Mie instan rasa ayam bawang sudah ia beli. Beberapa kotak martabak manis atau yang biasa di sebut kue bandung oleh sebagian orang juga sudah dalam genggaman. Langit mulai gelap, ia bergegas pulang dan menyimpan belanjaannya di dalam kamar kecil dengan penghuni yang tak sedikit. Pondok pesantren dan kamar yang tak terlalu luas serta lingkungan yang selalu disiplin membuat sebagian besar orang tak akan betah tinggal. Namun ia patahkan semua asumsi luar dengan kisahnya.Â
"Bu Nyai, mau ijin masak mie instan satu kardus untuk syukuran. Niki artone, nggih." Ia segera memasukkanb eberapa lembar uang kecil guna menebus biaya gas yang akan terpakai nantinya.Â
Beliau mengangguk tersenyum. Tak lupa beliau selipkan candaan-candaan kecil agar suasana tak begitu canggung. Tak sampai lima menit, ia sudah kembali disibukkan dengan urusan dapur. Dilihatnya, dapur sudah penuh dengan anak-anak kamar yang turut membantu mengiris bawang, cabai,dan beberapa sayuran untuk di campur agar lebih sedap dan nikmat nantinya.Â
Sudah setengah jam berlalu namun dapur masih sangatlah ramai. Tawa dan lelucon yang saling dilemparkan membuat suasana dapur agak cukup gaduh. Letaknya yang tak terlalu jauh membuat beliau, yang selalu kami sebut Pak Kyai, yang selalu berhasil menjadi sosok pengganti ayah untuk kami para santrinya, melangkah pelan menuju dapur.Â
Satu tapak, dua tapak, hingga kemudian salah satu dari kami menyadari bahwa beliau datang menengok dapur. Ia gelagapan. Segera dibenarkannya letak kerudung yang tadinya miring dan tak tertata.Â
"Pak Kyai" sapanya. Ia tundukkan pandangan sedalam mungkin karena mau bagaimanapun ia yang harus bertanggungjawab atas kegaduhan dapur. Anak-anak lain spontan merapikan diri begitu suara deheman beliau bergema.Â
Takut dan cemas tentunya. Pastilah suara gaduh ia dan teman-temannya yang sudah membuat beliau sampai-sampai datang menengok dapur.Â
"Siapa yang ulang tahun?" Tanya beliau.Â
Entah sejak kapan mulanya, tiap ada yang merayakan hari kelahiran, maka malamnya akan menjadi malam yang menyenangkan karena semua santri pasti akan makan gratis. Walau hanya mie instan dan martabak manis, namun entah mengapa sangat terasa mewah kala itu. Disantap ramai-ramai dan bercengkrama hingga larut malam sudah menjadi kebiasaan dalam suatuperayaan.Â
"Kamu, Za?"Â
Yang ditanya mengangguk malu dan cemas.Â
"Yang ke berapa?"Â
"Hehe. Tiga belas tahun Pak Kyai." Kekehnya lirih.Â
"Sini."Â
Beliau melangkah menuju pintu penghubung antara ndalem dan dapur sedang ia mengikuti beliau dari belakang sambil merapal doa-doa yang sekiranya bisa menyelamatkan ia dan suasana canggung saat ini.Â
"Selamat ulang tahun ya, Za. Yang kedelapan puluh satu kan? Semoga panjang umur dan menjadi anak yang sholihah. Jangan nakal ya. Sudah sana, jangan malam-malam"Â
Beliau berlalu begitu saja sedang yang baru saja beliau tinggalkan tengah mengusap air matanya pelan. Tak pernah ia sangka,Pak Kyainya, orang yang begitu ia muliakan, orang yang begitu ia banggakan dengan lembutnya melantunkan ucapan yang berisi doa-doa baik di hari perayaannya. Dan ia tahu, tidak semua santri mendapat doa-doa baik itu secara langsung di depan mata.Â
Ia tak merasa special sama sekali. Ia sangat tahu dan paham bahwa Pak Kyai tentu tak pernah luput mendoakan kebaikan santri-santrinya. Ia sangat tahu dan paham bahwa Pak Kyai yang sudah mulai sepuh tersebut memang sangat perhatian dengan santri-santrinya. Namun bolehkah ia merasa begitu di spesialkan malam ini?
***
Telepon genggamnya sudah rusak cukup parah sedangkan para senior sudah mulai mengingatkan tentang deadline pengisian nama-nama arwah yang akan dibacakan dan di doakan bersama besok pagi. Arwah jamak, sebuah tradisi yang masih santer di lakukan terutama di Pesantren. Nama-nama arwah baik dari keluarga maupun para alim ulama yang sudah pulang mendahului kita semua disebutkan dan didoakan secara massal.Â
"Halo. Assalamualaikum?" Tanya Ibu diseberang sana.Â
"Waalaikumsalam. Ibu, mau minta tolong. Hehehe" ucapnya.Â
"Minta tolong apa, Mbak? Sini Ibu bantu."Â
"Ini Ibu, disuruh ngisi arwah jamak tapi kan handphone ku sudah tidak bisa untuk mengetik, hehe. Minta tolong ya Ibu, terserah mau di isi siapa saja yang penting nanti Pak Kyai di tuliskan namanya ya." Pintanya.Â
Dua puluh tahun sudah ia hidup namun perayaan tiga belas tahunnya dulu tidak bisa dihapuskan begitu saja barang sedikitpun.Â
Entah mengapa atmosfer sore ini terasa berbeda. Bayangan Pak Kyai terbersit sangat kuat di ingatan. Perasaan sedih dan rindu meluap begitu saja.Â
Beliau sudah pergi meninggalkan kami, namun wanginya masih tercium sampai kini, sampai tak ada kata sampai lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H