Mohon tunggu...
Qonita Musa
Qonita Musa Mohon Tunggu... -

Ibu Rumah tangga dan Penulis yang suka belajar....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Being "Me"!

22 Januari 2011   01:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan 7

Gara-gara ngomongin soal eksistensi kemarin (tentang wanita karier dan rumahan), ada lanjutannya nih…. Kok bisa? Sebabnya, ada beberapa pernyataan yang harus saya tanggapi. Hloh?

"Wah, aku ini kok merasa bermakna kalau sudah bekerja. Aku lebih merasa hidup kalau aku berkarier. Lagipula, pekerjaanku sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tapi, bukan berarti aku melupakan keluarga lho…," kata seorang ibu yang berkarier di luar.

Saya jawab, itu oke, Jeng! Mananya yang salah? Asal Jeng merasa oke dengan keputusan itu dan bisa mempertanggungjawabkannya.

"Wah, aku wanita bekerja lho. Tapi aku merasa hidupku lebih bermakna justru di tengah-tengah keluargaku," kata seorang ibu juga dengan karier yang oke.

Saya jawab, itu oke juga, Jeng! Nggak ada yang keliru. Asal Jeng merasa oke dengan keputusan itu dan bisa mempertanggungjawabkannya.

"Wah, aku nggak bekerja, cuma di rumah saja. Tapi hidupku sudah sangat bermakna dengan berada di tengah-tengah keluarga," kata seorang ibu rumah tangga.

Saya jawab, itu juga sip, Jeng! Nggak ada yang salah. Asal Jeng merasa oke dengan keputusan itu dan bisa mempertanggungjawabkannya.

"Saya jadi nggak enak. Kalau saya merasa hampa hanya jadi ibu rumah tangga, saya akan dikira gimana, ya? Padahal saya ingin lebih "hidup" saja. Tapi saya malu ingin mengungkapkannya," kata seorang ibu rumah tangga tulen.

"Saya sebenarnya merasa keluarga adalah segala-galanya buat saya. Saya ingin di rumah saja dengan anak-anak. Saya merasa bosan dan jenuh dengan masalah kantor. Masalahnya, saya terlihat tidak keren jika hanya berdiam diri di rumah saja. Keluarga besar saya juga tidak terlalu menghargai saya jika saya tidak memiliki karier. Saya malu...," kata seorang wanita karier yang sukses.

"Saya memang terpaksa bekerja. Bagaimana lagi? Kebutuhan hidup kami tinggi sedangkan gaji suami tidak bisa menopangnya. Bagi saya hidup inilebih bermakna apabila saya bisa membantu suami meringankan beban hidup kami...," kata seorang ibu pekerja.

Nah.... Nah.... Ini sudah ketemu letak masalahnya dimana. Masalahnya adalah ada yang masih malu mengatakan dan mengakui bahwa ia merasa sepi, jenuh, gelisah dengan hidupnya. Jika ia mengingkarinya, bagaimana ia bisa menyelesaikan masalahnya? Parahnya, itu hanya karena perkiraan orang lain. Alias, apa kata orang!

Sering kita ini terjebak oleh perilaku menganggap orang yang melakukan kontak dengan kita sebagai seorang obyek. Apanya yang keliru? Hloh, Jeng, dengan perilaku itu, kita jadi mudah menilai orang! Bahkan, menghakimi. Parrraahnya lagi, orang itu menganggap penilaiannya sudah pasti benar.

Dan, klimaksnya, yang memiliki penilaian sama terhadap sebuah obyek itu saling bertemu, bergerombol, berbicara tentang kebenaran dan merumuskan bahwa mereka telah membuat sebuah kesimpulan yang benar. Jadilah kebenaran kolektif.

Lantas, apa hubungannya dengan kita? Astaga, Jeng ini bagaimana? Coba, dibalik, bagaimana kalau obyek itu adalah kita sendiri? Bisa nggak membayangkan apa yang menjadi kebenaran kolektif itu adalah sesuatu yang keliru, sesuatu yang negatif, dan itu menghalangi kita untuk berpikir bahwa sebenarnya kitalah yang benar dan merekalah yang keliru? Merasa nggak, hanya karena kita memiliki pandangan yang berbeda, kita sering dicap sebagai orang aneh?

Nah, bener, kan, kata saya? Sampai disini, yang baca tulisan saya sudah ngangguk-ngangguk setuju. Ehehehe....

Kalau diri kita tidak bermasalah dengan sebuah rasa, yakni kesepian, lupakan tulisan ini. Artinya, Jeng sudah tahu bagaimana caranya menikmati hidup. Namun, apabila Jeng sudah merasa jenuh, takut, dan gelisah, maka silakan Jeng berpikir sejenak.

Kesepian adalah bersumber dari jiwa yang mengalami kekosongan. Manifestasinya adalah perasaan jenuh, bosan, takut, gelisah, dll. Orang yang tertimpa perasaan seperti ini akan membuat dirinya merasa tidak berdaya, tidak berharga, bahkan yang paling parah, ia merasa bosan dengan hidup. Oh, no! Apa yang sedang terjadi? Yang terjadi adalah... ia kehilangan diri sendiri! Konsep ini jelas berbeda dengan seperti kehilangan jati diri lho, Jeng.

Sekarang lupakan omongan orang, lupakan kebenaran kolektif, lupakan saja orang yang datang pada kita dan gemar menasehati kita seolah dia tahu semua tentang kita dan tahu apa yang harus kita lakukan. BAHKAN (huruf besar, nih), lupakan apa kemungkinan-kemungkinan anggapan kita tentang diri kita sendiri! APALAGI (huruf besar lagi, nih) teori-teori dan praduga ilmiah yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi dengan diri Jeng. DAN (haduh, huruf besar lagi), amati kenyataan sehari-hari kita. Semangatkah? Segar bugarkah? Bermaknakah?

Haduuuh, Jeng merasa hidup Jeng tidak bermakna? Kenapa bisa begitu, ya? Ah ya, lupakan sebab-akibat kenapa hidup Jeng menjadi seperti ini sekarang! Pikirkan tentang motivasi hidup yang Jeng pilih untuk menemukan hidup yang bermakna. Masih bingung? Sekarang coba pikirkan analogi "JENDELA". Jendela itu bisa terbuka oleh angin dan juga oleh Jeng sendiri. Wah, pintu kamar tidak ditutup, sih, wajar, dong, dorongan angin yang masuk dari arah pintu mengakibatkan jendela itu terbuka. Tapi, jendela itu bisa terbuka juga jika Jeng menghendakinya. Dan, untuk membuka sebuah jendela, Jeng pasti punya alasan, misalnya, mencari udara segar atau Jeng ingin memanggil tukang kue yang lewat. Apa saja yang Jeng inginkan.

Percayalah, hidup kita ini tidak seperti beras di dalam karung atau baju di dalam lemari. Sudah, begitu saja. Memang sewajarnya begitu. Kita harus memahami diri sendiri, kita harus membangun diri sendiri untuk "menjadi", mengada dalam dunia, sebagaimana kita bukanlah baju dalam lemari.

Apa untungnya mampu "menjadi"? Untungnya, dengan pengalaman ini, Jeng bebas dari rasa hampa dan tidak berdaya. Selanjutnya, Jeng tidak akan membuat kesalahan yang sama! Jeng akan memperlakukan orang lain sebagai subyek, bukan obyek!Subyek yang selalu berproses secara dinamis, subyek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri.

Bayangkan! Jika semua orang mampu berpikir begitu, maka akan terjadi hubungan antarpribadi yang ideal. Yang ada adalah sikap empati dan sikap kebersamaan yang merupakan tuntutan hidup sosial. Tidak ada lagi emak-emak yang bergerombol dan bergunjing, "Wah, Jeng Neny itu yang ada di pikirannya cuma kerjaan saja ya.... Anak-anak dan suaminya pasti terlantar!"

Aduh, Jeng Neny, Jeng Neny....

Depok, 15-01-2011 10.13 pm

Catatan 6 dan 7 adalah persiapan sebuah buku yang sedang saya garap.

Being "ME"!

(Curhat "Emak-Emak" Soal Eksistensi)

Sumber: Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensial. Bandung: Eresco

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun