Catatan 8
Ngobrol soal suami-istri, yang sejauh ini predikat itu melekat pada pria-wanita, adalah hal yang selalu asyik dan menarik. Why? Lha ya, Jeng, bukankah dunia nggak pernah sepi oleh kontroversi sejauh mana mereka "sama" dan "berbeda"?
Ngomongin soal "berbeda" itu ntar dulu, ya. Kali ini saya mau ngobrolin soal "sama". Kesamaan yang membuahkan kesetaraan. Percaya, nggak, Jeng, pas baca buku-bukunya Nawal El Saadawi atau Simone de Beauvoir atau penulis feminis sejenisnya, saya mendadak menutup wajah saya dengan kedua telapak tangan saya dan perlahan membukanya lalu berteriak, "Aaarrggghhh!"
Wah, ada yang ketawa rupanya melihat saya berteriak. Masalahnya, Jeng, ini menghentak sekaligus menarik! Kalau Jeng sudah baca buku Nawal semacam Woman at Point Zero itu ya pasti akan memaklumi sedikitlah kenapa kok ya pemikirannya menjadi seperti itu. Fakta tokoh dalam novel itu sungguh termarjinalkan sebab "kesewenang-wenangan" laki-laki meski dalam otak saya sedikit menghentak berpikir, "Mungkin ini orang nggak pernah melihat kehidupan muslimah yang diperistri laki-laki shalih." Catat ya, Jeng, LAKI-LAKI SHALIH (udah saya tulis dengan huruf besar). Bukan laki-laki yang beragama Islam!
Nah, menariknya dimana? Kemarin-kemarin sudah saya ajak Jeng bicara soal eksistensi, kan? Saya membayangkan suatu saat Jeng bertemu dengan eksistensialis perempuan semacam Simone de Beauvoir. Ehehehehe....
Bicara soal Jeng Simone ini, saya jadi ingat kisah cinta saya yang sederhana itu. Saya bersama suami menikah dengan singkat sekali. Bisa dikatakan, awal menikah kami hanya saling merasa tertarik saja, belum mencinta. Namun, begitulah, Jeng, pernikahan itu alhamdulilah mendewasakan kami sehingga kami mampu memaknai kebersamaan kami dengan berbagai kebebasan dan tanggungjawab kami sebagai manusia yang bertuhankan Allah. Bertuhankan Allah pastilah memiliki konsekuensi yang mutlak harus kita ikuti.
Lalu, saya membayangkan, betapa rumitnya kisah cinta Simone de Beauvoir dan kekasihnya, Jean Paul Sartre. Pak Sartre ini, Jeng, cintaaaa banget sama Jeng Simone. Saya rasa begitu juga sebaliknya. Kalau nggak, kan, nggak mungkin Jeng Simone sibuk mengenang-ngenang kekasihnya hingga mereka berdua tidak menikah seumur hidup, menulis buku tentang masing-masing, dan dikuburkan bersebelahan di Cimitiere du Montparnasse, Paris....
Ketika saya membaca novelnya Jean Paul Sartre yang berjudul The Age of Reason itu, saya menjadi tahu betapa laki-laki ini, yang kondang sebagai eksistensialis, mengharapkan sebuah cinta yang begitu sederhana. Cinta yang berakhir pada pernikahan.
Ceritanya, Jeng Simone ini keukeuh mempertahakan pendapatnya bahwa setiap individu haruslah membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya berdasarkan pemikirannya dengan penuh kesadaran. Sederhananya, Jeng Simone beranggapan bahwa perempuan itu telah dianggap sebagai obyek oleh para pria. Perempuan tidaklah dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan. Perempuan tidaklah otentik karena ia menjadi perempuan secara sistematik (budaya patriarki) sehingga mereka pun mengalami penindasan secara sistematik. Harusnya, perempuan itu mampu "menjadi", yakni perempuan memiliki otoritas dan hidup sebagai subyek yang bebas berkehendak, berkeinginan, memilih, dan sebagainya.
Nah, sebab itulah Jeng Simone sangat menentang lembaga perkawinan hingga dengan gagah berani menolak menuruti ajakan kekasihnya untuk menikah. Bahkan, dalam bukunya yang ia tulis untuk mengenang kekasihnya itu, ia menulis: kematian tidak akan membawa kita bersatu lagi dan kita telah mampu hidup bersama dalam harmoni yang begitu lama.
Ya, Pak Sartre sama Jeng Simone hidup bersama, sepanjang hidup mereka sejak bertemu di kampus Sorbonne, tanpa menikah. Itu yang diinginkan Jeng Simone. Fyuuhhhh.... Saya langsung ngelap jidat. Kisah cinta yang romantis nggak, sih, ini sebenarnya, Jeng?
Ahahaha, Jeng kok malah geleng-geleng kepala, sih? Itu geleng-geleng "heran" atau geleng-geleng "nggak"?
Saya kadang terhenyak, lalu sedetik kemudian... saya bersyukur.... Thanks, God, diri-Mu menjejalkan kesederhanaan berpikir di otak saya. Why?
Saya ini nggak perlu repot-repot bertahan nggak menikah hanya karena soal "mengada" ini. Dalam pernikahan saya, tidak ada siapa subyek siapa obyek. Bahkan, ketika menikah pun, saya telah memiliki otoritas untuk memilih pasangan saya alias mau menikah dengan siapa saya, sayalah yang memutuskan. Bukankah Rasul juga menyuruh untuk bertanya pada anak gadis yang dipinang orang?
Jadilah saya menikah. Apakah suami menindas saya? Hmmm..., jawabannya adalah TIDAK! Wah, Mak, kok ditulis besar-besar hurufnya? Yakin, Mak? Kenapa nggak? Sepanjang akal berpikir, itulah yang saya temui. Ada, sih, soal suami yang tiba-tiba marah karena saya terlupa membawa barangnya ketika bepergian. Nah, giliran suami yang lupa membawa barang saya ketika bepergian, saya marah, dong. Durhaka? Tunggu, sustansinya bukan itu, Jeng....
Kita hanya harus marah dengan cara yang baik kepada suami. Demikian pula suami, harus marah dengan cara yang baik kepada istri. Kalau nggak bisa? Ada yang ngeluh: haduuh, Mak, saya mana berani melawan suami? Wah! Siapa yang mengajarkan untuk melawan suami, Jeng? Itu masalah karakter saja. Bahkan, menurut saya, wanita banyak juga yang tak kalah keras kepala dengan pria.
Kenapa, sih, harus "takut" pada suami? Suami kita dalah orang shalih yang tidak akan serta merta mengecilkan kita. Coba, tengok ke dalam, sudahkah kita menyampaikan unek-unek kita dengan cara yang bisa dipahami suami? Berhentilah untuk takut dan ajaklah suami bicara. Kalau tidak bisa diajak bicara? Wah, Sule di OVJ saja bisa jawab dengan gaya Tiongkoknya, "Oh, tidak bisssaaa...."
Suami shalih pasti bisa diajak bicara. Tidak peduli betapa keras sifatnya. Asal kita bicaranya juga bener. Kita saja kalau suami bicara keliru juga nggk bisa kita terima, kan? Jadi, masalah karakter ini harus diselesaikan dengan pendekatan karakter juga, Jeng. Ini dimensi psikologis. Sebagai manusia yang bertuhankan Allah, tentu saja kita bisa berdoa, memohonkan kelembutan hati suami. Ini hanya masalah metode komunikasi, bukan penindasan dimana wanita tidak bisa menghadapinya. Maka, jika masalah itu tidak kunjung bisa diselesaikan, kita tinggal memilih dan memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.
Suami saya memberi saya kebebasan. Lho, kalau begitu, kenapa keinginan untuk aktif bekerja di luar rumah saya simpan dalam lemari? Nah, ini dia yang namanya komitmen dalam rumah tangga. Membelenggukah komitmen itu? Menindaskah? Dalam kesederhanaan pikiran saya, saya senantiasa berpikir bahwa dalam hidup ini saya tidak harus berpikir kalah dan menang. Saya tidak bekerja sedangkan suami saya bekerja tentulah bukan berarti saya kalah. Wah, mungkin Jeng berpikir, kalau gitu kenapa saya nggak ambil jalan tengah saja? Kesetaraan. Saya kerja, suami kerja. Nggak ada yang menang dan kalah juga, kan? Masalahnya, Jeng, apa yangmenjadi tujuan rumah tangga orang itu berbeda-beda.
Rumah tangga bagi saya adalah sinergi untuk mencapai sebuah tujuan. Otomatis, tanggungjawab pasangan suami istri itu memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu yang membutuhkan sebuah pilihan untuk mecapai tujuan bersama. Bagi saya prioritas saya saat ini adalah anak-anak saya dan suami saya. Bagi orang lain mungkin beda lagi. Itu tentu saja miturut komitmen masing-masing.
Saya memilih untuk menjadi seorang istri dan ibu full time. Maka, "memilih" itu sendiri adalah bukti saya telah "mengada".
Terakhir, sebagai bentuk konsekuensi eksistensial, saya tak harus memojokkan Jeng Simone dan pilihannya itu. Saya hanya harus memerintah otak saya agar meninggalkan hal-hal yang tak harus saya pilih.
Nah, apakah Jeng sudah memilih?
Depok, 19 Januari 2011 5:56 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H