Mohon tunggu...
Qonita Musa
Qonita Musa Mohon Tunggu... -

Ibu Rumah tangga dan Penulis yang suka belajar....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyathu

19 Mei 2011   04:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_108991" align="alignleft" width="150" caption="sumber: google"][/caption] Malam itu tidak ada yang lebih asyik daripada masak mie a la Bunda Nana a.k.a saya sendiri saat perut butuh hidangan hiburan. Jadi, maka jadilah. Bawang putih yang dikeprek dan ditumis dengan irisan bawang bombay. Lengkap dengan tambahan bakso, sosis, saus tiram, plus saus Pad Thai impor yang menyertakan label halal keluaran otoritas negara asal. Rasanya? Mak nyusss. Tentu, "mak nyusss" ini miturut kadar subyektifitas saya, dan setidaknya, kata anggota keluarga dan asisten rumah tangga saya kemudian. Entahlah, mungkin mereka tidak ingin membuat hati saya terluka.

Saat sebuah piring saya penuhi selepas masakan saya matang dan siap menyantapnya di depan laptop, tiba-tiba asisten saya berteriak panik, "Kok nggak nyathu buat Bapak?"

Heh? Nyathu? Kuping saya langsung alert. Nada-nadanya seperti diucapkan untuk "mendakwa"saya. Maklumlah, asisten saya ini berusia jauh lebih tua dari saya yang terkadang suka memprotes kebar-baran saya sebagai anak muda. Ehehehe....

Saya langsung mengamati tingkah polah Bibi yang langsung melesat pergi setelah bertanya dengan bahasa anehnya. Sebenarnya mungkin sayanya yang aneh. Bibi saya adalah orang Jawa seperti saya. Tapi entahlah, apa karena bahasa di Jawa Timur (asal saya) memiliki banyak perbedaan dengan bahasa Jawa di Pekalongan-Jawa Tengah (asal si Bibi). Yang jelas, dan yang pasti saya tahu, saya ternyata adalah generasi yang suka keceplosan bilang diskon daripada korting, proposal daripada usulan, dinner daripada makan malam.... Nah, untuk urusan peduli dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar saja saya harus lebih bijak lagi, apalagi Bahasa Jawa yang sangat kaya itu.

Maka, mata saya masih penasaran menangkap bayangan Bibi yang dengan gesit mengambil piring, bablas ke dapur, yang kemudian kembali ke ruang tengah dengan sepiring penuh mie yang segera diletakkan di atas meja. Ditutup rapat. Berjajar dengan segelas teh panas milik suami saya.

"Mestinya, sebelum makan, suami itu diambilkan dulu. Dicathu. Baru yang lain makan,"

Saya cengengesan. Iseng, saya bertanya, "Kenapa harus begitu?"

"Lho, suami itu kan yang mencari duit. Jangan diberi sisa."

Elho, sesederhana itu? Lha, saya yang sampai pecicilan ngurusi anak-anak dan tetek bengeknya rumah tangga itu hanya dianggap "warga kelas dua" yang berhak makan setelah jatah "warga kelas satu" terpenuhi? Dan, itu hanya karena yang pecicilan di rumah itu nggak pernah akan mendatangkan uang?

Wah! Dosa besar dalam pandangan feminisme itu. Bisa ditimpuk dan di-uyel-uyel banyak perempuan si Bibi ini. Ehehehe....

Saya menawar, "Lha, tidak harus begitu, toh? Lagipula, saya tidak nyisani. Saya ambil di piring saya sendiri. Habis ini tentu akan saya ambilkan sepiring lagi buat suami saya."

"Tidak bisa begitu. Suami harus didahulukan." Ngotot.

Saya lantas berpidato dalam hati. Ketahuilah, Bibi, jaman sekarang bahkan, memutuskan "berdiam" diri di rumah dan meredam keinginan untuk berkarier sendiri sudahlah amat berat rasanya. Perang batin dan perang perasaan. Toh, di saat akhirnya saya memilih dengan penuh kesadaran untuk menjadi stay at home mom tidak lantas membuat mata saya menyala merah penuh permusuhan terhadap pilihan orang lain baik menjadi wanita karier atau part timer atau apalah namanya saking banyaknya istilah. Maka, saya sudah sangat lama meninggalkan perdebatan antara pentingnya berkarier yang otomatis menghasilkan pendapatan sendiri dengan pentingnya "hanya" menjadi stay at home mom. Saya tidak merasa harus menjadikan keduanya sebagai simbol mata uang yang saling berpunggungan. Toh, jika saya ikut-ikutan mengamalkan archimedean point itu maka saya akan segera melesat ke angkasa dan mendapati kenyataan bahwa mata uang itu sudah menjadi begitu kecil, sudah tidak kelihatan lagi mana punggung yang satu dan lainnya. Semakin tinggi saya mengangkasa bahkan uang itu sudah tak terlihat lagi.... Alih-alih membicarakan mata uang yang sebesar kumanpun tidak, saya mungkin sudah tertarik dengan hal-hal yang lebih besar lagi.

Kenapa mesti begitu ribut yang bahkan perempuan yang dibela-bela itu malah memiliki caranya sendiri untuk menjadi seorang wanita yang berbahagia dan ia menikmatinya? Saya sungguh lebih senang memandang wanita sebagai dirinya sendiri, yang bahagia dengan hidupnya, dengan caranya sendiri. Termasuk dengan wanita bahagia versi Bibi. Kalau ia bahagia dengan caranya itu, kenapa saya yang harus bergejolak? Setiap wanita tentu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya tanpa saling memojokkan satu sama lain.

Sudah dari asalnya wanita itu tumbuh secara nature dan nurture. Setahu saya, wanita itu memang produk alamiah dan produk budaya, bukan? Maka, kesadaran untuk nyathu itu tentu sebuah warisan budaya. Alasan melakukan nyathu, yang dimaknai oleh Bibi sebagai penghormatan atas orang yang telah berjasa mencari uang, itu juga tentu adalah sebuah semangat dari hasil warisan budaya.

Sebagai wanita Jawa, saya tidak berkeberatan melestarikan budaya nyathu yang sebenarnya sudah diajarkan oleh ibu saya yang juga wanita karier itu. Namun, saya pribadi telah mengganti semangat nyathu yang dipakai di Bibi dengan semangat saya sendiri. Yakni, saya nyathu karena this is the way I love him. Saya mendahulukan dan mengutamakan sepiring makanan buat suami saya karena saya menghormati belahan hati saya. Dan, saya ingin budaya ini yang kelak diwarisi putri saya.

Ah, sayang, Bibi baru seminggu bekerja di rumah saya dan baru kali ini melihat saya memasak. Diam-diam, saya nyathu juga, lho, Bi.... Hanya, kali ini saya kelupaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun