[caption id="attachment_126552" align="alignleft" width="300" caption="sumber: Google"][/caption] Hal yang membedakanku dengan Casanova, Si Petualang Cinta, hanya satu; keyakinan akan Tuhan. Dia seorang monoteis setia. Filsafat membuatnya semakin kokoh sebagai orang bebas yang ber-Tuhan. Aku adalah ateis, memercayai doktrin kaum Stoic yang hanya butuh menyelaraskan diri dengan alam semesta dalam menjalani kehidupan. Aku menjadi bebas: sebebas-bebasnya. Bebas soal rasa, soal nilai, soal cinta…. Cinta? Aku berguru banyak pada Casanova. Tidur mendengkur di rumahnya, sesekali terbangun membaui aroma tubuhnya selepas pesta bersama wanita pencari cinta. Parfum-parfum bercampur baur dengan keringat Casanova muda yang membuatku segera berfantasi tentang cinta. Bergegas aku mendatangi wanita-wanita yang bermukim di kastil-kastil bangsawan ataupun di gereja-gereja tua yang tak lagi terpakai. Kami berpesta cinta dalam gairah yang tak pernah selesai. Aku sering duduk di bawah ketiaknya menerima pelajaran tentang cinta; bagaimana merayu wanita, mengajak mereka berjalan ke arah ranjang lalu bergerak di atasnya. Jika cinta merasuki hati, orang mampu saling membohongi. Mengikutinya berpetualang ke Wina, Venesia, Paris, Marseille; menggodai bangsawan kelas atas Eropa hingga dua biarawati Venesia, aku adalah pengagum dan murid yang setia. [caption id="attachment_126553" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: Google"][/caption] Lalu, sebagai yang fana, di Dux, ia meninggalkan dunia ini selamanya. Keterasingan, kesepian, dan kejenuhan menelikung kehidupannya yang mendadak menjadi melankolis di usia senja. Kasihan, ucapku melepasnya pergi. Aku kini mengembara, meneruskan segala ilmunya. Banyak wanita terpeleset jatuh pada wajahku yang seperti kata Virgilius sang penyair cinta: aku tak jelek-jelek amat, ketika kutatap diriku di air saat laut tenang. Beratus tahun hingga kini…. Eropa yang menua, pada senja langit yang menaunginya, aku berhenti di samping sebuah jendela. Senja berikutnya, aku selalu menyempatkan diri mendengarkan nyanyiannya yang terdengar indah. Beratus-ratus tahun hatiku tak pernah tersentuh dengan kehangatan yang begitu murni. Nafsu bersenang-senangku menguap bersama hembusan nafasku yang setia menungguinya. Aku tak tahu ini perasaan apa. Bahkan wanita itu, yang anggun dan teduh dalam nyanyiannya, maukah menerima kehadiranku begitu saja? [caption id="attachment_126554" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: Google"][/caption] Belum sempat terjawab, wanita itu telah pergi ke surga. Beribu cahaya putih mengiringi kepergiannya…. Aku menangis di samping jendela, bertekad mencari tahu isi nyanyiannya. Nyanyian dalam bahasa yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Beruntung seorang teman memerkenalkanku pada seorang tua yang kelihatannya bijaksana. Kukatakan, "terakhir kali kudengar ia menyanyi lagu ini." Ia tersenyum, menawarkan padaku arti syairnya. Katanya, "katakanlah (Muhammad), 'telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan),', lalu mereka berkata, 'kami telah mendengar bacaan yang menakjubkan (Al Qur'an), (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar…," "Siapa itu jin?" tanyaku. "Engkau." Aku terdiam. Dia telah mengenalku sejak lamakah? Bahkan sebelum kudatangi, ia telah meninggalkan sebuah pesan yang begitu dalam. Jika tidak di dunia fana, setelah aku mati, bisakah aku bertemu lagi dan mencintainya, menjadikannya pengantin semesta? Tak berjawab. Namun aku selalu berdoa agar bisa bertemu dia. Dia, wanita yang mengajariku berdoa, bukan Casanova. [caption id="attachment_126555" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: Google"][/caption] --> end
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H