Mohon tunggu...
Qonita Musa
Qonita Musa Mohon Tunggu... -

Ibu Rumah tangga dan Penulis yang suka belajar....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Mak-Mak Soal Eksistensi

22 Januari 2011   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan 6

Buat mak-mak seperti saya, "serangan" pujian sebagai penulis yang prof sudah membuat saya melayang.... Lha, siapa saya, sih? Baru juga mulai eksis dengan beberapa buku yang nggak sesepektakuler Kang Abik (ehehehe, maunya).... Lalu datang permintaan untuk menjadi "guru" menulis, lalu permintaan membaca naskah ini itu, jadi juri lomba, jadi "seleb sombong" karena nggak selalu ngasih komen kalau disapa, terakhir yang paling aneh, rekomendasi untuk meraih beasiswa seniman panggung. Hiyaaaaaaaaa.... Nggak salah tuh, Jeng? Again, siapa saya, sih? (Gayanya.... Padahal, saya suka semua pujian dan cibiran itu karena menandakan bahwa saya ini "ada".)

Tapi, bukan itu yang saya mau obrolin ngalor-ngidul ini. Ini soal eksistensi saya. Hloh? Ini eksistensi apalagi? Nggak cukup mengejar eksistensi jadi istri dan ibu yang shalihat? Bukan, Jeng! Ini bukan soal relijiusitas. Artinya, bagi saya, kebutuhan sebuah eksistensi kemanusiaan saya berbanding lurus dengan konsep relijiusitas: keshalihan. Artinya lagi, kalau saya sukses di dua hal itu maka akan saya dapatkan apa yang namanya kebahagiaan dunia akhirat. Gampangnya begini, saya kadang bengong ada yang bilang: Huebbat ya Bu Maryam itu, sudah shalihat, bisnisnya sukses! Denger-denger baru saja beli vila lagi untuk disulap jadi yayasan yatim piatu.

Nah, lain Bu Maryam lain saya, dong! Kalau Bu Maryam sudah sukses jadi pebisnis sukses, maka saya masih dalam maqom yang bengong pengen "menjadi". Saya rupanya kena juga sindrom pengen diketahui kalau saya itu "ada".

Kalau saya mau naik kelas ke maqom yang lebih tinggi, saya harus putar otak gimana caranya saya bisa moving forward! Kenyataannya, selama bertahun-tahun menikah, saya ya begitu-begitu saja. Dapur, sumur, kasur. Suami kurang "merestui" saya untuk berkiprah di dunia kerja. Bukannya melarang, namun prioritas saya saat ini harusnya anak-anak di rumah.

Jadi, apa ya yang bisa bisa membuat saya merasa eksis? Tadinya, saya merasa "melayang" setiap suami memberi pujian praktek masakan atau kue saya yang berhasil. Pujian rumah yang bersih dan rapi. Saya gitu lho! Cuma ya itu, kok berasa di dunia hanya ada saya dan suami ya? Paling banter, tetangga sebelah.

Saya panik. Saya merasa "sesuatu" yang terpendam dalam diri saya akan sia-sia. Namun syukurlah, badai kepanikan itu mereda setelah suami memberikan saya modem dan saya bisa eksis kembali di dunia maya akhir tahun 2009 (lima tahun setelah menikah). Januari 2010 saya mulai menikmati sebuah eksistensi di dunia maya.

Maya nggak maya sudah nggak jadi masalah lagi. Selain ini efek individualisme manusia metro, nyatanya di Facebook saya merasa "ada". Bayangkan, nulis status yang cuma beberapa karakter saja sudah menuai komen. Belum nulis catatan. Wah, rasanya kok menghangat seluruh badan ini. Saya kadang mendapat pujian, tak jarang mendapat dukungan, empati. Ternyata, saya nggak hidup sama suami doang di dunia ini! Hidup kok ya jadi tidak jenuh karena dapur, sumur, dan kasur. Hidup jadi terasa lebih berwarna dari sekedar warna putih tembok dan paling banter cat cokelat daun pintu. Bahkan, feedback langsung dari teman-teman itu menandakan bahwa saya ini manusia yang eksis. Ada yang memperhatikan saya, peduli dengan saya. Ealah, keinginan saya untuk "menjadi" dan "mengada" itu kok ya sesederhana itu ternyata....

Eh, siapa sangka, soal eksistensi saya ini ada yang protes. Bukan soal betapa sederhananya kebutuhan jiwa saya itu. Tapi, batin saya "nyinyir", protes bahwa saya ini ternyata nggak naik maqom dengan merasa sudah mengatasi persoalan eksistensi ini. Saya turun maqom katanya, Jeng!

Hloh? Kok bisa? Jangan lha-lho saja. Itu, siapa itu yang masih kebingungan pengen "menjadi", mencari sesuatu, hingga tersangkut di dunia maya pun tak masalah? Itu tandanya saya beberapa fase saja di atas infantil, alis remaja yang masih mencari pengakuan. Mestinya, saya ini, yang sudah 29 tahun, harusnya memenuhi tugas-tugas perkembangan dewasa awal. Apa itu? Memikirkan kemapanan. Lha, ini, masih sibuk nyari pengakuan.

Waduh, ada yang ketelingsut dari batin saya yang sudah nyinyir itu. Orang memang bisa menjadi tidak dewasa karena pengalaman psikologis tertentu. Namun, orang yang sudah dewasa pun, yang sudah mapanpun, bisa terkena neurosis yang satu ini. Apa itu? Noogenik Neurosis. Ini bukan jenis penyakit atau patologi, Jeng! Ini hanya sebuah kecemasan akan kehampaan eksistensial.

Siapapun, orang dewasa atau orang tua, bisa mengalaminya. Mereka memang selalu menjalin relasi dengan siapapun. Namun, batin mereka kosong. Sebabnya? Macam-macam. Kalau saya, ya penyebabnya adalah kehampaan sebagai ibu rumah tangga. Titik, tanpa koma. Maka "titik" itu bersambung dengan kalimat berikutnya: bahwa tidak semua ibu rumah tangga itu mengalami noogenik neurosis yang disebabkan oleh frustrasi eksistensial seperti saya. Ingat, ini persoalan saya yang unik. Orang lain memiliki persoalan yang unik pula.

Jadi, fakta yang ada adalah tidak semua yang asyik di Facebook itu menderita sebuah penyakit "pencarian jadi diri" layaknya seorang yang tidak dewasa. Bahayanya, kalau sampai ada orang yang bilang itu adalah sebuah bentuk "pelarian". Aduh, Jeng! Hari gini jangan suka membuat kesimpulan nggak penting ya. Tahukah, Jeng? Bahkan, apa yang mungkin dikatakan orang sebagai sebuah bentuk pelarian atau katarsis nggak penting itubisa mendatangkan solusi yang lebih baik. So, masih pusingkah dengan "apa kata orang"? Kita tahu apa yang sedang kita pilih dan kita lakukan!

Buat saya, bergabung lagi dengan teman penulis di Facebook dan kembali menulis telah mewarnai hidup. Facebook telah menjadi ajang sosialisasi dan membuat jaringan. Saya tak pernah lupa, saya ini pernah jadi penulis yang bisa beli komputer dari hasil tulisan sendiri. Itu jaman masih jadi mahasiswa. Ehehehe....

Nah, efeknya kemudian adalah seperti paragraf awal yang saya tuliskan. Saya "dituduh" sudah jadi emak-emak penulis beneran. Ehehehe.... Amiiinnnn.... Yang jelas, saat saya menikmati peran saya sebagai penulis (yang masih harus belajar), kok ternyata saya masih belum berani menempatkan itu di atas prioritas keluarga saya. Jadi, saya nggak moving forward lagi? Stuck saja? Nggak pengen membangun kemapanan di dunia kepenulisan sebagai menifestasi kedewasaan saya?

Lain Bu Maryam, lain saya. Kerajaan bisnis adalah bukti keberadaannya sedangkan saat ini saya menjadi otentik dengan menulis. Namun, untuk keep on moving forward being a writer ini masih berbenturan dengan banyak hal. Alon-alon asal kelakon, bisik batin saya. Saya juga tidak merasa stuck, kok. Justru saya merasa sudah mengatasi masalah saya yang unik itu.

Nah, alon-alon sajalah. Bahkan, siapa, sih, yang bisa menjamin bahwa bentuk eksistensi itu tidak berubah-rubah sesuai dengan kelangsungan hidupnya? Namanya juga manusia.... Hloh? Jangan lha-lho saja.... Itu yang baca tulisan saya ini sudah senyum-senyum memikirkan eksistensi dirinya.

Depok, 11.05 pm 12-01-2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun