Disabilitas secara umum adalah keterbatasan pada fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dimiliki oleh seseorang, baik dari lahir maupun karena suatu kejadian dalam waktu yang lama. Disabilitas memiliki jenis yang banyak. Seperti;
- Disabilitas fisik, yaitu keterbatasan pada fungsi anggota fisik. Seperti, bertubuh kerdil dan lumpuh.
- Disabilitas intelektual, yaitu keterbatasan seseorang untuk berpikir sehingga intelektualnya tertinggal dengan orang seumurannya. Seperti, down syndrome
- Disabilitas mental, yaitu adanya gangguan pada psikologis. Seperti, bipolar dan gangguan kecemasan.
- Disabilitas sensorik, yaitu keterbatasan pada pancaindra tubuh. Seperti, tuna netra dan tuna rungu.
Namun, diketahui juga bahwa seorang disabilitas dapat mengalami lebih dari satu keterbatasan. Misalnya, rungu-wicara yang mengalami keterbatasan dalam mendengar dan berbicara.
Jenis kejahatan yang sering dialami korban sangat bervariasi, mulai dari kekerasan verbal hingga fisik. Banyak dari mereka menghadapi kekerasan dalam bentuk verbal, seperti dibully, dipalak, atau difitnah melakukan kekerasan terhadap teman-teman mereka, bahkan sering kali tidak mendapatkan pembelaan di lingkungan sekolah. Selain itu, kekerasan fisik juga terjadi, meliputi pukulan, lemparan batu yang menyebabkan luka, pemukulan dengan benda tumpul, hingga gigitan pada bagian tubuh, seperti pipi dan tangan. Beberapa korban mengalami memar akibat tonjokan di tulang iga atau tendangan di bagian perut. Kejadian-kejadian tersebut kerap kali dilakukan oleh teman bermain, tetangga, dan bahkan dari kalangan keluarga. Pelaku kejahatan ini umumnya berusia tidak jauh berbeda dengan korban, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Sayangnya, setelah kekerasan tersebut terjadi, banyak orang tua merasa keberatan melihat anak mereka mengalami perlakuan semacam itu. Namun, di sekitar lingkungan tempat tinggal korban, masih ada yang tidak memahami kondisi kesehatan fisik ataupun mental anak yang berbeda dari anak-anak seusianya. Tidak ada orang tua yang tidak merasa sedih ketika anak mereka menjadi sasaran perundungan, terutama jika pelaku adalah orang terdekat. Ketika orang tua berupaya melaporkan kejadian tersebut kepada aparat setempat, seperti RT atau RW, sering kali mereka tidak mendapatkan respons yang memadai. Banyak yang menganggap bahwa ini hanya sekadar perselisihan anak kecil, sehingga menangani kasus tersebut tidak dianggap serius. Akibatnya, orang tua korban cenderung merasa putus asa dan berhenti melaporkan perundungan yang dialami anak mereka. Mereka lebih memilih untuk bersabar, berdoa, dan menghibur anak mereka, daripada berupaya mencari keadilan. Sungguh menyedihkan melihat anak-anak dengan keterbatasan fisik maupun mental tidak mendapatkan haknya sebagai korban. Oleh karena itu, kami berharap adanya pasal khusus untuk melindungi keluarga dan korban dari perundungan, serta memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan tanpa memandang usia. Penting juga untuk merevisi undang-undang tentang anak-anak, karena banyak pelaku di bawah umur yang berlindung di balik hukum tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI