata sedari tadi ia tengah menunggu orang yang menyapanya dengan sebutan ‘hei’ tadi.

“Lumayan juga, Bang.” Jawabnya.

“Ternyata ini tempat pertemuan rahasia ya?” seru saudara kembarku. Akhirnya ia bisa menjawab sendiri pertanyaan yang tadi tak dapat kujawab-karena memang aku tak tahu.

Laki-laki itu tiba-tiba mencium bibir Ayra sedetik dua detik. Bahkan aku sampai bertanya-tanya, sebenarnya siapa laki-laki ini? Apa hubungannya dengan Ayra. “So, kau butuh berapa?” tanyanya kepada Ayra pada akhirnya.

Dan menjeritlah hati ini-apa kau juga, Saudaraku?-ketika melihat Ayra memeluk mesra tubuh laki-laki itu. Ia menggelayut manja tanpa pernah berfikir bahwa kami dapat melihat mereka. Kalau kau mau melakukan ini, untuk apa kau mengajak kami, Ayra?

“Apa maksud pertanyaan pemuda itu?” lagi-lagi saudara kembarku dibuat bingung oleh keadaan. Dan akhirnya aku hanya dapat menjawab pertanyaan itu dengan diam. Diam yang takkan berarti apa-apa untuk menutupi kejadian ini.

“Aku butuh persediaan selama tiga hari. Kau tahu? Tadi malam aku hampir sakaw kalau saja aku tidak menemukannya secuil di kantungku.” Akhirnya Ayra menjawab. Dengan nada manja yang dibuat-buat. Untuk apa? Untuk merayu laki-laki itu? Lalu apa tujuanmu, Ayra?

Laki-laki itu tersenyum. Hah! Senyum apa itu? Senyum nafsu!

Dan benar saja, lagi-lagi ia mencium bibir Ayra. Tentu saja dengan nafsu yang menggebu-gebu. Ayra, kenapa kau melakukan ini? Atas dasar apa?

Lima detik.

Sepuluh detik.

Satu menit.

Tiga menit.

“Cukup! Cukup! Jangan diteruskan lagi!” saudara kembarku berteriak. Kukatakan, percuma saja kau berteriak kencang, sekalipun menggunakan pengeras suara. Telinga mereka tak akan pernah dapat mendengarnya. Dan suara kita hanya berlalu. Berlalu bagai angin yang tak berwujud seperti halnya kau dan aku.

“Tapi…” laki-laki itu memecah kembali keheningan yang sempat teredam.

Ayra menghela nafas. “Iya, iya… apapun! Asal sekarang kau memberikan apa yang aku minta.”

“Sekarang?”

“Iya. Sekarang.”

Ayra membuang kami. Bukan. Bukan membuang. Lebih tepatnya menyingkirkan.

Di sudut ruangan yang remang-hampir gelap-ia menanggalkan kami berdua;aku dan saudara kembarku. Menanggalkan kami begitu saja di antara semua penutup auratnya tanpa terkecuali.

Baguslah, tak perlu ia mengajak kami untuk menjadi saksi bisu pelampiasan hasrat nafsunya dengan laki-laki mata keranjang itu. Alah, toh kalian sama saja! Tak ada yang pantas kusebut ‘lebih baik’.

Jadi aku dan saudaraku tak perlu menceritakan apa yang tengah Ayra lakukan bersama laki-laki bajingan itu, bukan?

“Jangan sampai ketahuan ibumu ya, anak manis!” laki-laki bengis itu bersuara setelah sekian jerit dan rintihan mengisi ruang gelap ini.

Ayra memeluk manja laki-laki itu-tadi ia menyebutnya Bowo. “Tenang saja, pasti aman kok,” Ayra mencoba membuat nada semeyakinkan mungkin.

©©©

Malam semakin menjadi-jadi. Kemerlip bintang semakin tampak terlihat benderang ditemani cahaya bulan yang telah muncul sempurna. Dan malam yang larut itupun semakin membuat Ayra terjaga oleh rasa kantuknya yang susah ditidurkan.

“Susah sekali mau tidur,” ujar Ayra.

Ia bangkit dan menyingkap selimut yang sudah sejam yang lalu menghangatkan tubuhnya percuma. Namun untunglah ia tak lagi menanggalkan kami kali ini. Ia berjalan terserek-serek menahan kantuk yang tak bisa ia lelapkan. Entah apa yang membuatnya terjaga malam ini.

Ia menghampiri lemari kecilnya dan membuka tempat di mana ia selalu menggantungkan baju dan seragamnya. Diambilnya rok abu-abu yang pagi tadi ia pakai berangkat ke ‘sekolah’.

“Kira-kira, apa yang diambilnya itu, Saudaraku?” aku mencoba bertanya kepada saudara kembarku.

Diapun hanya menjawab, “Nanti kau pasti tahu.”

Ayra mengambil sebuah bungkusan kecil lalu sedikit mengecupnya. “Thanks, Bowo.” Katanya sambil tersenyum puas.

Sepersekian detik kemudian, bungkusan itu sudah raib dihisap oleh sang tuannya. Ayra merintih-rintih. Akan tetapi rintihannya sungguh berbeda dengan rintihan orang sakit atau semacamnya. Rintihan kali ini lebih pada rintihan karena merasa nikmat. Nikmat yang tak terperi ujungnya.

Ketika rintihan itu mulai melemah, sekali lagi Ayra menghisap isi yang ada di dalam bungkusan tersebut. Lalu rintihan itupun terulang kembali. Kali ini rintihannya terdengar lebih berat dan seperti tertahan.

Terus berulang seperti itu hingga empat kali.

“Apa yang ia lakukan?” tanya saudara kembarku. Ternyata diam-diam ia juga memperhatikan Ayra.

Kali ini aku dapat menjawab pertanyaannya dengan tepat dan benar, “Nyabu,”

“Seperti itukah rasanya?”

“Apa kau mau mencoba?” tantangku. “Silakan!”

“Tidak, terimakasih. Sepertinya tidak senikmat kelihatannya.”

Ayrapun akhirnya menyerah hanya dengan dua kali hisapan. Ia terlihat seperti orang mabuk darat yang baru keluar dari angkutan umum. Dikembalikannya bungkusan itu ke asalnya dan meninggalkannya pergi ke peraduan di mana ia bisa melampiaskan rasa lelah dan kantuknya.

“Oh Tuhan, surga dunia!” begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Ayra sebelum ia menghambur ke dunia yang takkan sedikitpun kami tahu. Dunia yang sering kalian sebut “milikku sendiri”.

Ayra. Oh, Ayra.

Malampun hanya berlalu begitu saja. Sepertinya hari belum benar-benar cerah ketika ibu Ayra menyelinap masuk ke kamar untuk mengambil seragam dan baju kotor Ayra. Wajahnya tampak kuyu dan sepertinya banyak masalah yang bergelayutan di dalam fikirannya. Senyum yang biasa menutupi kegundahannya kini hilang dihapus waktu yang tak kunjung membuatnya riang sentosa.

“Gawat!” saudara kembarku memekik.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Bungkusan itu. Aku tahu bungkusan itu bukan sembarang bungkusan. Bagaimana jika ibu menemukannya?” saudara kembarku mulai panik.

“Memang sudah seharusnya seperti itu, bukan?”

Saudara kembarku memekik, “Apa?” nadanya terkejut.

“Biarkan saja ibu tahu bagaimana kelakuan anaknya di luar sana!”

“Kenapa kau bicara seperti itu?”

“Bukankah itu bagus?”

Lalu kami berdua terdiam sama-sama menyerah. Menanti detik demi detik ibu akan menemukan bungkusan haram itu.

Dan yang benar saja, “Apa ini?” pekik ibu dengan tangan bergetar.

“Tidak. Ibu belum menemukannya!” aku menghalau saudara kembarku yang tadinya akan mengatakan sesuatu.

“Lalu apa itu?” sambungnya kemudian.

“Karet apa ini? Buat apa Ayra menyimpan barang seperti ini?” kata ibu setelah ia berhasil membuka bungkusan yang ia temukan. Dahinya berkerut penuh tanda tanya yang tak bertitik.

“Itu hanya kondom.” Jawabku pada akhirnya.

Tiba-tiba aku merasakan kaki Ayra bergetar. Pasti begitu pula yang dirasakan saudara kembarku saat ini. Getarannya sangat kuat dan hebat. Kaki yang tadinya hangatpun lambat laun mendingin tanpa suatu paksaan apapun.

“A..a..aku—“ suara Ayra bergetar dan putus-putus. Ia menggigil hebat. “but..tuh ob..bat itu!” kata-katanya meracau sudah mirip seperti orang sakaw. Ya, memang sekarang dia sedang sakaw. Sakaw di depan ibunya.

“Kenapa dia?” tanya saudara kembarku panik. “Dingin pula kakinya!”

“Ayra, ada apa denganmu? Obat apa?” ibu mulai panik. Sepertinya ia awam dengan hal-hal yang berbau pergaulan bebas. Matanya mulai basah.

“Sab..bu!” Ayra benar-benar kesakitan. Kami sampai kualahan menahan dingin di kakinya. “Cepat ambilkan sabu itu di sakuku!”

Semula ibu hanya terdiam bergetar menyaksikan anaknya yang bergulat dengan tubuhnya sendiri.

“IBU! CEPAT! AKU SAKAW!”

©©©

“Ibuku tidak berhenti menangis dari tadi subuh, Bang. Iya. Gila! Kenapa aku bisa sakaw lagi sih? padahal tadi malam sudah kuhisap sampai empat kali. Tidak. Tidak. Itu bukan over dosis. Mungkin barangnya saja yang murahan.” Ayra terus berbicara dengan orang yang ada di seberang sana.

“Bang, ayolah bantu aku lagi. Kita barter lagi. Aku benar-benar butuh barang itu sekarang. Kalau tidak cepat-cepat, ibu akan memergokiku lagi.” Begitu kata Ayra di telepon. “Iya, aku janji akan lebih hati-hati. Iya, Bang. Pasti aku akan lebih memuaskanmu. Asal kau berikan barang itu sekarang juga. Oke. Tidak, ibuku sedang ada acara di luar. Ya sudah, aku tunggu.”

“Bicara sama siapa dia?” pertanyaan yang tak penting untuk ditanyakan saudara kembarku.

Dan cukup kujawab, “Bowo.”

“Jadi dia akan kemari?”

“Sepertinya.”

“Apa itu pantas?”

“Itu urusan Ayra, Saudaraku.”

“Tapi dia perempuan. Dan dia mengundang laki-laki yang bukan muhrimnya untuk datang ke rumah sementara ibu tidak ada. Siapa lagi nanti orang ketiganya kalau bukan setan?”

“Sudahlah. Aku rasa, Ayra sudah cukup dewasa untuk menentukan sendiri hidupnya.”

“Entahlah!”

Dan benar saja, ketidakberadaan ibu dimanfaatkan Ayra untuk memasukkan Bowo ke dalam rumah.

Penampilan Bowo sedikit berbeda dengan ketika pertama kali kami bertemu di tempat itu. Ia sedikit lebih ‘terurus’ dan berwibawa.

Dan kami tak pernah lepas dari kaki Ayra.

“Jadi butuh berapa?” pertanyaan yang sama dengan waktu itu.

Ayra menghela nafas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Berapapun kau punya, Bang.”

“Imbalannya harus setimpal.”

“Beres!”

Dan pestapun dimulai.

Ayra mulai bergelayut manja di bahu Bowo sambil menghisap ‘barang’ yang baru saja ia dapatkan dari Bowo. Begitu juga Bowo dengan asyiknya menusuk lengannya dengan jarum suntik. Setelah ia puas dengan beberapa tusukan, ia tusukkan jarum bekasnya itu ke lengan Ayra. Dan sepertinya Ayrapun menikmatinya.

“Benar-benar fly rasanya…” ujar Bowo di tengah ketidaksadarannya.

“Apa maksudnya?” saudara kembarku mulai lagi dengan pertanyaannya. “Fly?”

“Barang itu membuat pemakainya merasa seperti melayang.”

“Bang, puaskan aku.” Ujar Ayra manja.

Dan tanpa menyingkirkan atau menanggalkan atau membuang kami, Ayra mengulangi lagi pergumulan yang waktu itu sempat tertunda.

“Dasar pelacur!” aku murka.

pun saudara kembarku. “Jalang hina!”

Kami mencoba menghiraukan adegan demi adegan, rintihan demi rintihan, racauan demi racauan, sedapat mungkin kami hiraukan. Namun tetap saja, kami terpaksa mengikuti alur cerita mereka. Tanpa dapat berbuat banyak. Tanpa dapat menghindar. Tanpa dapat mencegah.

Kami mencoba sabar.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” di ambang pintu kamar Ayra, seorang wanita tua menggelengkan kepalanya dan mengelus dada. Mulutnya bergeming tanpa suara. Dengan segenap kesabarannya, ia mencoba untuk tidak meluapkan emosinya.

“Kenapa orang itu diam saja? Harusnya dia hentikan mereka! Ini sudah tidak benar!” saudara kembarku mulai terbakar emosi.

“Sabar. Kita lihat saja apa yang akan terjadi.” Kataku menenangkannya.

Dengan segala amarah yang tertahan, wanita tua itu menggedor pintu yang tak tertutup. Sontak Ayra dan Bowo terpingkal saking terkejutnya.

“Ap“ Bowo mengurungkan niatnya yang tadi hendak membentak.

Ayra lekas-lekas mencari sehelai kain yang dapat menutupi tubuh murahnya. “Mbok Nah?” mukanya pucat sepucat pasi.

“Tadinya saya ke sini untuk memberitahumu kalau ibumu kecelakaan di depan pasar. Tapi melihat ulahmu itu, sepertinya tidak pantas kalau saya memberitahumu!”

“Apa? Ibu, kecelakaan?” pekik Ayra.

“Tidak usah pura-pura kaget! Bukannya main dengan laki-laki yang bukan muhrimmu itu lebih menyenangkan? Sudah! Lebih baik kau teruskan saja. Maaf kalau saya sudah mengganggu acara kalian!”

“Tunggu, Mbok Nah!” Ayra mencoba mencegah langkah mbok Nah. “Apa ibu baik-baik saja?”

Tak dijawab. Pertanyaan Ayra hanya dianggap angin lewat yang seharusnya ditinggal pergi.

“Gawat!” saudara kembarku panik.

“Biarkan saja. Aku sudah muak dengan Ayra!” jawabku ketus.

©©©

Bukan seorang anak jika ia tidak menangis ketika ibunya pergi untuk selamanya. Bukan seorang wanita jika tidak terluka melihat orang yang disayanginya tiada. Dan bukan Ayra jika ia tidak sedih ketika ibunya telah terkubur dan menyatu kembali ke asalnya.

Hujan masih rintik ketika proses pemakaman berlangsung. Ayra yang biasanya terlihat kuat, kini melemah tak berdaya menyaksikan ibunya yang akan dikuburkan. Ia sendirian. Semua tetangga tidak menghiraukan air matanya. Dan tak ada satupun teman yang datang melipur laranya. Bowopun menghilang tak berbekas entah kemana.

“Dia terlihat sedih sekali.” ujar saudara kembarku.

“Biarkan saja kepergian ibu menjadi pelajaran untuknya.”

Satu persatu pelayat beranjak meninggalkan pemakaman. dan semakin lama, Ayra semakin ditinggalkan sendirian. Kini ia tersungkur di atas gundukan tanah ibunya. Dipeluknya erat-erat nisan yang bertuliskan nama ibunya dengan mata basah dan sembap.

“Ia sungguh-sungguh.” Saudara kembarku masih tetap membela Ayra.

“Tidak akan lama.”

“Tapi dia menangis, kau lihat itu!” saudara kembarku membantah lagi.

“Iya, tapi hanya sesaat. Lihat saja nanti.”

“Tapi dia menyesal.”

“Bukan. Ia hanya ingin menangis. Kenapa kau membelanya?”

Kubuat saudara kembarku bungkam.

Dan benar. Saat-saat itu-Ayra menangisi nisan ibunya-hanya berlalu sesaat bagaikan terpaan debu yang terbang dibawa angin dan berlalu begitu saja. Ayra tetaplah Ayra. Ia tidak mendapatkan hidayah atas kejadian yang menimpanya.

“Kenapa kau malah berhenti sekolah?” tanya Indah, teman baru Ayra. Teman? Atau Penyesat?

Ayra menggeleng sambil menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya yang mengepul. “Tidak terlalu penting. toh aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk membiayai sekolahku.”

“Kau bisa cari beasiswa.”

“Aku bukan orang yang pintar.”

“Kau bisa kerja.”

“Upahnya tak seberapa.” Ayra menghisap rokoknya untuk yang terakhir. “Aku mau ikut denganmu. Aku rasa aku bukan anak bawang lagi untuk menjadi sepertimu. Dan aku yakin, pasti banyak yang minat sama aku.” Ujar Ayra pada akhirnya.

“Terserah kau sajalah.” Indah menyerah.

Dengan penuh keyakinan yang salah, Ayra melepas sepatu bututnya kanan kiri bergantian.

“Sepertinya ia tidak membutuhkan kita lagi.” Ujarku kepada saudara kembarku.

“Ya sudah.” Saudara kembarkupun menyerah.

Dan benar. Mula-mula Ayra melepasku yang ada di kaki kirinya, disusul saudara kembarku. Lalu ia menyelipkan kami berdua di sepatu bututnya. Ia benar-benar tak butuh kami lagi. Sebentar lagi, ia akan memakai sepatu berhak tinggi dengan gaun-gaun ketat yang dapat memancing nafsu para laki-laki mata keranjang.

Sebentar lagi, tempat kotor penuh maksiat itu akan menjadi tempat tinggalnya. Akan menjadi mata pencahariannya. Akan menjadi makanan haramnya. Akan menjadi penyesalannya pada akhirnya.

“Sudah cukup, bukan? Kita memang tidak seharusnya mengikutinya ke tempat haram itu!” aku murka.

“Semoga akan ada yang mengambil kita dan sepatu butut ini, Saudaraku. Dan semoga anak itu memiliki akhlak yang mulia dan bisa merawat kita dengan baik.”

“Amin.”

Kami tahu, kami hanyalah sepasang kaos kaki yang memang pada saatnya akan dihiraukan oleh majikan kami. Yaitu di saat kaos kaki itu-kami-kedodoran, kusam, lusuh, dan tak ada harganya lagi.

Meskipun begitu, kami akan tetap berdoa untuk semua kebaikan Ayra. Semoga hidupnya dipermudah. Pun ketika ia mati nanti.

Dan semoga, ia akan secepatnya menyadari bahwa jalan hidup yang ia pilih itu salah. Jalan hidup yang nantinya malah akan menyesatkan dan menggelapkan mata hatinya.

Ya. Semoga saja.

14 Agustus 2010

Dengan segala konflik dan perang batin,

tentang keharafiahan hidup

ps : I LOVE YOU, SUAMIKU :)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun